Oleh Cikeu Bidadewi

Pernah suatu malam aku bermimpi, istriku duduk bersimpuh di hadapanku. Dengan gunting di tangan kanannya. Matanya menatap kepadaku dengan dingin. Tetiba ia memotong rambutnya yang sepinggang menjadi tinggal sebahu. Aku tak paham makna atau tafsir mimpi. Namun salah satu kawanku bilang bahwa, “istrimu akan pergi. Dia akan memulai hidup dengan niat yang baru.”

Aku menanggapi biasa saja kala itu. Mimpi adalah bunga tidur. Pada suaru hari istriku meminta ijin untuk pergi pulang kampung. Ibunya sudah lama tak dijenguk. Mertuaku menjadi alasan. Tentu aku mengijinkan bahkan dengan uang saku tambahan. Istriku pamit pulang kampung dengan banyak barang bawaan. Istriku lalu tak pulang hingga seminggu. Tak memberi kabar kepadaku. Dia bahkan tak mengangkat teleponku. Ketika salah satu anakku berhasil menghubunginya lalu aku bicara lewat ponsel salah satu anak kami. Dia malah marah dan menangis sambil teriak-teriak penuh kebencian. Aku tak mengerti. Mengapa dia begitu histeris? Padahal aku hanya ingin bicara baik-baik. Aku mendiamkannya sekitar sebulan. Aku berharap dia puas lepaskan rindu dengan ibu kandungnya. Namun apa yang terjadi kemudian? Dia malah ingin bercerai. Tentu saja aku denial. Aku menyangkal. Aku anggap itu hanya candaan. Masuk bulan ke dua aku masih anggap hal ini tidak serius. Aku hanya berpikir istriku ngambek dan ingin dirayu. Aku berniat menjemputnya. Dia ingin sesuatu atau sedikit perhatian lebih?

Kuputuskan berangkat menjemputnya. Aku siapkan oleh-oleh juga tak lupa kenakan pakaian terbaik. Aku ingin terlihat tampan meski hatiku sedang tak karuan. Diantar salah satu saudara kandung aku menyusulnya ke kampung. Apa yang terjadi kemudian? Keluarganya tak memperbolehkan kami masuk, apalagi mengijinkan aku menemui atau bicara dengan istriku. Aku kembali ke Jakarta dengan hati yang remuk. Aku malu kepada saudara kandungku. Aku malu kepada anak-anakku, karena aku tak berhasil membawa kembali ibu kandung mereka. Kemudian aku periksa semua surat-surat dalam lemari. Tak ada lagi kutemukan buku nikah kami. Hanya ijazah-ijazah dan akta kelahiran anak anak kami. Istriku telah membawa dokumen bukti pernikahan kami. Sungguh aku merasa dikhianati.

Sebetulnya sudah 3 tahun istriku tak lagi sudi disentuh. Dia beralasan apapun dari mulai datang bulan, kelelahan, mengantuk hingga sakit kepala. Sejujurnya, bahkan setahun terakhir kami pisah kamar. Dia juga pernah kupergoki bicara ditelepon padahal sudah dini hari. Kata orang itu tanda istri punya seseorang lain di hatinya. Aku tak percaya. Aku masih menyangkal. Dia ibu anak-anakku. Kami telah menikah selama hampir 24 tahun. Setahun lagi adalah pernikahan perak kami. Istriku selingkuh? Itu adalah tak mungkin. Istriku tak mungkin lakukan itu. Istriku pasti bisa menjaga kesetiaan kepada keluarga kami. Karena itulah yang terjadi kepadaku. Aku menjaga kesucian kesetiaan kepada keluarga di atas segalanya. Karena perselingkuhan atau tidak setia adalah hal yang sama sekali tak pernah ada dalam benakku. Itu sebabnya aku tak hirau kala saudara sekandungku mulai mengadu satu dua. Bahwa istriku punya pacar yang konon bekerja di Riau. CEO atau salah satu direksi pada satu perusahaan batu bara. Dan konon juga tak hanya itu. Karena istriku juga dikejar pria lain yang konon kapten kapal. Semuanya dikenal lewat media sosial. Istriku memang banyak berubah sejak aktif di medsos. Kuakui itu.

Setelah dia punya ponsel pintar dan mengerti dunia media sosial. Dia sering dandan cantik dengan make up tebal. Bulu mata palsu. Softlens. Baju seksi dikenakan dengan model tanpa lengan. Salah satu temanku bilang, “Salah satu tanda seseorang memiliki yang lain di hatinya meski virtual,” sayangnya dulu aku selalu menyangkal.

Meski aku mengakui… Wajah cantik dan baju seksi dikenakan tetapi tidak untuk suami. Aku bahkan pernah meradang dan marah kepada saudara-saudara kandungku. Karena mereka menuduh istriku bercinta meski secara virtual. Karena kawan dari istriku mengadu. Jika istriku keluar rumah pada siang hari adalah untuk video call dengan pria lain. Memperlihatkan aurat-auratnya kepada bukan muhrim. Salah satu asisten rumah tangga bahkan pernah pergoki istriku bicara berbisik di ponsel pada jam 3 dini hari di area dak untuk menjemur pakaian. Ketika aku tanyakan hal itu? Istriku bilang bahwa saat itu dia sedang menelpon ibunya. Jika dipikir sekarang… apa mungkin? Bicara ditelpon dengan Ibu kandung pada tengah malam buta yang normalnya adalah itu waktu untuk manusia terlelap? Di area mencuci pakaian pun? Padahal pada tengah malam buta mungkin saja istriku dan pengagumnya tengah saling merayu dan melepas asa? Bisa jadi mereka bercinta virtual atau lewat ponsel? Sementara aku bahkan dibiarkan ketika lapar batin. Namun saat itu aku masih naif. Aku tak terima kenyataan dan yakin jika istriku bukan korban teknologi. Media massa tak akan membuatnya menjadi buta hati. Istriku pasti bisa membedakan antara fantasi dengan realiti. Tak mungkin dia terkena rayuan lelaki iseng dari dunia maya. Aku tak percaya dan tetap tak akan percaya.

Lalu pada suatu hari surat panggilan dari pengadilan agama tiba. Surat bersampul coklat dengan namaku dengan bin ayahku. Surat berjadwal dengan namaku sebagai tergugat. Surat yang sebelumnya salah alamat dan menyasar hingga ke rumah-rumah tetangga. Sekampung jadi paham dan kepadaku orang lalu memandang iba kemudian. Menunggu jadwal sidang yang masih tiga minggu ke depan adalah saat-saat yang keparat untuk diingat. Ada malam-malam tertentu aku menangis sesenggukan. Merasa tak berharga meringkuk sendirian adalah sungguh perasaan tak berdaya.

Dunia rasanya gelap dan masa depan itu adalah kelabu. Hatiku perih kala melihat anak-anak yang telah tumbuh remaja dan dewasa. Kupergoki mereka tertidur dengan wajah-wajah tak berdosa. Batinku teriris. Perih sekali rasanya. Anak-anak yang tak bersalah harus menjadi korban dan alami kepedihan. Lalu semua itu membuat aku menjadi muak. Kemarahan dan merasa dikhianati mulai muncul. Apalagi kemudian dia berfoto dengan satu map di dadanya. Berlatar belakang pengadilan agama foto itu diunggah di medsosnya. Mau apa dia? Istriku adalah orang yang menikamku dari belakang. Apa yang kurang dari diriku? Apapun yang aku punya adalah untuknya dan anak-anak. Warisanku habis dinikmatinya. Aku yang memboyong dia dulu dari kampung sana ke metropolitan ini. Ketika proses perceraian sedang berlangsung. Aku memberanikan diri membuka lemari. Baju-bajunya dan jilbab warna-warni tiga lemari. Sepatu dan selop juga sandal yang berantakan. Tas berbagai bentuk dan warna juga aksesori. Sampah semua. Kebaya batik hingga songket mahal milik almarhum ibuku bahkan semua dijahit sesuai keinginannya. Tak ada lagi tersisa.

Sidang pertama hingga ke dua aku tidak datang. Selain jauh karena di luar kota dan itu sengaja kulakukan. Kami dulu menikah di satu kota di Jawa barat. Dan tentu sidangnya pun di sana. Menghadiri sidang yang membutuhkan dana tak sedikit. Plus mental yang kuat. Ibarat memanjangkan tali kelambu. Pembelaan mediasi atau menolak cerai adalah percuma. Biarkan saja catatanku menjadi buruk. Silakan saja dia tuliskan apapun sebagai alasan. Hatiku mulai berbalik sekeras batu. Tak lagi menafkahi dan kekerasan verbal hanya salah satu alasan yang dia tuliskan. Sudah merasa tak cocok dan tak nyaman adalah alasan lainnya. Intinya dia tetap meminta bercerai apapun yang terjadi. Keputusan yang katanya sudah bulat dan dipikirkan matang. Pada usia 45 istriku menantang hidup dengan menjadi janda. Waktu berlalu dengan tidak mudah pada awalnya. Segala hal yang biasa kami lakukan bersama tak ada lagi. Aku sendirian ketika ada undangan tetangga atau saudara. Kami tak lagi berfoto lengkap kala hari raya. Dan ada masa anak-anakku seperti menjadi minder.

Di media sosial ku dengar mantan istriku nampak tambah percaya diri. Make up nya makin tebal dan aktif reuni kanan kiri. Topi dan kacamata dan pakaian senada. Berfoto sendiri atau dengan teman-temannya. Begitu bahagia nampaknya dia kala proses perceraian masih berlangsung. Aku tidak terhubung dengan media sosialnya namun para keponakan, teman-temanku bahkan tetangga masih berteman dengannya. Dari mereka aku tahu. Kemudian pada sidang ke tiga aku hadir. Dia dengan dua saudara lelakimya. Aku juga ditemani saudara sekandungku. Dengan tengilnya dia berjalan. Lunggak-lenggok depan kami. Dia bahkan tak sudi menyalami kakak-kakak kandungku yang tak punya salah. Dipersidangan berkali-kali hakim membentaknya. Hakim sepertinya paham. Bahwa banyak perempuan jaman kini meminta cerai akibat korban media sosial. Rumah tangga kacau dan anak-anak menjadi korban. Ini semua sebetulnya adalah akibat orang dewasa tak bijak dalam menghadapi dunia media sosial yang penuh kepalsuan. Hakim mengetuk palu pada sidang ke empat. Aku lihat wajah istriku terhenyak. Kemudian hakim meminta kami bersalaman dimana dia dengan sopan mencium tanganku, terakhir kali karena kami sudah sah bukan lagi muhrim. Sekali lagi, Dia umumkan perceraiannya itu di media sosialnya. Berfoto dia untuk ke dua kali di depan pengadilan agama dengan bangga. Seolah pemberitahuan kepada dunia bahwa dia sekarang bebas. Ada kalanya aku menyesali diri. Dulu mungkin memang aku sering bicara keras? Aku memang tak membahagiakannya? Aku kurang komunikasi hingga masuk pria lain meski tak diakui hingga akhir. Pandemi dan kecanggihan teknologi bahkan dunia ini aku salahkan. Mengapa aku dulu sering melamun? Mungkin aku abai? Bukankah aku bisa pulang kampung dan jadi petani? Tinggal bersama ibu kandungnya atau kami membeli lahan di kaki gunung. Toh, bertahan hidup di kota pada masa pandemi adalah keliru. Aku menjadi kurang kontrol? Karena beberapa kali aku memang suka bicara dengan nada tinggi. Memang aku pernah beberapa kali terpicu emosi. Namun itu juga bukan tanpa alasan. Kepadaku dia hanya bicara soal uang dan uang. Padahal untuk makan tak pernah kurang. Make up nya masih lengkap. Bahkan dia mencuci muka dengan susu dan madu murni.

Iya, mungkin aku pernah tak kontrol dan kebabablasan. Tetapi dia pun bukan istri yang baik beberapa tahun belakangan ini. Dia tak lagi membuatkan aku teh atau kopi. Menawari basa-basi pun tidak. Dia tak lagi siapkan makanan panas apalagi memasak untukku. Seharian di kamar anakku dan keluar dengan tangan selalu memegang HP. Marah dan menangis jika ditegur bahkan mengganti PIN Ponsel. Dia ramah kepada kawan-kawannya. Dia ramah kepada tetangga dan semua orang. Dia berfoto-foto cantik untuk diunggah di media sosial. Tetapi kepadaku wajahnya ditekuk sepanjang hari. Jika aku protes maka dia akan sebut itu kekerasan verbal.

Dia bicara kepada tetangga bahwa dia sudah tak nyaman. Melahirkan 4 orang anak dengan bertaruh nyawa. Segalanya sudah dia korbankan untuk keluarga. Dan ada saatnya dia merasa semuanya sudah cukup. Dengan alasan sudah tak tahan lagi dia putuskan pergi. Aku tak akan mencegahnya. Percuma meski aku menangis darah. Percuma juga saudara sekandungku merayunya. Perempuan yang sedang kasmaran bisa luar biasa kelakuannya. Dia akan rela tinggalkan apapun bahkan anak-anaknya. Demi cinta buta yang entah kepada siapa karena tak diakuinya. Jatuh cinta dengan korban narkoba itu sama. Mereka mabuk zat sesuatu yang sukar disembuhkan. Hormon-hormon fantasi penghasil kebahagiaan yang memabukan. Perempuan yang merasa pintar lalu ditipu pria yang mengaku kapten kapal. Lelaki yang kerja di perusahaan batu bara yang dia banggakan. Ternyata hanya sekuriti atau pekerja malam yang tentu saja punya banyak waktu menelepon istri orang tengah malam.

Dari semua itu aku ambil hikmahnya. Aku semakin dekat dengan Yang Maha Kuasa. Banyak orang berniat menjodohkan. Pun beberapa teman SMP/SMA yang sudah menjanda beberapa mulai menghubungiku. Tetapi aku tak akan gegabah. Menikah lagi dengan bawaan empat anak? Aku bahkan belum berpikir ke sana. Aku justru lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka, anak-anakku. Mendaki gunung atau ke pantai kami lakukan sesekali. Aku tak akan salahkan pihak manapun. Berhenti juga menyalahkan diri sendiri. Aku mulai percaya bahwa segala hal sudah ada guratan nasib. Dia ibu dari anak-anakku. Rahasianya tak akan kuumbar. Mungkin dulu aku terlalu polos dan naif? Tak pernah pacaran serius dan ketika jumpa dia? Senyum manis dan keramahannya membuatku kepayang. Aku jatuh hati dan langsung kuajak menikah. Kini dia mempermalukan aku dan keluarga besarku. Tapi aku tak boleh egois. Aku tak akan balik mengumbar aibnya. Dia ibu anak-anakku. Dia punya hak melakukan apa yang dia inginkan. Meski itu menghancurkan mimpi dan harapan keluarga. Aku percaya bahwa hidup adalah menuai apa yang kita tabur.

Perceraian sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Buktinya ada ayat tentang itu dalam surat di kitab suci agamaku. Perceraian memang menyiksa dan menyakitkan jiwa. Tapi itu bukan akhir dari kehidupan dunia. Dunia berubah karena Media Sosial. Aku ingatkan anak-anakku, jangan jadikan untuk curahkan isi hati. Media sosial tak akan membantu. Satu dua pura-pura berempati. Lainnya mencibir atau malah bisa bernafsu. Ikut-ikutan di dalamnya terbawa arus dan menjalani hidup sesuai dengan gaya yang dunia media sosial inginkan. Penampilan yang indah dan bagus meski tak soal menghalalkan cara dalam mendapatkannya. Jaman berganti dan dunia seolah berubah. Tak ada pelajaran baku di buku sebagai panduan. Teknologi seolah membuat asa meruah. Padahal kita semua budak kepalsuan. Media sosial adalah ibarat pisau belati. Tergantung sebijak apa memanfaatkan. Kepalsuan dan agenda tersembunyi. Lahan untuk menggugurkan amal karena riyya kebahagiaan. Media sosial dimana kekerasan, pornograpi dan penipuan ada di dalamnya. Rayuan maut dan bisnis terselubung. Kekejian. Kebengisan. Amoral. Semua di dalamnya. Bertebaraban. Ah, kumpulan aneka kepalsuan dan kengerian. Tak sadar semua itu membuat linglung. Semakin banyak orang tergelincir lalu lupa dan lalai akan agama. Asik sendiri dan abai kepada keluarga. Tak paham lagi dengan kejadian nyata di sekeliling. Bergunjing atau jadi manusia nyinyir itu hanya urusan kecil. Karena kengerian yang lebih sadis pun sering menjadi akibatnya. Mengintip dunia para selebriti. Lalu berkhayal dan membandingkan teman yang mengunggah momen yang seolah sempurna bahagia. Kemudian hati menjadi gusar. Minder dan malu dengan kehidupan sendiri. Lalu mulai protes kepada pasangan atau orang tua sebagai pelampiasan. Membandingkan kehidupan orang lain seolah lebih berkilau. Padahal sejak dulu sudah ada pribahasa, ‘Rumput tetangga selalu nampak lebih hijau’.

Dunia media sosial yang kuat menerjang tak sadar membuat kita rapuh. Lelah fisik dan mental. Namun tak banyak orang menyadari karena terlena. Tak lagi bisa bedakan topeng dan nyata. Tengok anak-anak kita. Lihat orang tua kita. Kita dilahirkan dan melahirkan keturunan dan menjalani kehidupan adalah atas takdirnya. Bukan melulu alasan kesakitan dan kepedihan. Yang Maha Kuasa pasti sudah siapkan hikmah. Hidup dan kehidupan pada jaman apapun selalu ada cobaan. Kekuatan hati dan doa akan mengenyahkan. Sabar dan tawakal akan memudahkan langkah melewati setiap rintangan. Ikhlas dan sujudmu pasti didengarkan Tuhan. Setelah badai tornado itu. Setelah hal- hal yang saling menyakitkan. Dan setelah semua itu usai. Kamu pasti tak paham bagaimana rasanya hidup tanpa harapan. Atau impian yang terhempaskan. Wajah wajah sedih anak-anak yang tak berdosa. Dan beban mental yang harus mereka tanggung.

Beberapa tahun berlalu. Aku kira mantan istriku sudah dapatkan apa yang dimau. Aku kira ada lelaki lain yang menikahi dan mengangkat derajatnya. Anak-anak kami sudah selesai kuliah dan bekerja. Satu orang mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Satu lagi beberapa kali tampil di luar negeri untuk misi kebudayaan dan anak dari keluarga berada begitu intens perhatiannya. Satunya masuk ikatan dinas. Yang bungsu sudah masuk kuliah. Aku sudah tak lagi risau dengan urusan duniawi. Tetiba lewat ponsel salah satu anak kami dia menghubungi. Dengan tangisan dan rayuan mantan istriku menceritakan semua kisah. Ibundanya wafat. Kakak kandungnya terkena stroke dan diceraikan istrinya. keponakannya masuk bui. Juga dia ceritakan tentang kerinduan. Rasa kangen anak-anak yang memang jadi jarang mengunjungi karena kesibukan mereka kini. Mantan Istriku ingin semua kembali. Seperti dulu. Dia bahkan ingin memohon maaf kepada keluarga besarku. Dan kepadaku, dia bahkan bilang… “Bila perlu, saya akan bersujud,” Itu katanya.

Dia… mantan istriku lupa, bahwa aku adalah Lelaki.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *