Perjalanan Nenek Sukiyah

Widya Yustina

Matanya menatap tanjakan terjal berbatu. Di sisi kanan dan kiri rimbunan semak belukar tampak menghalangi jalan. Kalau salah perhitungan, bisa-bisa tergelincir masuk jurang, seru batin Sukiyah. Dadanya kembang kempis, nafasnya berbunyi saat menaiki tanjakan. Matahari yang bersinar garang, memanggang kulitnya yang keriput. Kain kebayanya lengket bercampur dengan keringat. Perempuan paruh baya itu tak punya pilihan.

Di langit, seekor elang terbang berputar-putar tengah mencari mangsa. Cakarnya yang tajam siap mencengkram. Sayapnya yang lebar dan kokoh nampak anggun, gagah, dan digdaya. Usahanya tak sia-sia. Seekor tikus berbulu coklat kekuningan yang baru keluar dari sarang, menyembul dari lubang tanah. Tak sanggup menyelamatkan diri dari cengkraman sang elang. Dalam sekejap, si tikus sudah berada di awang-awang siap menjadi santapan.

Sukiyah melanjutkan perjalanan. Gerak langkahnya yang lamban menyusuri pesawahan, lalu menyisir jalan setapak menuju hutan Siamang. Suara nyanyian tonggeret terdengar dari balik ilalang-ilalang. Kicauan suara burung pleci disusul kicauan burung prejak menggema di seantero hutan.

Setelah cukup lama berjalan, punggungnya linu, otot tubuhnya terasa kaku. Sukiyah memutuskan beristirahat di sebuah cadas berlumut. Desir angin menyapu peluhnya yang bercucuran. Kerongkongannya terasa kering sekarang. Suara aliran anak sungai Cisaat terdengar merdu memanggil-manggilnya dari balik lembah.

Saat mencoba bangkit, pinggangnya mendadak kram. Kedua lututnya gemetaran. Beruntung sebuah ranting dahan rendah, berhasil ia raih. Kedua kakinya kembali menapak ke tanah, Sukiyah berjalan pelan-pelan.

Sebuah tas kecil dan usang berisi tugas sekolah kepunyaan Sri, ia dekap dengan erat. Sri begitu telaten mengerjakan tugas itu semalam sebelum akhirnya terserang demam. Anak itu bahkan sempat meracau memanggil-manggil nama bapaknya sebelum Sukiyah pergi.

Sri anak piatu sejak lahir. Sumiyati, anak Sukiyah wafat ketika Sri dilahirkan. Bapaknya lalu pergi merantau ke pulau orang sejak bertahun-tahun silam tanpa kabar berita. Untuk bertahan hidup, Sukiyah berjualan rempeyek yang ia jual dari rumah ke rumah. Dagangannya cukup laku di pasar mingguan. Para tetangga pun kerap berbaik hati meminjamkan telepon genggam agar Sri dapat mengikuti pelajaran. Membuat Sukiyah lama-lama tak enak hati lalu memutuskan mengantarkan tugas pekerjaan rumah cucunya langsung ke sekolah.

Sebongkah pecahan beling tiba-tiba mencuat dari balik rerumputan. Menancap di salah satu bagian telapak kaki Sukyah yang telanjang tanpa alas kaki. Darah segar mengucur melalui sela-sela jari kakinya ketika pecahan beling itu dicabut. Duh Gusti, sakitnya bukan alang kepalang, ujar Sukiyah sambil meringis.

Ia lalu berusaha mencari daun binahong yang biasanya tumbuh diantara rerumputan ilalang. Kata orangtuanya dahulu, daun itu manjur menyembuhkan luka. Akan tetapi, Sukiyah tak punya banyak waktu lagi. Ibu guru Ijah pasti sudah menunggu kedatanganya di sekolah.

Rasa sakit yang kian menjalar membuat kakinya terasa kebas, mati rasa. Bekas luka pecahan beling meninggalkan jejak merah di atas tanah sewaktu ia berjalan. Semilir bau anyir mulai tercium oleh para penunggu hutan yang mengintip dari balik dahan pepohonan hutan Siamang. Mata mereka awas memperhatikan nenek Sukiyah berjalan tertatih-tatih dari kejauhan. Ada yang hendak jahil mencoba merayu Sukiyah agar lupa ingatan. Namun, saat mendekat langsung tercegat oleh tekad baja sang nenek hingga memutuskan kembali ke sarang.

