Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Mbludus.com
    • Beranda
    • Berita
    • Humaniora
      • Sosial Politik
      • Sosialita
      • Pendidikan
      • Tradisi
      • Lingkungan
    • Sains
    • Sastra
      • Cerbung
      • Cerpen
      • Dongeng
      • Drama
      • Kritik Sastra
      • Puisi
    • Kreasi
      • Bisnis
      • Musik
      • Sinematografi
    • Merchandise
      • Buku
      • Baju
      • Kerajinan Tangan
    • Lainnya
      • Profil Redaksi
      • Penerimaan Naskah Mbludus.com
    Mbludus.com
    You are at:Home » Sosial Politik » Politik di Balik Ungkapan Baru
    Sosial Politik

    Politik di Balik Ungkapan Baru

    25 Juni 2019Updated:15 November 2019Tidak ada komentar5 Mins Read16 Views
    Facebook Twitter Telegram WhatsApp
    Politik Bahasa Indonesia
    Share
    Facebook Twitter Telegram WhatsApp

    POLITIK DI BALIK UNGKAPAN BARU*

    Maman S Mahayana

    Bahasa mencerminkan bangsa! Adagium ini sesungguhnya menyimpan sejarah panjang tentang hubungan bahasa dan masyarakat. Melalui bahasa, dapat ditemukan naluri dan sikap budaya sebuah bangsa. Bahasa tak sekadar menjadi alat berkomunikasi, tetapi juga sebagai ekspresi kultural, bahkan juga ideologi. Dengan begitu, belajar bahasa dapat pula digunakan untuk memahami sikap budaya dan ideologi bangsa itu.

    Perkembangan bahasa Indonesia mencerminkan juga perjalanan sikap budaya. Sebut misalnya, kata-kata ini: kursi, meja, jendela, mangkok, gelas, dan gorden. Unsur serapan ini entah sejak kapan menjadi bahasa sehari-hari, tanpa kita merasa risi bahwa itu berasal dari bahasa Arab, Portugis, China, Inggris, dan Belanda. Belum kosakata yang datang dari bahasa Latin, Sanskerta, Parsi, India, dan bahasa bangsa-bangsa yang pernah punya hubungan dengan penduduk Nusantara. Dari bahasa Parsi saja, misalnya, kita bertemu dengan kata-kata: acar, istana, ustad, baju, biadab, bumi, betah, domba, dewan, penjara, dan seterusnya yang bisa mencapai lima ratusan kota kata.

    [iklan]

    Bahasa Indonesia yang berkembang sekarang adalah bahasa gado-gado; hibrida yang menerima serapan bahasa asing dan tak menolak unsur bahasa etnik. Itulah inklusivisme Melayu yang memancarkan kreativitas budaya masyarakatnya. Maka, tak perlu heran jika dalam bahasa Indonesia berseliweran kosakata serapan dari berbagai bahasa asing dan bahasa daerah.

    Di samping mudahnya bahasa Indonesia menyerap unsur asing dan daerah, ia juga merefleksikan semangat zaman. Ia menjadi fakta sosial ketika kita coba menelusuri asal-usulnya. Dalam sejumlah kasus kebahasaan, media massa paling besar kontribusinya dalam melahirkan dan memopulerkan ungkapan bahasa sebagai ekspresi sosial.

    Boleh jadi generasi sekarang tidak dapat memahami konteks ungkapan: Macan Podium (Bung Karno), Macan Bola (Ramang), Wanita Besi (Margareth Thatcher), Si Leher Beton (Mike Tyson), atau Gol Tangan Tuhan (Maradona). Pada zamannya, ungkapan-ungkapan itu begitu populer. Kini, mereka sekadar menjadi catatan sejarah dan mungkin tak dapat dipahami jika dilepaskan dari konteks sejarah pembentukannya.

    Potret Sosial Politik

    Ungkapan indehoy atau in de hooi (Belanda) pun pernah cukup populer untuk menyebut pasangan yang sedang berpacaran. Bagaimana ceritanya in de hooi (di balik jerami) dimaknai berpacaran, sementara makna asalnya adalah ’di balik jerami’? Rupanya, konon, orang Belanda jika berpacaran senang ngumpet di balik jerami belukar. Dan masyarakat kita cari mudahnya saja: orang yang sedang in de hooi itu berarti sedang berpacaran. Cari mudahnya itu terjadi juga pada ungkapan vrij man (menganggur, tidak punya kegiatan) yang lalu menjadi preman (menganggur, tidak punya pekerjaan) dan di belakang hari bermakna penjahat atau seseorang yang kerap dikaitkan dengan tindak kriminal.

    Pada zaman Orde Baru, berbagai ungkapan dan pernyataan eufimisme seperti timbul tenggelam begitu saja. Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) untuk menyebut para perusuh keamanan dan petrus (penembak misterius) kini hilang dan sekadar menjadi ingatan kolektif. Tetapi, akronim asbun (asal bunyi) dan singkatan ABS (asal bapak senang) atau eufimisme ”disesuaikan” untuk kenaikan harga masih tetap digunakan.

    Selepas Orde Baru tumbang, ingar bingar kehidupan politik secara signifikan memengaruhi cara pandang, perilaku, sikap hidup, dan saluran komunikasi masyarakat. Euforia politik sungguh dahsyat pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan bangsa, di dalamnya termasuk perkara kebahasaan.

    Sebut juga misalnya, ungkapan polisi tidur, yang tidak berhubungan apa pun dengan soal kepolisian. Atau sebutlah ungkapan umum tentang ”polisi cepek” yang kerap disebut juga sebagai Pak Ogah.

    Ungkapan polisi cepek secara etimologis dapat ditelusuri pembentukan dan pemaknaannya. Tapi kini, pecahan uang cepek (seratus rupiah) begitu kecil nilainya. Maka kata cepek, tentu tidak lagi relevan. Walau mungkin persoalannya bukan di masalah nilai uangnya, melainkan pada cara bagaimana masyarakat pemakai bahasa secara kreatif membuat ungkapan berdasarkan konteks sosial.

    Suatu saat, ungkapan polisi cepek mungkin akan hilang ditelan masa, seperti juga kata picis dalam ungkapan roman picisan yang muncul tahun 1950-an. Kata picis berarti uang logam, bernilai sepuluh sen atau disebut ketip (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, hal 870). Uang dengan nilai sen, ketip, talen, bahkan ringgit sekarang hilang dan hanya ada dalam catatan kamus.

    Penjara Politik Bahasa

    Maraknya aksi demo juga memunculkan berbagai ungkapan baru. Sebut saja, parlemen jalanan, pengadilan rakyat, politik dagang sapi, politik uang, badut politik, dagelan politik, dan ungkapan lain yang berkaitan dengan kehidupan politik. Dilihat dari pola pembentukannya, ada sejumlah ungkapan yang menggunakan analogi, tetapi ada juga yang dibentuk dengan pertimbangan asal enak dibaca. Ungkapan kendaraan politik atau gerbong politik, misalnya, menganalogikan partai politik dengan kendaraan.

    Dalam kehidupan kemahasiswaan, predikat yang diberikan kepada mahasiswa tertentu juga memunculkan sejumlah ungkapan. Mahasiswa yang sering bolos karena mengikuti berbagai kegiatan disebut mahasiswa aktivis. Ada pula mahasiswa yang dibayar untuk mendukung kelompok tertentu, disebut mahasiswa bayaran. Berbagai ungkapan lain terus bermunculan, seperti mahasiswa salon, atau mahasiswa anak mamih untuk menyebut mahasiswa pesolek dan mereka yang tidak mau terlibat kegiatan kampus. Banyaknya aksi tawuran antarpelajar juga melahirkan beberapa ungkapan baru, seperti hujan batu, perang batu, dan tawuran massal.

    Pada awal tahun 2010 berkaitan dengan 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berbagai surat kabar Ibu Kota memunculkan ungkapan ”curhat” alias curahan hati. Ungkapan itu awalnya digunakan kaum remaja yang berkeluh kesah menceritakan perasaan hatinya. Sebagai bentuk ungkapan perasaan (hati), mereka menceritakan persoalan asmara atau hubungan dengan keluarga sehingga merasa perlu berbagi kisah dengan orang lain.

    Model ungkapan itulah yang lalu disebut curhat. Maka, ketika siapa pun—termasuk presiden— berkisah tentang masalah yang dihadapinya kepada publik, tak pelak lagi masyarakat menyebutnya curhat. Ungkapan curhat pun tiba-tiba jadi populer di ranah politik. Di titik ini, bahasa tampak seperti dipenjara oleh konteks politiknya. Dan manusia, subyek dan obyek bahasa itu, pun ternyata dipenjara oleh bahasa.

    Sudah saatnya kemerdekaan lain mesti diupayakan. Setidaknya dalam bahasa.

    * Dimuat Harian Kompas, 13 April 2010.

    Maman S Mahayana, pengajara FIB UI dan pernah menjadi visiting Profesor di Hankuk University of Foreign Studies, mendapat penghargaan Satyalancana dari Presiden Republik Indonesia 2005.

    politik bahasa sosial politik
    Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp
    Previous ArticleFestival Jepang (Matsuri) Little Tokyo Ennichisai di Blok M
    Next Article Kenalan dengan Gunung Kembang, Si Kecil Cabe Rawit

    Postingan Terkait

    Mengenal Sistem Administrasi Negara Indonesia

    30 Oktober 2025

    Antara Paradoks Kekuasaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa

    1 September 2025

    Jejak Pancasila di Pemerintahan

    5 Juli 2025
    Leave A Reply Cancel Reply

    Postingan Terbaru

    Refleksi dalam Cerpen “Requiem Burung Gereja”

    11 November 202530 Views

    Sandal Jepit Pesantren

    9 November 202511 Views

    Mengenal Sistem Administrasi Negara Indonesia

    30 Oktober 20252 Views

    Membaca ‘Rahasia Tanda’ di Universitas Pancasakti Tegal

    29 Oktober 202511 Views
    Kategori
    • Berita Terkini (206)
    • Bisnis (7)
    • Buku (80)
    • Cerbung (19)
    • Cerpen (157)
    • Dongeng (90)
    • Drama (28)
    • Europe (1)
    • film (1)
    • Highlights (2)
    • Kritik Sastra (75)
    • Lingkungan (52)
    • Money (5)
    • Musik (18)
    • News (9)
    • Pendidikan (66)
    • Politics (3)
    • Profil Redaksi (16)
    • Puisi (186)
    • Sains (50)
    • Science (5)
    • Sinematografi (22)
    • Sosial Politik (29)
    • Sosialita (141)
    • Sports (5)
    • Tech (5)
    • Tradisi (98)
    • Travel (4)
    • UK News (4)
    • World (1)
    Advertisement
    Follow Kami
    • Facebook
    • Instagram
    • YouTube

    Bermis Serpong ASRI Blok B7/19 RT/RW 02/04, Cisauk - Tangerang

    Untuk Pengajuan Iklan dan Kerja Sama Hubungi:

    Email : redaksi@mbludus.com / dapoertjisaoek@gmail.com
    Kontak: -

    Facebook Instagram YouTube
    Syarat dan Ketentuan
    Definisi

    Ketentuan Layanan

    Ketentuan Konten

    Penggunaan dan Hak Cipta

    Undang-Undang ITE

    Tim Redaksi

    Penerimaan Naskah
    Flag Counter
    Flag Counter

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

    Ad Blocker Enabled!
    Ad Blocker Enabled!
    Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please support us by disabling your Ad Blocker.