
Oleh Tasnim Qiy
Mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina
Novel karya Kang Nana Sastrawan ini jujur sangat bagus dan recommended dibaca khalayak umum. Novelnya berjudul ‘’Solilokui” yang memiliki cukup banyak bab atau bagian namun novelnya tidak terlalu tebal dan tidak akan bosan untuk membacanya.
Di dalam novel solilokui tersebut, banyak hal yang dapat kita petik dari sisi manapun, mulai dari ilmu psikologi hingga kekerasan yang dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Namun dalam tulisan ini saya akan merujuk pada kekerasan yang dialami oleh perempuan saja karena dalam novel ini perempuan hanya sebagai korban saja, tidak juga sebagai pelaku.
Maka dari itu, saya akan menuliskan salah satu hal yang menurut saya bagus dijadikan patokan untuk tulisan saya. Tulisan saya ini memiliki judul “Perempuan Rentan Kekerasan: Analisis Novel Solilokui’’ yang akan mengarahkan pembaca untuk membuka cara pandangnya terhadap perempuan. Mengapa ingin mengubah cara pandang masyarakat terhadap perempuan?
Cara Pandang Masyarakat terhadap Perempuan
Perempuan dalam pengalaman sejarah manusia dianggap sebagai makhluk yang tidak penting. Seringkali perempuan diposisikan berada di bawah laki-laki atau posisi paling rendah dibandingkan dengan posisi laki-laki, dalam pekerjaan, pendidikan, rumah tangga, maupun yang lainnya. Perempuan sering mengalami stigma-stigma buruk, seakan-akan hanya dijadikan objek seksualitas bagi laki-laki dan hanya untuk pengelola dapur.
Seperti stigma masyarakat Jawa yang dilontarkan kepada perempuan yaitu, “macak, manak, masak.’’ (dandan, melahirkan, memasak) atau biasa yang kita dengar “dapur, kasur, sumur.” Artinya perempuan hanya ditempatkan untuk mengurus rumah dan anak-anaknya. Dijadikan budak yang harus menuruti semua perintah dan kemauan laki-laki. Perempuan dalam kehidupan sehari-harinya dianggap manusia yang lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Anggapan tersebut sangat melekat di alam bawah sadar dan terus melanggengkan anggapan itu.
Anggapan-anggapan atau stigma-stigma masyarakat terhadap perempuan yang merendahkan menjadikan perempuan sering mengalami kekerasan. Menurut Komnas Perempuan, tindak kekerasan sepanjang tahun 2024 dan korbannya adalah perempuan sebanyak 34.682 orang. Kenyataannya banyak perempuan-perempuan yang terkena tindak kekerasan. Dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, banyak juga kekerasan-kekerasan yang terjadi terhadap perempuan.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan bermacam-macam dan atau berbagai bentuk. Beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan yaitu pemukulan, pelecehan, pemerkosaan hingga berujung pembunuhan. Semua tindak kekerasan adalah buruk dan harus dihilangkan karena sangat merugikan. Apalagi yang berujung kematian, bisa kita analisis dalam novel solilokui. Di dalam novel solilokui, salah satunya menceritakan tentang pembunuhan terhadap perempuan.
Analisis Novel Solilokui
Novel solilokui karya Kang Nana Sastrawan, menurut saya termasuk novel psikologi. Namun di dalamnya bukan hanya menceritakan tentang psikologi saja, ada juga tentang filsafat, relasi keluarga, dan kekerasan. Akan tetapi saya akan menganalisis dari tindak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, karena saya akan mengarahkan pembaca kepada hal tersebut.
Novelnya menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu “Aku”. Tokoh aku adalah seorang laki-laki yang membunuh keluarga terdekatnya sendiri. Tokoh aku ini menceritakan laki-laki yang membunuh dua orang sekaligus dalam waktu dekat. Dua orang itu adalah ibu dan istrinya. Hal itu bisa kita lihat dari sepotong kutipan novelnya yaitu:
Ibuku mengerang dan berguling-guling di atas kasur, sekarat. Darahnya muncrat hampir membasahi seluruh isi tempat tidur. (halaman 33)
dan,
Kutusuk lebih dalam, darah merembes ke seluruh pakaiannya, ia menatapku sayu, mulutnya ingin mengucapkan sesuatu, namun seperti tertahan oleh rasa sakit. Aku menjadi malaikat pencabut nyawa untuk istriku, tenang tanpa ada penyesalan, ia menghembuskan napas terakhir. (halaman 50)
Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa ada bentuk kejahatan atau kekerasan yang dilakukan oleh pelaku. Dalam perspektif keadilan gender, apa yang dilakukan tokoh aku ini merupakan bentuk kekerasan femisida. Menurut Komnas Perempuan, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Tokoh aku merasa mempunyai kepemilikan terhadap dua perempuan itu yaitu istri dan ibunya. Sehingga dapat berbuat sesuka hatinya, istrinya hanya dijadikan penikmat saja, sedangkan tokoh aku memiliki kebencian terhadap ibunya. Karena di dalam novel solilokui ibunya yang mengganggu tokoh aku yang sedang bermesra dengan istrinya, sehingga menimbulkan kebencian terhadap ibunya.
Femisida adalah bentuk kekerasan gender yang sangat ekstrim. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tokoh aku yang membunuh istri dan ibunya bukan merupakan tindakan kriminal saja, tetapi juga mencerminkan pandangan patriarkal yang menganggap peremuan sebagai objek kepemilikan. Dalam hal ini, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tokoh aku menunjukkan bagaiaman budaya patriarki yang mengakar dapat merusak hubungan interpersonal dan memicu tindakan-tindakan yang keji.
Budaya Patriarki yang Harus Diubah
Budaya patriarki merupakan sistem sosial yanng menempatkan laki-laki di posisi dominan atau posisi paling atas, sering kali merendahkan perempuan dan memperlakukannya dengan tidak manusiawi. Dalam novel solilokui ini, tokoh aku beranggapan bahwa ia memiliki hak untuk mengendalikan perempuan yang ada di lingkungannya yaitu keluarganya. Hal ini sejalan dengan definisi femisida menurut Komnas Perempuan yang di mana pembunuhan terhadap perempuan sering kali dipicu oleh kebencian dan penguasaan. Novel solilokui ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana budaya patriarki dapat membenarkan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana hal ini perlu kita ubah.
Budaya patriarki perlu kita ubah agar tidak ada lagi sistem yang memberikan kontrol kekuasaan oleh laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Dalam masyarakat yang masih memiliki budaya patriarki beranggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan, yang menyebabkan perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Dapat menyebabkan kesenjangan gender yang signifikan dan menjadikan perempuan lebih rentan terhadap kekerasan.
Dalam novel solilokui, mengajak pembacanya untuk merenungkan dan memikirkan bagaimana budaya patriarki membenarkan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Tokoh aku dalam novel solilokui ini mewakili suara laki-laki yanng merasa berhak untuk mengontrol kehidupan perempuan. Menunjukkan bagaimana norma-norma kehidupan yang patriarkal dapat meresap ke dalam pola pikir individu dan memperkuat siklus kekerasan dan ketidakadilan gender di lingkungan kita.
Sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa budaya patriarki tidak hanya berdampak pada individu tetapi pada struktur sosial secara keseluruhan. Dalam konteks ini, masih banyak sekali tantangan terkait kesetaraan gender yang harus dihadapi. Oleh karena itu, perubahan diperlukan untuk meruntuhkan budaya patriarki yang sudah mengakar di masyarakat dan menciptakan masyarakat yang adil bagi laki-laki maupun perempuan.
Menggugah Kesadaran Melalui Sastra
Dalam novel yang berjudul ‘’Solilokui’’ ini, Kang Nana Sastrawan melalui narasi yang kuat, mendalam, dan alur cerita yang sangat unik berhasil menyampaikan pesan penting. Pesan tentang kekerasan terhadap perempuan, walaupun di dalam novel solilokui tidak hanya menggambarkan kekerasan terhadap perempuan saja. Novel solilokui ini tidak hanya sebagai karya sastra saja, tetapi juga sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran akan permasalahan atau isu-isu tentang gender. Dengan sudut pandang orang pertama yaitu ‘’aku’’, pembaca dapat merasakan langsung konflik dan permasalahan batin yang dirasakan tokoh aku. Sehingga memberikan gambaran kedalaman emosional pada cerita tersebut. Novel solilokui ini dapat menceritakan ruang bagi pembaca untuk merenungkan posisi mereka dalam masyarakat dan bagaimana mereka dapat melakukan kontribusinya pada perubahan yang akan dilakukan. Dengan demikian, Novel solilokui bukan hanya sebuah karya sastra saja, tetapi juga sebuah panggilan untuk menyadarkan, refleksi diri, dann aksi terhadap budaya patriarki yang masih ada dan mengakar dalam lingkungan masyarakat kita.
Oleh karena itu mari kita menekankan perlunya kesadaran untuk perubahan dalam cara pandang masyarakat terhadap perempuan dengan menggambarkan pengalaman atau realitas pahit yang terjadi dan dialami oleh perempuan akibat kekerasan gender. Kang Nana Sastrawan mendorong pembaca untuk mempertimbangkan peran-perannya dalam memerangi stigma dan budaya negatif yang melekat pada perempuan, serta memperjuangkan keadilan bagi laki-laki dan perempuan.
Hal ini adalah panggilan untuk tidak hanya memahami tetapi juga melakukan aksi untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan setara bagi semua orang. Dengan demikian, novel solilokui adalah sebuah pernyataan sosial yang menyoroti isu-isu yang mendesak mengenai kekerasan terhadap perempuan. Melalui analisis yang mendalam tentang femisida dan dampaknya terhadap individu serta masyarakat. Novel solilokui ini juga berfungsi sebagai alat refleksi yang sangat kuat, pembaca diajak untuk tidak hanya menjadi penonton tetapi juga menjadi seseorang untuk melakukan perubahan dalam menghadapi masalah kekerasan berbasis gender. Dengan memahami dan merespon isu-isu seperti ini secara aktif, kita dapat mewujudkan bersama-sama untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua orang.
Simak juga pembahasan tentang novel solilokui dari teori filsafat. Klik di sini https://www.youtube.com/watch?v=JVFN6oIm56A