Ataukah Mazmur Langit Timur
:disebabkan Mahmoud Darwish

Kami adalah tanah namun mengapa kami terusir dari tanah sendiri?

Kuucapkan selamat malam bagimu!
Selamat malam Yerussalem
dan kebisingannya.

Kusertakan juga, oh Al-Mustafa!
Buraq melesat ke langit tujuh
Ialah komet berekor berkelip di langit
Barangkali secercah Paradise Lost yang dijanjikan

Lalu wahai, Ibrahim bapa kami
ataukah kau bintang-bintang sunyi yang jatuh menimpa kami?
Yang tiba-tiba merupa misil
Menggelegar di udara

Lalu kau hadiahkan kami sebuah dingin makam di malam abadi
Insan duka
Kiblat di abad-abad api yang pecah
Penuh darah

Slogan kebebasan di puing dinding
Para yatim-piatu pandangannya bernanar kosong

Yesaya, Al-Quds, dan kelahiran Al Masih
Tak pernah menyebutkan cinta
pada bilah tajam bayonet.

Tambur mendendang hingga kiamat
dalam teks kitab-Nya
Tapi apakah nyala senyum anak-anak terus dipadam
dan sengaja ditumbuhkan jadi bara
Lantas mencipta bom-bom baru
yang terus menggema sehamparan Gaza?

Mereka-kami-kita
Mahluk terusir
Dan saling mengusir
Kurma tumbuh satu-satu
Seorang renta yang menggembala domba
Tertunduk
Menyeka
Menampung tanah
Menadah ke hadapan kita
Seakan berdoa kepada kita

“Ar-Rab Tanah ini aku, kembalikan ke aku.
Sekepal Aku,
Aku syahid,
Aku syahid.”

Kini kulihat banyak bidadari-bidadari
Berterbangan
Menggendongku
Mereka juga ternyata
Malaikat durhaka yang dahulu terusir

makhluk senasib

Ah, sehembus napas Engkau tiupkan ke dada kami.

Kulihat dari atas sini:
Sepasang sepatu anak-anak terhimpit reruntuhan
jalan-jalan sempit yg mengabur.
Masjid yang diam
Sinagog yang mendesah
Katedral bercakap dalam bahasa sunyi
yang hanya Engkau tahu dari apa yang sebenarnya mereka cakap kan.

(2023)

Engkau telah Tiada(?)

pertanyaan-pertanyaan
tenggelam
di tubuhmu
serupa sepi
di lautan malam
dan di sana Ia tak pernah tahu

(2023)

Bibir dalam Dadamu

bibir dalam dadamu berbisik
perihal kangen yang meledak
di malam hari
bagai doa bersembang harapan
la melupakan tidurnya hingga pagi

(2023)

Rumah Tua Lupa Dikenang

rumah tak berpenghuni adalah nenek kehilangan anak-cucu. Lalu kekasihnya datang bertubuh angin. menyelinap dari ventilasi, berbisik: tentang darah dari lukanya yang kekal mengecup debu lantai yang enggan terjejak. maka biar kaca jendela yang rapuh retak ini menjadi nisan kita, menanda yang kau tatap tak pernah ada.
kecuali kolong langit hampa.

(2023)

Dion R. Prasetiawan. Pegiat sastra di komunitas Suku Seni Riau. Beberapa karyanya pernah dimuat di berbagai media cetak maupun media online.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *