Puisi merupakan representasi penyair dalam melihat keadaan sekitar atau bisa jadi perasaan dan pengalaman penyair tertuang dalam ruang yang sempit, namun luas makna. Itulah mengapa puisi menjadi istimewa. Bisa dilihat pada puisi-puisi di bawah ini, setiap kata yang dihadirkan sangat gamblang untuk dimaknai, seolah kita bisa masuk ke ranah pribadi penyairnya sekaligus mewakili perasaan kita yang membacanya. (redaksi)
[iklan]
P E R J A M U A N
adalah sebuah pesta
ketika wajah kawan dan lawan
sama manisnya
ketika merah anggur
pada gelas gelas kristal
berkilau menyembunyikan
dusta
: dan jejakmu pengkhianat masih bersisa
redup cahaya lampu dan kerdip
lilin tak mampu menilap senyum
engkau, aku, mereka, dan kita
cuma pelaku di balik kelir
ketika gending menjerit
ketika peluru mendesing
lalu hampa
malam terjungkal
sehitam jelaga
adalah sebuah pesta
ketika segelas anggur
dan sekerat roti sama pahitnya….
Agats – Asmat, 24 Oktober 2018
ABU ABU
masihkah si-aku ingin menjadi ikan?
biru warna tiba tiba terjerembab menjadi
kelam
pun batas langit sama hitam dengan
lumuran tinta
tanpa nama
–ah, seraut wajah dengan dua warna
topeng yang berbeda
hitam dan putih
meleleh dalam beku
menjadi maya, menjadi abu abu
: kutinggalkan riuh lantai dansa
irama musik terdengar sumbang
tak lagi sama
hanya malam yang gemetar
terdiam dalam kebimbangan
tatapan sepasang matamu tuan
masih jua menyimpan sebuah tanya
tanpa jawaban
Agats – Asmat, 1 November 2018
“D I M A N A?”
bila masih bertanya: “dimana?”
si-aku ada pada sebuah tersembunyi relung
yang tak akan pernah dapat dikunjungi siapapun
juga badai yang mulai menggasing
pada sepasang bola mata
nan meleleh dari hitam
menjadi merah bara
waktu berkelebat bagai
lidah pisau yang berkilau
mengintai selayak pendusta
lalu seluruh hari runtuh
menjadi helai kain kafan
menjadi hujan
–masihkan ada tersisa kata
yang harus disangsikan?
betapa nisbi batas antara
hidup dan kematian
betapa jauh jarak antara
salah dan memaafkan
cuma udara yang meleleh
berkeping selayak pecahan kaca
antara ada dan tiada
hari yang belum pasti tiba
hanyalah maya ….
Agats – Asmat, 2 November 2018
K E R A N D A
: hari itu aku telah lama mati
kehidupan hanya panggung bisu tanpa suara
tanpa kata, mengatupkan daun pintu pada derit
yang mengaduh, menjerit kehilangan makna
ah, seluler
yang lelah kiranya meluapkan kalimat
perkawinan vokal dan konsonan urung
pada desau angin yang terjungkal, sekarat
kita hanya sepenggal jejak yang segera terhapus
karena lidah ombak yang marah
atau sebuah kisah yang tak pernah sampai
pada akhir
hanya ada dua pilihan
altar atau kehilangan
–adakah harus terulang kesalahan?
pun beku keranda, menggigil, abadi
lalu daun-daun gelisah, gugur
pucat pasi
Agats – Asmat, 25 November 2019
Dewi Linggasari, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 22 Mei 1967, menyelesaikan pendidikan S1 pada Jurusan Antrolopologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 1993. Satu tahun bekerja sebagai asisten peneliti di P3PK UGM dan melakukn tugas lapangan selama satu bulan di Wamena. Tahun 1994 tiba di Merauke sebagai petugas lapangan BKKBN sekaligus memenuhi panggilan untuk menulis Etnografi Papua. Tahun 1996 pindah ke Asmat dalam rangka tugas lapangan sekaligus penggalian data Etnografi.