Tak berapa lama, langit biru berubah menjadi kelabu. Awan-awan menjadi hitam. Burung-burung berhenti bernyanyi, katak berhenti meloncat-loncat, memilih bersembunyi di balik dedaunan. Dinginnya embusan angin merasuk ke dalam sendi-sendi dan sela-sela gigi nenek Sukiyah yang ompong. Sukiyah memohon agar Tuhan bersedia menunda hujan agar pekerjaan rumah Sri tak kebasahan.

Sri adalah harapan terakhir yang ia miliki. Cinta dan harapan Sukiyah terhadap Sri terajut rapi sejak anak itu masih dalam kandungan Sumiyati. Selagi masih diberi nyawa, ia akan terus berjuang agar cucunya tak ketinggalan pelajaran. Kepala Sukiyah menengadah mencari-cari batas gapura yang belum juga kelihatan wujudnya. Gerbang sekolah Sri tak berada jauh dari sana. Ia ingat terakhir kali datang sewaktu dipanggil pihak sekolah untuk menerima bantuan pemerintah.

Kabut mulai turun. Daun-daun pepohonan bergoyang tertiup angin yang berembus kencang. Suara gemuruh di timur dan barat hampir membuat nyalinya hampir ciut. Sukiyah memacu langkah kakinya bergerak lebih cepat. Bibir keriputnya meringis, serpihan beling terasa tajam menusuk dari dalam. Segalanya mulai terlihat berwarna abu-abu dan berbayang.

Bahunya naik-turun, napasnya kian berat. Tubuh Sukiyah berguncang melawan ketidakberdayaan. Matanya terus mengerjap-erjap menghalau kabut dari pandangan. Bulir-bulir air hujan menampar wajahnya yang keriput. Darah yang terus mengalir dari luka sayatan beling, membuat langkahnya kian terseok-seok.

Jangan-jangan tersesat? Salah arah? Haruskah menepi saja dan kembali pulang? Pikirannya kacau, perasaannya mulai campur aduk. Hujan seperti dimuntahkan dari atas langit, ribuan percikannya mengenai punggung nenek Sukiyah yang basah kuyup. Tulang-tulang rapuh termakan usia terlihat menonjol dari balik kain kebayanya yang kusam. Jalanan tandus berbatu telah berubah menjadi genangan namun Sukiyah terus berjalan.

Sungguh luar biasa kuasa dan anugerah Tuhan. Sebuah dorongan terakhir memacunya mengerahkan kekuatan terakhir. Sedikit lagi. Ya! sedikit lagi. Sukiyah terus menyeret kakinya yang terpincang-pincang. Melangkah lebih cepat, lebih dekat. Ya, itu dia, di sana. Benar, gapura itu. Bayangan dari balik kabut berupa tembok tinggi kian menampak jelas. Di sisa-sisa akhir tenaganya, diantara kabut menyebalkan itu. Matanya mengerjap sekali lagi, hatinya bersorak kegirangan. Ia temukan juga apa yang dituju; gerbang sekolah Sri.

***

Subhanallah…

Mata Ibu Ijah terperanjat kaget melihat sosok perempuan tua berjalan bungkuk melewati gerbang. Di tengah derasnya hujan, sang guru berlari menyambut kedatangan nenek Sukiyah. Dipeluknya tubuh nenek itu lalu dipapah menuju ruang UKS. Bibir Sukiyah tampak kebiru-biruan, wajahnya pucat pasi nyaris seperti mayat. Tubuhnya gemetaran.

“Nek… Padahal besok rencananya saya yang akan datang ke rumah nenek,” ujar Ibu Ijah sambil berlinang air mata. “Tidak apa-apa Bu, saya memang sudah bertekad kemari,” ucap nenek Sukiyah lemah sambil menyerahkan tas kepunyaan Sri pada sang guru.

Ibu Ijah tak kuasa menahan haru. Ia lalu menyodorkan segelas air hangat yang diteguk Sukiyah dengan mulut gemeratak. Luka di kakinya telah membuat perjuangannya sempurna. Nenek Sukiyah bergumam. Ia bilang harus cepat pergi. Ia terus teringat Sri. Namun, niat itu dihalangi Ibu Ijah yang tak sanggup melihat kondisi nenek Sukiyah. Begitu selesai bergumam, tubuh nenek Sukiyah pun terkulai jatuh pingsan.

 

Widya Yustina lahir di Ciamis, 1986. Menyelesaikan studi ilmu Jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Selain hobi menulis, ia juga gemar menonton dan jalan-jalan. Karyanya antara lain Buku Dongeng Fabel 2019 Jilid 1 (2019), Menenun Rinai Hujan (2019) kumpulan puisi bersama Sapardi Djoko Damono, Orakadut Jadi Tokoh kumpulan cerpen bersama Golagong (2020).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *