PEREMPUAN YANG MERAYU MUSIM
: Amizah
1/
Beribu-ribu musim telah merayumu untuk menjadi waktu
Meski feminitas dan telanjang tubuhmu
Sudah tak lagi menjadi rujukan untuk mengukur panjang rambut perempuan
Tetapi, suaramu terus bersenandung
Menampar ingatan dari kejanggalan jejak
Apakah benar ini adalah pertanda keutuhan tubuh untuk merindu
Bukankah di musim lalu engkau berkata
Bahwa cinta harus dipelajari semasa kecil
Dan sumpah serapah dari para lelaki
Yang hanyalah keruh dimata kehidupan
Tetapi apakah dengan demikian engkau mengeja ulang jejakmu
Atau engkau sedang lupa terhadap janjimu kepada angin
Yang telah mengabarimu bagaimana cara berdiri dan melangkah
Sungguh aku sangat takut berbaik hati kepada perempuan lagi
Walaupun relung yang kuharapkan adalah engkau tempat mengadu resah
2/
Apakah engkau sudah membuang kisah dibalik tirai kamar
Atau engkau memang sengaja mencoba menyimpan perihal lara
Agar tidurmu tetap baik tanpa menantikan ingatan
Atau tangis dipagimu masih belum hilang
3/
Kemarilah Amizah, namamu telah kuwjudkan sebagi nada seperti lagumu
Ada rindu yang terus mengarungi dibalik note-notemu
Karena sebelum aku kembali dalam mimpi
Dan berkelana pada lentik wajahmu
Engkau telah lebih dulu menyambutku
Amiza.…
Engkau memang nyata tetapi aku harus tidur untuk memilikimu.
Memang semua hanyalah permualan seperti yang engkau katakan
Tetapi engkau tidak perlu tahu tentang hari lahirku
Karena semenjak aku belajar mencintaimu aku terlahir sebagai lelaki
Yang ingin dipeluk dan dicintai
Yang jauh dari angka
Yang jauh dari waktu
Karena engkau sangat gelay saat manari dikepalaku
Mengajarkan bagaimana berdiri tanpa terburu
4/
Dibalik matamu tersimpan berjuta rahasia
Matahari pun kadang menangis saat senyummu diambil senja
Namun aku akan akhiri sajak ini
Sebab tak pantas aku katakan tentang segalah asah
Bahwa aku sedang mencintaimu
CICIT BURUNG PIPIT
1\
Aku kembali mendengar lagu-lagu lama
Yang gemar merundungkan isi kepala
Tentang kabar dari angin
Dan sebingkis harap di depan teras rumah
2\
Aku kembali menafikan kata tentang layla
Yang menjadi kakbah para penyair
Agar dapat kugambarkan
Mata beningnya yang seindah langit
Dengan rambut kecoklatan seperti senja yang selalu kurindukan
3/
Aku kembali menanam segenggam mawar
Yang selalu mengenduskan harum kepada lebah
Agar bisa mengeja ulang buku-buku di kamar
Merapikan serpihan kenangan
Lalu berbaring untuk kembali mengenali dara
4/
Aku kembali dengan teriakan cicit burung pipit
Yang mengepakan sayap dijalan kelelawar
Sembari menengadahkan kedua tanganku
Meminta reranting menjadi saksi kebisuan ini
DOA-DOA DI BEBATUAN
Hanya kepada Ia aku meminta
Dari segala godaan wanita
Yang selalu mencoba mengahanguskan angka
Hanya kepada Ia aku bercakap resah
Karena, hanyalah Ia yang dapat mendengar
Dari ketulian setiap manusia
Hanya kepada Ia aku bersujud
Ketika bengis dan matamu terus mengiris
Karena dadamulah tak pernah habis-habis
Hanya kepada Ia aku menangis
Sebelum wujud harap dapat ditatap
Walaupun engkaulah pertama kali kudekap
Hanya kepada Ia aku bertawakkal
Dari ketiadaan dan kebutuhan ilusi
Karena, dari alismu jiwa ini terus meronta-ronta
memanggil nama tuhan yang tiada.
AKU TANPAMU
Aku tanpamu
Hanyalah abu yang di hitamkan
Aku tanpamu
Selaksa biji yang lupa kulit
Aku tanpamu
Hikayat doa di tebing malam
Aku tanpamu
Seberkas kisah yang berserakan
Aku tanpamu
Jantung tanpa tubuh
Aku tanpamu
Mata yang buta warna
Aku tanpamu
Hanyalah mimpi dikesunyian
Saat aku tanpamu
Semuanya hanyalah aku tanpamu.
Yogyakarta 2023.
MD. Hermanto. Mahasiswa UINSUKA Prodi Akidah Dan Filsafat Islam. Lahir di daerah Keraton Nusantara—(Soengenep.) Sedang Belajar DI Sebuah Pembebasan, Eskatologi dan NISCHA.