Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Mbludus.com
    • Beranda
    • Berita
    • Humaniora
      • Sosial Politik
      • Sosialita
      • Pendidikan
      • Tradisi
      • Lingkungan
    • Sains
    • Sastra
      • Cerbung
      • Cerpen
      • Dongeng
      • Drama
      • Kritik Sastra
      • Puisi
    • Kreasi
      • Bisnis
      • Musik
      • Sinematografi
    • Merchandise
      • Buku
      • Baju
      • Kerajinan Tangan
    • Lainnya
      • Profil Redaksi
      • Penerimaan Naskah Mbludus.com
    Mbludus.com
    You are at:Home » Buku » Memaknai Hijab dalam Novel Jodoh Pasti Bertemu
    Buku

    Memaknai Hijab dalam Novel Jodoh Pasti Bertemu

    27 Juni 2025Tidak ada komentar10 Mins Read1 Views
    Facebook Twitter Telegram WhatsApp
    Share
    Facebook Twitter Telegram WhatsApp

    Oleh Azka Khairunnisa

    “Bu Haji terlambat lagi nih!” celetuk salah seorang murid. Diikuti oleh tawa dari beberapa teman-teman satu kelas, sedangkan aku berusaha untuk tetap tersenyum, walaupun sindiran itu sangat sering menimpaku.[1]”

    Dari kutipan di atas, terlihat tokoh Anggun, si gadis berjilbab dalam novel Jodoh Pasti Bertemu yang selalu diolok-olok oleh teman sekelasnya. Anggun selalu disebut dengan panggilan Bu Haji karena jilbabnya itu. Anggun tidak pernah merasa terhina atau terganggu dengan sebutan tersebut. Baginya, jilbab adalah simbol identitas dan keputusan pribadi yang diambil dengan keyakinan penuh. Meski mendapat olokan, ia tetap tegar dan percaya bahwa apa yang dilakukannya adalah bentuk ketaatan terhadap ajaran agamanya.

    Berhijab seringkali menjadi topik yang memicu berbagai perdebatan di masyarakat, baik dari sisi agama, budaya, maupun hak individu. Banyak yang mempertanyakan apakah berhijab merupakan kewajiban atau pilihan, serta bagaimana pandangan masyarakat terhadap perempuan yang memilih untuk mengenakannya. Dalam artikel ini, saya akan mengeksplorasi berbagai perspektif tentang hijab, termasuk pemahaman agama, kebebasan berekspresi, dan tantangan yang dihadapi perempuan berhijab di tengah beragam pandangan yang ada. Apakah berhijab itu salah? Ataukah ia justru merupakan keputusan yang penuh makna bagi mereka yang memilihnya?

    Definisi dan Perspektif Hijab

    Hijab adalah busana muslim terusan panjang menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki dan wajah yang biasa dikenakan oleh para wanita muslim. Penggunaan jenis pakaian ini terkait dengan tuntunan syariat Islam untuk menggunakan pakaian yang menutup aurat. Secara umum berhijab memang merupakan kewajiban bagi perempuan muslim sesuai dengan ajaran agama Islam, sebagai bentuk penghormatan terhadap diri sendiri dan Tuhan. Dalam konteks ini, hijab memiliki makna spiritual dan religius yang kuat dalam tradisi Islam.[2]

    Namun, di luar konteks agama, beberapa perempuan dari latar belakang budaya atau keyakinan lain juga memilih untuk mengenakan hijab, baik sebagai simbol kebanggaan budaya, maupun identitas pribadi. Di beberapa negara atau komunitas, hijab bisa diartikan sebagai bentuk protes terhadap tekanan sosial atau untuk menantang stereotip.

    Misalnya dalam agama Kristen, beberapa perempuan memilih untuk mengenakan penutup kepala (seperti jilbab atau kerudung) saat beribadah, sesuai dengan ajaran dalam Alkitab yang menyarankan wanita untuk menutup kepala sebagai tanda penghormatan kepada Tuhan. Di kalangan komunitas Yahudi, ada tradisi untuk menutupi kepala, terutama di kalangan wanita yang sudah menikah, dengan menggunakan kerudung atau topi sebagai simbol kehormatan. Selain itu, beberapa perempuan dari latar belakang non-agama atau agnostik memilih berhijab sebagai bentuk ekspresi diri, identitas budaya, atau sebagai simbol kesetaraan dan kebebasan.

    Dengan demikian, meskipun hijab lebih dikenal dalam konteks agama Islam, pemakaiannya tidak terbatas hanya pada satu agama. Banyak orang dari agama atau latar belakang budaya lain yang memilih untuk mengenakannya karena berbagai alasan pribadi atau sosial.

    Namun, pada nyatanya hijab di masa sekarang tidak hanya mencerminkan hal-hal seperti di atas. Hijab, seperti banyak aspek lainnya dalam kehidupan, memiliki berbagai makna dan interpretasi yang berkembang sesuai dengan zaman. Meski banyak perempuan yang mengenakan hijab sebagai bagian dari identitas dan prinsip yang mereka junjung, tentu saja ada juga individu—baik laki-laki maupun perempuan—yang melakukan tindakan kurang baik, terlepas dari bagaimana mereka berpakaian. Dapat kita saksikan bahwa sebagian perempuan yang berhijab terlibat dalam tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, termasuk perbuatan seperti zina.

    Dalam novel ini, pada halaman 182-187 diceritakan bahwa Anggun melakukan tindakan mesum bersama Subhan. Anggun terbuai oleh rayuan Subhan yang mengatakan bahwa Subhan ingin menikahinya. Di tengah perbuatan mereka ini, Fatimah memergoki mereka berdua dan terjadinya kericuhan. Fatimah menghakimi Anggun, ia bersikeras bahwa Anggunlah yang menggoda Subhan. Setelah mendengar penjelasan dari Anggun, tak disangka ternyata Subhan juga melakukan hal sama kepada Fatimah. Subhan menjanjikan bahwa ia akan menikahi Fatimah, dan terjadilah tindakan mesum itu. Fatimah hamil karena perbuatan tidak senonoh itu.

    Kisah dalam novel ini menjadi cerminan nyata bahwa tidak semua perempuan berhijab otomatis mencerminkan akhlak yang baik. Anggun dan Fatimah, meski secara penampilan menunjukkan identitas sebagai perempuan yang taat melalui hijab yang mereka kenakan, ternyata tetap terjerumus dalam perbuatan yang bertentangan dengan ajaran moral dan agama. Ini menunjukkan bahwa hijab, sebagai simbol kesalehan, tidak menjamin kesucian perilaku jika tidak dibarengi dengan kesadaran, pemahaman nilai-nilai agama, dan integritas pribadi.

    Berhijab karena Sadar, bukan Tuntutan: Transformasi Tokoh dalam Novel

    Jika kita bicara mengenai hijab di novel ini, seringkali isi cerita tidak jauh dari kebutuhan keluarga, tekanan lingkungan atau terpaksa karena aturan agama. Tetapi, bagaimana jika keputusan berhijab itu murni datang dari lubuk hati terdalam, bahkan saat orang-orang terdekat seperti ibu yang mungkin punya cerita masa lalu yang rumit, menyerapnya.

    Tokoh utama dalam novel Jodoh Pasti Bertemu yaitu Anggun, memilih berhijab bukan karena disuruh, melainkan karena kesadaran sendiri. Ini bukan hanya sekadar permasalahan selembar kain, melainkan lebih tertuju ke refleksi batin, pencarian jati diri yang jujur di tengah pandangan orang, dan bagaimana keputusan pribadi ini menjadi trigger untuk perubahan besar dalam hidup. Bukan karena diwajibkan, tapi karena dirasakan.

    Pilihan berhijab yang dilandasi kesadaran internal Anggun ini tergambar jelas sejak awal, saat Anggun mengungkapkan “Aku tak pernah bisa memikirkan lagi jawaban untuk Rifa. Sebab, dalam diriku sendiri masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.”[3] Kalimat ini memperlihatkan bahwa keputusan berhijab adalah buah dari pergulatin batin yang komplek, bukan sekadar respons terhadap pertanyaan eksternal. Terlebih lagi Anggun juga mengingat momen di mana ibunya pernah bertanya, “Kamu itu mau jadi ustazah?” Aku hanya tersenyum-sambil mencoba mengenakan jilbab di depan kaca.”[4] Pertanyaan ini memperlihatkan bahwa tindakan berhijab bukanlah tuntutan dari sang ibu, dan senyuman Anggun menunjukkan penerimaan sekaligus proses pemahaman diri yang masih berjalan.

    Tema kesadaran diri ini semakin jauh diperkuat melalui percakapan ibu dan anak, di mana sang anak mencatat, “Kini ibu berkata bahwa aku juga ingin berhijab karena kesadaran, agar ibu kembali dari luka. Kulepaskan pelukan ibu dan bertanya kenapa ia tidak memakai jilbab lagi?”[5] Kutipan ini merefleksikan bahwa konsep berhijab karena kesadaran bukan berlaku hanya pada tokoh utama, melainkan juga menular pada sang ibu, menegaskan bahwa ini adalah pilihan individual dan pemulihan diri.

    Puncak dari gagasan ini ditampilkan dalam dialog singkat, “Pilihan hidup?” “Iya, ibu memilih untuk terluka selamanya.”[6] Frasa “pilihan hidup” secara tegas menegaskan bahwa berhijab dalam sebuah keputusan yang diambil secara sadar dan atas kemauan sendiri, bukan karena adanya paksaan atau tuntutan serupa.

    Ketika Hijab Bukan Tolak Ukur Iman

    Hijab banyak dilihat sebagai simbol ketaatan dan kesalehan, namun benarkah demikian? Iman itu lebih dalam dari sekadar pakaian yang menutupi aurat. Kita perlu melihat iman dari hati, akhlak, dan perbuatan. Bukan hanya dari penampilan luar.

    “Mesum! Kalian akan dilaknat Allah!”[7] seruan ini muncul sebagai respon terhadap tindakan yang dianggap melanggar norma agama, bukan karena tidak berhijab atau salah dalam berpakaian. Kutipan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa perbuatan mesum itu serius dan dapat mendatangkan kutukan Tuhan. Ini juga menyoroti bahwa tindakan dan moralitas itu sangat penting dalam pandangan agama, bahkan mungkin lebih mendasar dari penampilan luar. Kalaupun benar ada yang berhijab tapi berbuat mesum dan terkena kutuk, ini jelas menunjukkan bahwa hijab saja tidak otomatis menjamin ketaatan atau iman yang sempurna di mata Tuhan ataupun masyarakat. Perbuatanlah yang jadi penentu utamanya.

    Jejak Pencerahan Diri Tokoh

    Lebih dari sekadar atribut fisik, hijab juga berfungsi sebagai penanda perjalanan spiritual dan intelektual para tokohnya, merefleksikan proses pencerahan diri yang mendalam. Dari kebingungan menuju kemantapan, dan dari keraguan menuju pemahaman yang lebih terang tentang makna hidup dan takdir.

    Simbolisasi hijab dalam novel ini dimulai dari pemahaman mendasar tentang fitrah wanita, seperti yang digambarkan, “Fitrah seorang wanita adalah patut dilindungi oleh laki-laki, sekuat apapun wanita tetap saja fisiknya tak sekuat lelaki. Mungkin di dunia ini banyak sekali wanita yang kuat, wanita karir, seorang ahli bela diri, namun dalam kenyataannya mereka kalah dalam menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Aku mungkin bagian dari wanita lemah itu. Sekalipun aku berkumpul dengan wanita lainnya di kamar ini, tetap saja aku merasakan kelemahan menjadi seorang wanita.”[8] Paragraf ini membangun konteks kerentanan wanita dan kebutuhan akan perlindungan atau kekuatan, yang kemudian dapat dipahami sebagai peran yang diemban oleh hijab dalam memberikan kekuatan spiritual dan perlindungan diri.

    Perjalanan pencerahan ini berlanjut dengan penekanan pada identitas wanita muslimah modern. Novel ini menggaris bawahi bahwa “Menjadi wanita muslimah modern, harus memiliki pengetahuan yang luas. Harus belajar tentang ilmu apa saja, dan harus bisa terbuka terhadap siapapun, namun tetap menjaga akhlak sebagai muslimah.”[9] Kutipan ini secara penting menghubungkan identitas yang sering diidentikkan dengan berhijab, bukan hanya dengan dimensi fisik, tetapi juga dengan kecerdasan intelektual dan integritas moral.

    Kehadiran sosok teladan seperti Ibu Masriyah turut mempertegas jejak pencerahan ini. “Rupanya Ibu Masriyah mengelola santri perempuan, sedangkan suaminya mengelola santri laki-laki. Kerja sama yang sangat baik, diam-diam aku semakin mengagumi Ibu Masriyah, dia bisa menjadi seorang wanita yang hebat, berdiri sendiri, namun tetap patuh terhadap suami, begitupun dengan suaminya, demokrasi dan bijaksana.”[10] Sosok Ibu Masriyah yang beroperasi dalam lingkungan pesantren dan mengelola santri perempuan, menjadi representasi ideal wanita muslimah yang kuat dan berakhlak. Kekaguman Anggun terhadapnya menggambarkan proses internalisasi nilai-nilai tersebut, dimana kehormatan wanita muslimah yang seringkali direpresentasikan oleh hijab, menjadi bagian dari pemahaman diri yang tercerahkan.

    Bahkan dari struktur lingkungan pesantrennya sendiri, dengan adanya dua pintu gerbang dan pemisahan gender, menunjukkan bagaimana “Aku memasuki pintu gerbang khusus wanita sehingga tidak berpapasan langsung dengan laki-laki.”[11] Lingkungan yang diatur sedemikian rupa ini, yang mana hijab sebagai bagian integralnya, turut membentuk pemahaman tokoh tentang kehormatan dan batasan diri, yang pada akhirnya mengarah pada pencerahan dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslimah.

    Hijab dan Jodoh yang Selaras

    Mungkin di luar sana banyak yang bertanya, apakah hijab itu penghalang dalam menemukan cinta sejati? Justru sebaliknya! Dari potret kebahagiaan di hari pernikahan, tampak jelas bagaimana “Hanya pakaiannya saja yang tetap tertutup, aku memakai pakaian pengantin dengan tetap memakai jilbab, sehingga pakaian pengantin ini malah tambah menakjubkan.”[12] Ini bukan hanya sekadar busana, melainkan pancaran keyakinan yang justru mempercantik. Kebahagiaan ini pun tak hanya dirasakan sendiri, melainkan juga oleh orang-orang tercinta. Terlihat dari senyum merekah Bu Masriyah yang “sangat gembira melihatku dengan mengenakan pakaian pengantin muslim.”[13] Ini mencerminkan bahwa ketika hati mantap memilih jalan Allah, jodoh yang hadir pun  adalah dia yang selaras dalam pandangan, tujuan, dan keyakinan.

    Keyakinan akan jodoh yang datang dari Tuhan pun menjadi penguat di setiap langkah, seperti ungkapan “Aku semakin yakin bahwa Yusuf adalah jodoh yang dihadiahkan Tuhan untukku. Insya Allah.”[14] Keyakinan tulus ini juga didasari oleh pemahaman bahwa semua orang pasti punya masa lalu, dan keberanian untuk mengungkapkannya adalah sebuah kekuatan. Seperti ditegaskan, “Semua orang memiliki masa lalu. Kamu telah berani mengungkapkannya padaku, kamu benar-benar seorang muslimah. Tidak semua orang yang sanggup menjalani ujian dari Allah ini.”[15]

    Pada akhirnya segala perjuangan dan pembelajaran hidup membentuk pribadi yang siap menyambut takdir terbaik. Kisah-kisah seperti ini menegaskan bahwa hijab bukanlah sebuah batasan, melainkan sebuah penghubung. Penghubung seorang muslimah dengan nilai-nilai luhur agamanya, dan secara indah menuntunnya pada jodoh yang telah digariskan. Jodoh yang tidak hanya menerima penampilan luarnya, tetapi juga menghargai kedalaman iman dan komitmennya. Pernikahan yang dibangun di atas landasan keselarasan dan ketaatan berhijab dan takdir ilahi akan senantiasa diberkahi, menjadikan setiap langkah rumah tangga penuh dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah, menaungi cinta yang abadi hingga ke surga.

    Daftar Pustaka

    Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Jilbab
    Nana Sastrawan. Jodoh Pasti Bertemu. Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024
    [1]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 9.
    [2]  Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Jilbab
    [3]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 29.
    [4]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 29.
    [5]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 32.
    [6]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 32.
    [7]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 183.
    [8]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 80.
    [9]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 83.
    [10] Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 85.
    [11] Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 85.
    [12]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 259.
    [13]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 259.
    [14]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 252.
    [15]  Nana Sastrawan, Jodoh Pasti Bertemu, (Jawa Tengah: SIP Publishing, 2024) hlm. 247.

    Jodoh Pasti Bertemu Novel Nana Sastrawan sastrawan indonesia
    Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp
    Previous ArticleSemangat Keceriaan Puisi “Bukit Biru, Bukit Kelu”
    Next Article Kehidupan Sosial di Kampus: Berteman, Belajar, dan Bertumbuh

    Postingan Terkait

    Refleksi dalam Cerpen “Requiem Burung Gereja”

    11 November 2025

    Puisi-Puisi Riki Utomo

    21 September 2025

    Puisi-Puisi Roket yang Unik

    23 Agustus 2025
    Leave A Reply Cancel Reply

    Postingan Terbaru

    Refleksi dalam Cerpen “Requiem Burung Gereja”

    11 November 202530 Views

    Sandal Jepit Pesantren

    9 November 202511 Views

    Mengenal Sistem Administrasi Negara Indonesia

    30 Oktober 20252 Views

    Membaca ‘Rahasia Tanda’ di Universitas Pancasakti Tegal

    29 Oktober 202511 Views
    Kategori
    • Berita Terkini (206)
    • Bisnis (7)
    • Buku (80)
    • Cerbung (19)
    • Cerpen (157)
    • Dongeng (90)
    • Drama (28)
    • Europe (1)
    • film (1)
    • Highlights (2)
    • Kritik Sastra (75)
    • Lingkungan (52)
    • Money (5)
    • Musik (18)
    • News (9)
    • Pendidikan (66)
    • Politics (3)
    • Profil Redaksi (16)
    • Puisi (186)
    • Sains (50)
    • Science (5)
    • Sinematografi (22)
    • Sosial Politik (29)
    • Sosialita (141)
    • Sports (5)
    • Tech (5)
    • Tradisi (98)
    • Travel (4)
    • UK News (4)
    • World (1)
    Advertisement
    Follow Kami
    • Facebook
    • Instagram
    • YouTube

    Bermis Serpong ASRI Blok B7/19 RT/RW 02/04, Cisauk - Tangerang

    Untuk Pengajuan Iklan dan Kerja Sama Hubungi:

    Email : redaksi@mbludus.com / dapoertjisaoek@gmail.com
    Kontak: -

    Facebook Instagram YouTube
    Syarat dan Ketentuan
    Definisi

    Ketentuan Layanan

    Ketentuan Konten

    Penggunaan dan Hak Cipta

    Undang-Undang ITE

    Tim Redaksi

    Penerimaan Naskah
    Flag Counter
    Flag Counter

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

    Ad Blocker Enabled!
    Ad Blocker Enabled!
    Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please support us by disabling your Ad Blocker.