DI PINGGANG BUKIT WANA SUTA

di pinggang bukit wana suta, seorang penakik getah pinus
matanya berkaca-kaca, hatinya berdetak bersuara
: “alangkah damai burung-burung di hutan ini
terbang dari satu pohon ke lain pohon, hinggap
di satu ranting ke lain ranting– membuat sarang

kawin, beranak-pinak lalu mati; tetapi– apakah
burung-burung pernah punya keinginan?
misalnya; menjelma manusia? tepatnya menjelma
penyair? akh, penyair– yang bernapas di jalan
paling sunyi, berumah dalam laut ketulusan-keikhlasan
apa adanya dan nyaris selalu bergulingan di jalan papa”

lihatlah, sepasang burung terbang dari pucuk pohon pinus
merendah ke aliran air yang membelah bukit, mandi-mandi
bersejingkat di atas batu-batu lalu terbang ke rimbun
pohon pinus– angin deras berdesau-desau, o, langit
biru beludru, ciah!

penakik getah itu matanya berkaca-kaca
seekor burung terbang ke arah tenggara
meninggalkan kenangan dan sejarah kecil
di hutan wana suta, seekor burung lainnya
hatinya kaca retak juga akhirnya

: “cahaya cinta tidak harus bersatu!”

dan hidup kadang serupa arus sungai mengalir
dari hulu ke hilir dengan riak yang ngilu!

Jaspinka, 2022

KABUT PINUS

kabut hutan pinus; menyesak dada
adakah sisa waktu untuk sebuah perayaan
yang sederhana dan mendebarkan
serupa tarian angsa di atas kolam cahaya
atau kupu-kupu berdendang di rumah atas bukit

perjalanan tak berujung
mencari kata-kata
dalam kabut
yang senantiasa turun di hutan pinus

berhari-hari

jiwa-jiwa merekah serupa kerang
ingin lepas dari cangkangnya
perih rindu

: “tak ingin engkau tersesat di jalan lurus!”

kabut pinus; jalan curam di kanan kiri jurang
harus dipahami, harus dilewati

aku memeluk pelangi yang jatuh
membelah garis nasib.

Jaspinka, 2022

JALAN LAUT

hanya ada satu kenangan, debur laut
membentur tebing-tebing karang

pertemuan; angin dengan suara
pagi dengan matahari
puisi dengan imaji

lalu kembali ke jalan laut

tak ada yang rahasia
sampan cahaya
membelah-belah selat
menyisir tebing karang

: “peluklah sedalam-dalamnya, cium juga!”

sampan itu merapat ke ceruk pantai
meninggalkan seluruh kenangan

di ranting pohon bakau
sepasang camar bersuka cita.

Jaspinka,  2022

SUNGAI WAKTU

dan ia mengalir menembus ruang dan batu-batu sepanjang kali
dengan gemericik, arus deras, bening kasihnya

sungai waktu, mengalir dari rahim suci penyair
ke jantung para musafir
ke orang-orang yang setia pada matahari
ke orang-orang yang menangis atas nama puisi

: “langit sering tiba-tiba mendung; tetapi sungai waktu
mengalir dari hulu ke hilir, dari sunyi ke perih
nyaris tanpa gemericik!”

tak ada suara jiwa dirisaukan; perih dan sunyi
hingga ke muara
hingga ke luas laut

kepada sungai waktu aku dan engkau
terjun dan hanyut berpeluk puisi
amatlah memesona.

Jaspinka, 2022

SUNGAI LANGIT

ia menatap sungai serupa langit yang keruh
mengalir deras di bawah jembatan paling sunyi
jembatan terbuat dari butir edelweis yang terserak
di sepanjang bukit dan lembah berbatu

sesekali ia ingin terjun ke sungai itu

: “sungai langit; hanyutkan aku dalam arusmu
arus yang deras dan terkadang merenggut nyali
kukira debur itu tak ada lagi dalam sungai langit
tetapi kenapa kenangan itu mengapung
penuh daya kejut dan mengiris-iris jembatan paling sunyi?”

ia ingin mengalah dan mengalah
ia ingin selalu menatap sungai langit itu mengalir jernih
membentur ruang hati-jiwa yang tulus

sungai langit, mengalirlah hingga hilir
hingga ke jantung penyair.

Jaspinka, 2022

SAMPAN PUING

biarkan
aku menyisir tebing karang
membelah selat
sendiri

dengan sampan yang terbuat
dari puing
reruntuhan rumah kayu di atas bukit

akan kulumuri pendayung
dengan keringat kata-kata
tentang kekalahan
kasih tak sampai
ketulusan

hidup paling sederhana

menghitung-hitung buih
merakit-rakit debur

sampun terus meluncur

: apakah sendiri itu benar nikmat?

ke ceruk-ceruk karang
sampan menyelinap
menghela-hela ranting sunyi

engkau sekarang di mana?

mungkin di atas kereta menuju
kota jauh
atau di ngarai
menebar serbuk edelweis
atau di hutan pinus
menakik getah sajak

o, biarkan
aku menyisir tebing karang
membelah selat
sendiri

sendiri

tanpa selimut rindu
tanpa jerat waktu

: “tanpa air mata!”

Jaspinka, 2022

BERPERAHU

engkau telah berperahu
di atas lautku
dengan jerit indah penuh suka cita
menulis ratusan sajak
sorot mata berbinar-binar

sedendang-dendang layar
serunai + salung mengiring
melayari ruang + waktu

tapi tiba-tiba angin deras menerpa

: “perih itu biasa, seluka apa
sehina apa!”
suara itu—menggema

ingin tak ada tangis
ingin tak ada sesal

ke tanah tepi
ke jiwa karang

tak peduli pisau sunyi
mengiris-iris perahu
layar + pendayung

tangan kasih dibentangkan

sayap camar patah sebelah
tak lagi bisa mengepak

di atas perahu
di gemuruh lautku
perih itu berpusar
hingga senja
dan engkau terus berperahu
seraya memeluk baris-baris sajak.

Jaspinka, 2022

CAHAYA DI ATAS JEMBATAN SITI NURBAYA

di atas sungai batang arau
dari kota tua ke taman siti nurbaya
di gunung padang
langit bersih semburat
memantul cahaya
hening di dalam sukma

dari sebuah legenda
dari bukit kecil
ke sepanjang pantai

: “mari, kita kunyah jagung bakar, pisang bakar,
telur kura-kura, juga sate padang!”

o, kasih tak sampai
menyihir ke masa lalu
perjodohan
datuk maringgih – siti nurbaya
yang kandas

: “hati dan jiwa tak bisa berdusta!”

perahu-perahu sandar
perahu-perahu berlayar

aku mau terbang ke jembatan itu
menuliskan baris-baris puisi abadi
walau
aku bukan marah rusli
bukan pula datuk maringgih
bukan pula syamsul bahri

: “aku anak rantau yang selalu merindukan
gulai ikan kakap masakan ibu!”

akan kupintal semburat cahaya
dari arus batang arau
dari langit biru bersih gunung padang
dari sudut-sudut ranah minang
menjadi temali kasih
membuhul kesetiaan pada keagungan-Mu.

Jaspinka, 2022

AIR MATA KARANG

andai aku laut
kutampung seluruh air mata
yang tetes dari mata karang

laut maha kasih

yang luas
tak ada kabut
tak ada jurang dan sekat

air mata karang
yang sunyi
dan perih

ketulusan
tak mudah ditebus
hanya dengan baris-baris puisi

tetapi waktu
bisa serupa sembilu
mengiris air mata itu

pada malam
pada siang
berpisau-pisau rindu

dan ini sebidang dada
menyimpan jantung-hati
berdarah-darah puisi

adakah sunyi serupa lesung pipi barbie?

peluklah sedalam-dalamnya
sepuas-puasnya
secabik kenangan

: “andai aku laut
kutampung seluruh air mata
yang tetes dari mata karang!”

dengan debur cahaya.

Jaspinka, 2022

Eddy Pranata PNP, adalah founder of Jaspinka— Jaringan Sastra Pinggir Kali, Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Lahir 31 Agustus 1963 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Tahun 1994 mengikuti pertemuan penyair se Indonesia di Padang. Tahun 1996 mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Jakarta. Tahun 1997 mengikut pertemuan Sastrawan Nusantara di Kayutanam, Indonesia. Tahun 1998 mengikuti pertemuan penyair se-Sumatera di Bengkulu. Tahun 1999 mengikuti pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru, Malaysia. Tahun 2017 mengikuti Krakatau Award di Bandarlampung. Tahun 2017, mengikuti Musyawarah Nasoional Sastrawan Indonesia di Jakarta. Juara 3 Lomba Cipta Puisi FB Hari Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia. Juara 1 Lomba Cipta Puisi Sabana Pustaka tahun 2016, Nomine Penghargaan Sastra Litera tahun 2017, 2018, 2019, 2021.  Nomine Krakatau Award 2017 dan 2019. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019),  Tembilang (2021).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *