
Puisi yang tercipta kerap kali berada pada penyair yang terbelah; satu kaki berada dalam keterikatan kultur etnik dengan segala karakteristik tradisionalismenya, satu kali lagi berada dalam dunia modern yang hadir pada dirinya dengan segala macam persoalannya. Tetapi, puisi tetap akan memiliki jalannya sendiri untuk menginformasikan suatu keadaan atau kenyataan. (Redaksi).
[iklan]
Puisi Zen KR. Halil
Perempuan Tanah Garam
Saban hari
Kami hanyalah seorang tak kenal bosan
Membangunkan matahari
Dengan asap merubung
Dari tungku yang tiada keluh
Setia menemani kami berpeluh.
Lalu, tanpa letih kami merawat pagi
Di taneyan lanjheng[1] dengan sapu lidi
Sembari mengusap dada
Yang sesak oleh doa
Mengharap keselamatan bagi suami
Saat memerangi takdir mereka sendiri;
Melawan maut di bentang laut,
Memanjati nasib di pucuk pohon siwalan,
Atau menanam mimpi di ladang
Dengan dada paling lapang.
Kendati kami mengerti
Bahwa otot kami masih tak sekekar akar
Tetaplah kami panggul peltong[2] di punggung
Menikmati terik bersama celurit
Mengarit rumput untuk sapi-sapi piara
Yang kami sebut sebagai hidup kami sendiri.
Mata kami begitu akrab menatap harap
Menata ingin dan angan anak-anak kami
Meski hati terus menjelma gudang
Penuh akan tumpukan kecemasan.
Dan dalam malam-malam yang bising oleh tembang
Sungai mengalir di pipi
Membanjiri doa dan mimpi kami
Yang begitu puisi.
Madura, 2019
[1] Halaman Panjang, ciri khas yang banyak digunakan perumahan-perumahan orang madura
[2] Tempat rumput yang biasa digunakan saat menyiangi
Bibir yang Lupa Cara Tersenyum
Pernah kami lepas
Tawa tanpa cemas
Memanen hasil tembakau
Dengan harga yang hijau
Saat segala doa kami
Diamini musim kemarau.
Betapa dunia semakin surga
Ketika hidup seolah tanpa kata duka
Anak-anak bernyanyi ceria
Melupakan hujan yang menyimpan lain kesenangan
“Pajher lagghu arena pon nyonara
Bapak tani se tedung, pon jheghe’e
Ngala’ are’ so landu’ tor capenga
Ajhelenaghi sarat kawajibhen
Atatamen mabennya’ hasel bhumena
Ma makmur nagherena tor bhengsana…”
Namun, kini kemarau adalah
Dada kami sendiri
Menyimpan panas paling terik dalam hati
Setelah seluruh cinta yang kami rajut
Pada hijau daun tembakau
Menyajikan kisah paling elegi
; ironi harga pasar yang kasar
Tak cukup buat membeli
Sebiji permen untuk anak-anak kami.
Maka, adakah senyum kami
Hanya akan terlipat rapi
Dalam kenangan?
Dan kami harus benar-benar melupakan
Segala cara merangkai kebahagiaan.
2019
Nadzam Annuqayah
#1
Kota kami bukan kota yang berisik
Dengan motor ataupun pabrik mengusik
Serupa firdaus sejuk dan indah
Kota kami disebut Annuqayah
Di sinilah pusat kirana berpendar
Nur Tuhan dari hati kiai memancar
Keramaian bacan qur’an dan syi’ir
Mengalir tak pernah menjumpai hilir.
#2
Ketika lapar mengakar dan menjalar
Teman setia adalah rasa sabar
Di sini segala bernama ibadah
Diasah agar resah tak kian rekah
Sebab barangkali dengan semua itu
Sejuk embun kiai larut ke tubuh.
#3
S’perti petani kami suka bertanam
Ladangnya hati dibajak dalam diam
Yaitu ta’dzim kami tanam sengaja
Kepada para kiai yang mulia
Setelah ditanam kami siram lalu
Dengan doa agar tumbuhnya tak layu
Hingga nanti kami bisa mengecap
Kenikmatan buah t’lah menjadi harap
Dan hati bukan lagi semak belukar
Tak lagi sesak dosa berduri liar.
Annuqayah, 2019
Zen KR. Halil. Santri PP. Annuqayah Lubangsa dan Mahasiswa INSTIKA prodi Tasawuf dan Psikoterapi asal Batang-batang, Sumenep. Sejumlah karyanya pernah dimuat di beberapa media dan antologi bersama. Sedang menimba air di beberapa sumur diantaranya: Komunitas Persi dan Majelis Sastra Mata Pena. Bisa dikunjungi di kampung halamannya: zen.kr@yahoo.com