
Oleh Cikeu Bidadewi
Suatu hari pada akhir minggu ke 2 pada tahun 2025. Kakak kandungku mengajak aku untuk ikut ke rumah ibu mertuanya di daerah Banten. Bersama istrinya kami Naik KRL, lalu menyambung Angkutan Kota. Dalam satu setengah jam kami sudah tiba di satu desa dengan langitnya yang masih berwarna biru. Segala palawija tumbuh subur. Ikan, bebek dan ayam petelur. Pohon pisang yang nyaris masak pohon. Rambutan berbuah lebat dengan dahan pohon yang tak terlalu tinggi hingga kami bisa memetik langsung. Keren.
Kenyang mengeksplorasi kebun tetiba aku lapar. Kebetulan ada seorang pedagang masakan matang yang sedang berkeliling kampung. Kami berkenalan. Namanya Yuyun. Perempuan usia 45 tahun. Empat kali melahirkan. Tiga anaknya berhasil hidup sementara satu anaknya meninggal ketika bayi. Dari ketiga anaknya yang hidup pun… satu orang anaknya harus dia relakan diadopsi pasangan lain. Aku langsung tertarik dengan kisah hidupnya. Segeralah dia… si pedagang lauk pauk keliling itu bercerita.
Namanya Yuyun. Dilahirkan dari rahim seorang ibu yang Sinden dan ayah yang seorang dalang. Keduanya sudah almarhum. Yuyun sudah gemar menari sejak balita. Ayah dan Ibunya dulu sering mengajaknya ketika mereka manggung. Yuyun kecil terbiasa dengan pertunjukan. Sejak ashar dia sudah sudah diajak naik sepeda atau gerobak, kadang berjalan kaki. Naik turun bukit dari kampung ke kampung. Melihat ayah ibu dan para seniman dalam grup itu mempersiapkan pertunjukan.
Yuyun tumbuh menjadi remaja yang cantik. Tari Jaipong dikuasainya. Otodidak. Alias hanya diajari dari ibu dan neneknya. Daun Pulus, Keser Bojong itu adalah Jaipong yang paling dikuasainya. Akhirnya Yuyun ikut jejak orang tuanya. Tadinya dia hanya tampil selingan tapi malah justru disukai penonton. Yuyun sohor dikalangan pelaku dan penikmat seni pada akhirnya. Hajatan kurang seru tanpa mengundang Yuyun. Ayahnya akan mendalang… ibunya nyinden dan Yuyun menari Jaipong. Kolaborasi sempurna yang jika kejadian… pihak pengundang atau si empunya hajatan harus mamanggil pihak keamanan demi mencegah keributan. Pemuda kampung pengangguran hingga kepala dusun. Bandar Jengkol hingga bandar pasir laut akan menjadi penontonnya.
Yuyun yang jelita menjadi impian para pria. Kala dia menari Jaipong di atas panggung. Dengan ketukan di hati hentakan di telapak kaki lalu pukulan kendang plus goyangan pinggul… maka banyak penonton pria kemudian seperti terhipnotis dan menahan nafas.
Yuyun tidak melanjutkan pendidikan setelah SMP. Tawaran atau undangan manggung membuatnya sibuk. Yuyun begitu sohor hingga di kampung- kampung sebelah. Yuyun yang remaja dan jelita tentu diimpikan para pria. Ditunggu penampilannya. Orang rela mengejar grup Yuyun di manapun demi melihatnya tampil. Kemudian Yuyun menikah. Yuyun dinikahi bandar pasir laut yang mengaku bujang namun ternyata punya anak segudang.
Yuyun kemudian mulai menceritakan babak kehidupan berikutnya setelah menikah. Bukan drama yang seru untuk didengarkan. Aku hanya berkesimpulan Yuyun naif? Orang tuanya terlalu baik? Yuyun yang mudah dirayu? Karena menikah lebih dari sekali. Dan sebabkan dia melahirkan 4 kali. Setiap anak beda bapak? Aku tak berani tanya namun Yuyun jujur bicara sendiri. Untuk aku itu pasti bukan pengalaman bagus jika tak mau disebut pengalaman buruk.
Yang pasti Yuyun bilang… ketika pernikahan pertama dan dia tengah hamil muda… dia diundang menari di satu kampung di daerah pesisir. Debur ombak sesekali mengalahkan tetabuhan gendang. Pada malam itu Yuyun menari dengan hati yang remuk. Di satu sisi dia harus memberikan penampilan terbaik. Namun di sisi lain dia sedang mengalami masalah dengan suami yang karena cemburu sering melakukan kekerasan fisik dan metal kepadanya. Dia tak paham soal kekerasan pada perempuan akan ada sangsi jika diadukan kepada KPAI. Mungkin saat itu belum ada. Satu- satunya jalan, dia harus ajukan perceraian. Meski tak mungkin dilakukan ketika itu karena dia tengah berbadan dua.
Malam itu dia menari dengan perasaan menggigil. Meliukan tubuh dan menggoyangkan pinggul dengan kesedihan pilu. Tak ada yang memahami batinnya. Saat itu dia seperti membungkus tubuhnya dengan topeng. Kehamilan muda yang tak kentara. Tubuhnya justru makin terlihat seksi.
Malamnya kemudian dia bermimpi. Seorang Ratu dengan kecantikan luar biasa muncul dari laut. Memakai pakaian kebesaran dari kerajaan Sunda berwarna merah dengan kain batik panjang menutup hingga ke tanah. Ratu berparasa cantik dengan perhiasan indah jaman baheula. Anggun. Terhormat. Turun dari kereta kencana warna emas dengan kuda- kuda putih menunggu. Sanking takjub dalam mimpi itu Yuyun mengigil takut. Dia menunduk dan tak berani menatap wajah sang Ratu.
Ratu yang cantik itu kemudian berbicara kepadanya dalam bahasa Sunda dengan suara lembut. Suara yang halus yang justru membuat Yuyun tambah gugup dan ketakutan. Sang Ratu bilang bahwa dia suka dengan tarian yang dibawakan Yuyun. Kemudian tetiba ada selendang berwarna hijau di tangan Ratu. Sang Ratu itu lalu memberikan selendang itu kepada dirinya. Yuyun menolaknya. Kemudian kembali Sang Ratu meminta Yuyun agar menerima selendang itu. Yuyun kembali menolaknya. Entahlah darimana kemudian datangnya suara halilintar. Yuyun terbangun dengan keringat membasahi tubuhnya. Jam 2 dini yang dingin dengan suara gemuruh ombak dan angin. Yuyun terbangun.
Yuyun saat itu tak berpikir… apakah itu Ratu Penguasa Pantai Selatan? Namun ketika dia menceritakan mimpi itu kepada orang lain? Dalam sekejap orang-orang mengatakah bahwa itu mungkin Nyai Ratu Roro Kidul.
“Kenapa tidak diambil selendangnya…?”
“Seharusnya kamu ambil selendang itu…”
“Andai kamu terima selendang hijau itu… hidupmu pasti akan kaya raya…!”
Demikian kata orang- orang kepadanya. Hingga dia menjadi menyesal telah menceritakan mimpi itu.
Yuyun berhenti bicara kala ada satu dua pembeli. Aku mengambil ponsel lalu mencari musik Daun Pulus Keser Bojong. Yuyun menari tanpa diminta. Aku takjub. Yuyun menari sambil mengenakan hijab dan kain gendongan dagangan sebagai selendang.
Dunia sedang tak baik-baik saja. Perang. Korupsi. Inflasi. Gagal panen. Banjir. Anomali cuaca. Dan aku sangat tidak tertarik untuk membahas dan beropini akan seperti apa kehidupan ini ujungnya nanti? Berandai- andai. Semua punya pendapat. Pro dan Kontra. Dan menyaksikan Yuyun menari… aku membayangkan andai ketiga anak gadisku bisa menari Jaipong seperti Yuyun.
Aku bertanya kepada Yuyun seperti apa kehidupan yang dia inginkan? Segera setelah dia selesai menari Jaipong khusus untukku. Dia bilang bahwa sebetulnya dia masih ingin menari. Dia ingin panggung-panggung hajatan diisi oleh wayang dan tarian.
Aku paham keinginan Yuyun. Pada jaman now… panggung-panggung hajatan sudah beda. Bukan lagi diisi para oleh para penari tarian daerah namun oleh para penyanyi dangdut koplo. Tak di desa tak di kota. Sama saja. Penari semacam Macan dan Singa. Yang berpakaian seksi dengan gaya joget mesum sembari meminta saweran. Tak peduli di depan penonton anak- anak.
Aku berpikir andai masih ada orang tertarik dengan cerita-cerita dalam pewayangan. Profesi dalang dan sinden mungkin masih ada dan tidak hilang sia-sia digerus budaya baru gubrak gabruk pada jaman yang membingungkan ini.
Andai orang-orang seperti Yuyun dan kedua orang tuanya yang sudah almarhum ini diatur negara? Mereka menurunkan hobi dan bakatnya kepada generasi muda? Yuyun bisa mengajarkan apa yang dia kuasai kepada generasi muda dikampungnya? Tentu Yuyun tak harus bernasib seperti sekarang. Mengurus dan membesarkan anak-anaknya sendiri tanpa ikut campur bantuan biaya dari para mantan. Padahal mereka adalah ayah dari anak- anak mereka. Yuyun yang bahkan tak punya ponsel dan kakinya menghitam belang sesuai cetakan sendal jepit yang setiap hari dikenakannya.
Yuyun. Yang pasti semoga kamu paham. Bahwa hidup memang perjuangan. Kemiskinan atau kekayaan? Di dunia ini apapun bisa berubah dalam sekejap mata saja. Contohnya… Seperti kebakaran yang sedang terjadi di California. Yang mampu membuat rumah dan vila-vila mewah seharga ratusan milyar berubah jadi abu dalam satu malam
Cikeu Bidadewi, pukul 12.47