Puisi berjudul DZIKIR SENJA merupakan besutan Penyair Sufyan Abi Zet (Sufyan). Puisi ini bersama puisi puisinya yang lain, pernah tayang di Jurnal online mbludus.com di laman https://puisi-puisi-sufyan-abi-zet-2/. Penyair mengenalkan dirinya sebagai Sufyan Abi Zet (Sufyan). Lahir di Sumenep, pada tanggal 9 Juli 1985.

Puisi DZIKIR SENJA berhasil menarik minat penulis sebagai penikmat puisi untuk dipindai dari berbagai sisi, terutama dari aroma transenden, sehingga akan tampak pesan maupun harapan yang disampaikan oleh Penyair melalui puisi tersebut. Sebagai langkah mudah dalam pemindaian, maka pada setiap baitnya, diberi angka berurutan, dari angka 1 sampai dengan 4.

Mari perhatikan puisi lengkapnya di bawah ini.

DZIKIR SENJA

1.
kepada engkau
yang lebih dahulu merindu
sebelum dirindu

2.
kepada engkau
yang lebih dahulu menyinta
sebelum dicinta

3.
engkau telah mengabarkan
tentang semesta yang menua
sementara aku lebih sering lupa dan alpa

4.
sudilah kiranya engkau
berkenan menerjemahkan cinta dan rindu
dengan sederhana kepadaku
supaya hanya namamu
yang teruntai di bibir dan terpatri di hatiku.

Sumenep, 2023

Puisi di atas boleh dirasa mempunyai aroma kuat sebagai untaian makna dan rasa transenden dalam hal hubungan antara tokoh /engkau/ lirik, /mu/ lirik, /aku/ lirik, dan /ku/ lirik.

Diksi /engkau/ ditulis empat kali yaitu di setiap bait muncul satu kali. Diksi /aku/ lirik tayang satu kali yakni di bait ke tiga, diksi /ku/ lirik muncul dua kali di bait ke empat. Sedangkan diksi /mu/ lirik muncul sekali di bait ke empat.

Pertanyaannya:

“Apakah tokoh /engkau/ lirik, /mu/ lirik, /aku/ lirik, dan /ku/ lirik, mereka semua mempunyai hubungan transenden atau bagaimana?

Tentu untuk menjawabnya perlu mempunyai minimal, sedikit pengertian tentang apa itu transenden. Menurut para ahli, pengertian umum dari transenden adalah cara berfikir seseorang yang melampaui lintas batas alamiah, dan cendurung tidak bisa dipindai oleh panca indra. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa transenden hanya bisa dirasakan oleh indra ke enam. Kira kira seperti itulah suasana dini dari kejiwaan Puisi DZIKIR SENJA besutan Penyair Sufyan Abi Zet (Sufyan). Hal ini bisa mulai diendus di bait pertama dan kedua, dari Puisi di atas. yaitu:

1.
kepada engkau
yang lebih dahulu merindu
sebelum dirindu

2.
kepada engkau
yang lebih dahulu menyinta
sebelum dicinta

Kedua bait tersebut mempunyai gaya ungkap yang mirip, yakni sama sama menyisakan tanya:

“Siapakah yang dimaksud dengan tokoh /engkau/ lirik ?”

“Apakah tokoh /engkau/ lirik di bait 1 personifikasinya sama dengan tokoh /engkau/ lirik di bait 2?”

Jika asumsinya sama, maka bait 1 dan 2, seperti yang dinyatakan oleh Penyair, dapat disederhanakan menjadi:

/kepada engkau/
/yang lebih dahulu merindu sebelum dirindu/, dan /yang lebih dahulu menyinta sebelum dicinta/.

Tentu ungkapan sajak di bait 1 dan 2 tersebut bisa dirasakan betapa terbukanya makna, logika, dan rasa bagi pembaca khususnya penikmat puisi. Sebab kebebasan mutlak yang tadinya berada di pikiran dan perasaan Sang Penyair menjadi terikat setelah lahir dalam bentuk huruf alfabet tulisan puisi. Namun demikian ternyata keterikatan tersebut tidak berlangsung lama, bahkan begitu dibaca, langsung kedua bait puisi tersebut menjelma menjadi berbagai macam makna, logika, dan rasa, seolah bebas diserahkan sepenuhnya pada interpretasi maupun persepsi bagi masing masing pembaca. Sebab tidak ada kata kunci yang memberi tanda bahwa tokoh /engkau/ lirik menuju pada pengertian dan ikatan makna tertentu. Sehingga tokoh lirik ini bisa ditafsirkan sebagai sosok atau pribadi orang ke dua tunggal yang berada nyata di hadapan orang yang mengajaknya bicara, dalam hal ini pembicaranya patut diduga adalah Sang Penyair itu sendiri, atau pun peristiwa orang lain yang diabadikan dalam bait bait puisi. Namun demikian bisa juga dibayangkan bahwa tokoh /engkau/ lirik adalah sosok abstrak yang bebas berkelana di dalam pikir maupun rasa Sang Penyair, kemudian diperangkap dalam rangkaian huruf huruf di rangkaian kata di bait bait puisi. Keterperangkapan ini, seperti yang telah disampaikan, ternyata tidak berlangsung lama, sebab sajak di bait 1 dan 2 mampu memberikan gambaran multi tafsir yang bisa berpotensi ditafsir dalam berbagai macam interpretasi maupun persepsi masing masing pembaca. Kebebasan multi tafsir ini dikarenakan tidak adanya petunjuk tertentu yang mengarah pada identifikasi tentang tokoh /engkau/ lirik. Tidak jelas benar apakah tokoh /engkau/ lirik tersebut benar benar ada atau kah hanya berupa kiasan abstrak yang dituangkan di dalam puisi. Di sinilah bagi penikmat puisi atau pun pembaca pada umumnya mulai merasakan adanya aroma misteri yang secara tidak langsung memancing imajinasi untuk ke luar dari alam semesta, alias memasuki nuansa transenden di dunia lain, karena dirasa tidak ada informasi alamiah yang bisa digali dari bait bait puisi. Aroma ini menjadi semakin menguat ketika pembaca memasuki pada bait ke tiga dan ke empat. Adapun bait ke tiga seperti di bawah ini.

3.
engkau telah mengabarkan
tentang semesta yang menua
sementara aku lebih sering lupa dan alpa

Dari bait ke 3 di puisi di atas, mengindisikasikan bahwa Sang Penyair menyatakan tokoh /engkau/ lirik /telah mengabarkan tentang semesta yang menua/. Sajak ini berpotensi memberi ruang penerawangan bagi pembaca langsung pada lahirnya berbagai macam pertanyaan, misalnya:

“Siapakah yang dimaksud dengan tokoh /engkau/ lirik, sehingga punya kemampuan /mengabarkan tentang semesta yang menua/?”

Diksi /menua/ pada umumnya mempunyai makna berproses menjadi tua. Ada juga yang mengartikan bahwa menua adalah suatu proses ketidak mampuan jaringan organ tubuh manusia secara perlahan lahan untuk mengembalikan stamina tubuh seperti semula, ketika terkena gangguan semacam luka, memar atau pun gangguan fisik yang lain.

Apa pun pengertian dari menua, yang jelas pemaknaan diksi /menua/ tidak akan terlepas dari umur atau pun usia. Para ahli membedakan pengertian antara usia dan umur, meskipun di masyarakat umum, kedua diksi ini dirasakan sama artinya, padahal berbeda. Usia adalah waktu yang telah dilalui oleh seseorang, misal hari ini usianya mencapai 30 tahun, berarti waktu yang telah dilalui oleh orang tersebut, dari lahir sampai dengan hari ini telah berlangsung selama 30 tahun. Sedangkan umur adalah waktu yang akan dilalui dari hari ini sampai yang akan datang (meninggal dunia). Oleh karena itu, tidak heran, ketika ada yang memperingati Hari Lahir, biasanya disampaikan doa harapan semoga diberi panjang umur, sampai menua bersama keluarga dalam kondisi sehat, dan segar bugar, serta mudah mendapatkan rejeki yang halal dan barokah.

Tentu sesuatu dikatakan menua, termasuk /semesta yang menua/, apabila ada pembandingnya, dengan kata lain /semesta yang menua/ dibandingkan dengan apa? Jika manusia menua, sangat mudah mengetahuinya, karena sudah banyak sesama manusia sebagai pembandingnya, ada yang bayi, remaja, muda, dan tua. Sedangkan untuk /semesta yang menua/, tentu tidak terlalu mudah mencari pembandingnya, sebab di seluruh dunia, yang namanya semesta itu hanya satu, yaitu terdiri dari: bumi, langit dan seisinya, termasuk matahari, bulan, bintang gemintang, planet, dan galaksi.

Di dunia ini hanya ada satu semesta, sehingga tidak bisa dibandingkan satu sama yang lainnya, karena memang tidak ada pembanding, kecuali jika dikatakan bahwa bumi yang menua, mungkin masih punya potensi pembandingan, misal dibandingkan dengan sesama planet lain, misalnya planet Mars. Maka dari itu, analogi kesebandingan tentang diksi /menua/ ini bisa melahirkan dugaan, jangan jangan tokoh /engkau/ lirik yang mampu /mengabarkan tentang semesta yang menua/ adalah sosok yang telah lebih dahulu mengetahui adanya semesta lain, di luar semesta yang sudah dikenal oleh umat manusia, sehingga bisa membandingkannya, dan /mengabarkan tentang semesta yang menua/. Dugaan inilah yang akan mengantarkan pembaca pada situasi non-alamiah alias memasuki kesan aroma transenden pada pribadi tokoh /engkau/ lirik. Ditambah lagi dengan memunculkan tokoh /aku/ lirik yang terkesan mempunyai derajat lebih rendah dari pada tokoh /engkau/ lirik, seperti pada baris /sementara aku lebih sering lupa dan alpa/. Dari cara ungkapnya patut diduga bahwa tokoh /aku/ lirik adalah Sang Penyair itu sendiri, atau ada orang lain yang telah dinobatkan oleh Penyair sebagai tokoh /aku/ lirik, dan diawetkan menjadi diksi di Puisinya.

Jadi siapakah yang dimaksud dengan tokoh /engkau/ lirik tersebut?
Dari bait bait puisi di atas, tidak ada tanda tanda jelas dan pasti yang mengarahkan pada identitas tokoh /engkau/ lirik, seolah semua prediksi identitasnya, diserahkan pada pembaca.

Oleh karena itu, dapat dirasakan bahwa disinilah letak kekuatan dari puisi besutan penyair Sufyan Abi Zet ini, yaitu berpotensi mampu memberikan kebebasan penafsiran bagi pikiran pembaca untuk tidak terikat pada peralatan penyampai ekspresi, baik yang berupa panca indra maupun media ekspresi di luar diri manusia, semisal huruf, layar telepon genggam, pakaian, ataupun panggung kehidupan. Semua peralatan atau pun media ekspresi menjadi tidak berfungsi ketika diksi diksi puisi tersebut bisa dimaknai sebagai semacam kendaraan yang mengantarkan pembaca menuju dunia lain yang bersifat non-alamiah, seolah mampu menembus ruang dan waktu, keluar dari semesta, yakni masuk ke ranah aroma transenden. Terlebih ketika bisa dirasakan bahwa gaya ungkap puisi besutan Penyair Sufyan, -demikian penyair menuliskan namanya di dalam kurung di laman Jurnal online mbludus.com di atas-, gaya ungkapnya cenderung bisa dipahami sebagai dialog searah yang terkesan monolog, yakni tokoh /engkau/ lirik hanya bersifat pasif sebagai obyek yang diajak bicara, tanpa pernah menyampaikan perkataan apa pun. Apakah tokoh /engkau/ lirik di bait 1, 2 dan di bait 3, mereka merupakan pribadi yang sama ataukah berbeda?

Untuk menjawabnya, ternyata tidak ditemukan secara pasti tanda tandanya, baik sebelum maupun sesudah diksi /engkau/ lirik dituliskan.

Kemudian kata /engkau/ lirik di puisi pun bisa menimbulkan tanya berikutnya, yaitu:

“Apakah diksi /engkau/ lirik merupakan perkataan sang penyair, atau bukan?”

Hal ini juga tidak ada informasi yang dijumpai di bait bait puisi. Sehingga hal ini akan memperkokoh telisik yang mengarah pada kebebasan tafsir atas diksi yang tayang di puisi, terutama tentang tokoh /engkau/ lirik. Sehingga bisa dikatakan bahwa diksi /engkau/ lirik akan menjadi bukti bahwa telisik diksi akan berkembang menjadi semacam bola liar, arahnya diserahkan penuh pada penelisik. Bisa ke arah alamiah yang cenderung telisik essay ilmiah, atau pun telisik rasa ke arah transenden. Lebih lebih jika telisiknya diteruskan pada bait ke empat, seperti di bawah ini.

4.
sudilah kiranya engkau
berkenan menerjemahkan cinta dan rindu
dengan sederhana kepadaku
supaya hanya namamu
yang teruntai di bibir dan terpatri di hatiku.

Bait ke 4 di atas, semakin memperkuat adanya aroma transenden, dengan memaknai gaya komunikasi searah yang memunculkan tokoh /engkau/ lirik, /ku/ lirik, maupun /mu/ lirik dalam satu bait. Sehingga bait ini bisa dipandang mampu melahirkan dugaan keterhubungan antara tokoh tokoh lirik tersebut, yakni menjadi semacam kongklusi adanya pernyataan atau pun berita di bait 1, 2, dan 3. Bait 4 juga menjadi penutup dengan gaya penuh harapan agar tokoh /engkau/ lirik menunaikan seuntai pinta: /supaya hanya namamu yang teruntai di bibir dan terpatri di hatiku/.

Selamat berpusi!
dan teruslah berpuisi.

Penulis: Kek Atek
Penikmat Puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *