PARADOKS NANA SASTRAWAN

Maman S. Mahayana

(Kritikus Sastra, Dosen FIB Universitas Indonesia)

Autentisitas! Itulah yang kerap ditegakkan seniman sejati. Bukan besar kepala alias sombong. Tetapi kesannya seperti overconfident, sok, dan tegas menunjukkan kediriannya. Setidak-tidaknya, ia punya sikap: inilah aku! Maka, diam-diam ia belajar, membacai sejumlah karya, menyerap ilmu dari siapa pun sambil menghimpun energi dan amunisi. Orang semacam ini cenderung lebih mementingkan berkarya dahulu daripada omdo atau minta nasihat itu-ini, tetapi karyanya tidak pernah muncul.

Di wilayah yang berseberangan, terlalu banyak (calon) penyair yang menempel para senior, penyair-penyair mapan yang punya otoritas. Harapannya, agar ketularan hebat. Atau, setidak-tidaknya, numpang beken. Begitulah kononnya. Tidak sedikit pula yang naskahnya minta dikoreksi dan diperbaiki, bahkan beberapa di antaranya—menurut kabar burung—dibuatkan dengan membayar sejumlah uang. Lebih daripada itu, minta pula prolog atau epilog dan endorsemen yang berderet-deret di halaman belakang. Dengan begitu, karyanya tampil lebih percaya diri dan ia dapat membusungkan dada! Tentu saja endorsemen, prolog atau epilog itu isinya akan mengungkapkan yang baik-baik saja. Meski boleh dan diizinkan serta tidak melanggar norma, semua itu masuk kategori iklan terselubung. Tidak apa-apa. Tetapi saya berusaha selalu tidak percaya pada semua itu. Setidak-tidaknya, saya baru akan membacanya setelah mencermati isinya.

Cara apa pun yang dilakukan siapa pun, tentu boleh-boleh saja, meski minta dibuatkan orang lain masuk kategori: menistakan diri, menghancurkan autentisitasnya, memilih jalan pintas. Jadi silakan langkah mana yang akan ditempuh. Kita bebas menetapkan pilihan. Tokh, pada akhirnya, masyarakat juga yang akan menilai.

Perhatikan dua puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini!

LUKA

ha ha

KALIAN

pun

Pertanyaan: jika kedua karya Sutardji Calzoum Bachri itu dianggap puisi, maka bocah cilik pun dapat membuat puisi semacam itu. Jawabnya: Ya! Pertanyaan berikutnya: Siapa yang mula punya gagasan menulis puisi seperti itu? Ya, Sutardji Calzoum Bachri itu! Tidak ada yang dapat membantah. Itulah contoh paling ekstrem perkara autentisitas. Ia berkaitan dengan orisinalitas: kemurnian gagasan dan siapa yang lebih dahulu punya gagasan (baru) dan mempublikasikannya, meskipun konon—tidak ada di dunia ini yang 100 % orsinal, sebab ia sangat boleh jadi mengambil inspirasi dari karya-karya yang sebelumnya. Berikut ini contohnya dua puisi karya Hamid Jabbar:

DOA TERAKHIR SEORANG MUSAFIR

amin

Padang, 1975

DOA PARA PENGUASA SEPANJANG MASA

AMAN

Jakarta—Bandung, 1993

Apa hubungannya perkara autentisitas dengan antologi puisi Jangan Kutuk Aku Jadi Penyair (selanjutnya disingkat: JKAJP) karya Nana Sastrawan ini?

Bagi saya, terbitnya antologi puisi JKAJP ini sebuah kejutan. Pasalnya, sejauh ingatan, Nana tidak pernah berbincang tentang rencana penerbitan buku ini. Tidak pernah pula ia bertanya atau minta endorsemen untuk buku ini atau buku-buku lainnya. Padahal, Nana Sastrawan tercatat sebagai pengurus Yayasan Hari Puisi yang Dewan Pembinanya: Ridak K Liamsi, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri; dan pengurus lainnya, Ahmadun Yosi Herfanda, Danny Susanto, Bastian Zulyeno, dan Herman Syahara. Jadi, sesungguhnya, mudah saja meminta komentar, endorsemen atau Kata Pengantar salah satu di antara mereka. Maka, ketika ia minta saya menjadi pembicara untuk satu buku dari penerbit Banyumas, saya pikir, bukan buku puisi karyanya sendiri. Wow! Betul-betul kejutan.

Itulah yang saya maksud: autentisitas! Nana Sastrawan tampaknya menghendaki karyanya autentik sebagai karyanya sendiri yang terhindar dari perkara pengaruh, epigonisme atau sebutan pembembek! Satu sikap yang sepatutnya kita hargai. Ya, sikap! Biarlah karya itu hinggap ke tangan pembaca tanpa dilatarbelakangi persekutuan atau pertemanan. Sikap itu pula yang jadi landasan penilaian. Maka, karya itulah yang dinilai, bukan orangnya, bukan penyairnya! Singkatnya: objektivitas!

***

Baiklah. Mari kita memasuki buku JKAJP.

Buku ini berisi 71 puisi yang dibagi ke dalam tiga Bab yang diberi judul: (1) Perjalanan di dalam Rumah (31 puisi), (2) Kemboja di Musim Kering (18 puisi), dan (3) Pelukan (22 puisi). Sebelum itu, ada Pengantar penyairnya yang mengungkapkan proses kreatif penciptaan. Meskipun kita—pembaca—dibolehkan tidak percaya pada kata pengantar itu, setidak-tidaknya ia berfungsi sebagai lanjaran atau tali rambatan untuk memasuki dan menafsirkan puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini.

Begitulah, kita dapat menempatkan kata pengantar itu penting, jika kita hendak menafsir dan memaknai puisi-puisi itu berdasarkan proses kreatif penyairnya. Tetapi, kita juga dapat mengabaikan kata pengantar itu, lantaran pembaca punya hak menafsir dan memaknai puisi-puisi itu berdasarkan pengalaman baca, pengetahuan dan wawasan yang dimiliki, serta kemampuan masing-masing pembaca untuk mengaitkan teks dengan konteksnya atau dengan dunia di luar itu. Bagaimanapun, puisi dikemas dan disajikan dalam bahasa yang ringkas, padat, metaforis, dan mungkin juga simbolik. Oleh karena itu, puisi memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pembaca untuk melakukan berbagai kemungkinan tafsir. Maka, tidak salah-salah banget, jika sepuluh kepala, dapat menghasilkan sepuluh penafsiran dan sepuluh pemaknaan.

Kita mulai dari judul bukunya: “Jangan Kutuk Aku Jadi Penyair”. Judul ini ternyata semacam penyimpulan—atau suka-suka penyair saja—dari keseluruhan pesan puisinya. Dalam buku itu, kita tidak menemukan ada puisi dengan judul begitu. Bukankah tak sedikit penyair kita yang cari mudahnya mengambil judul dari salah satu puisinya? Risikonya, puisi yang judulnya diambil sebagai judul buku itu diandaikan sebagai salah satu puisi terbaik. Padahal belum tentu juga menurut pembaca. Jika tafsir dan pemaknaan pembaca berbeda dengan pandangan penyairnya, maka kualitas puisi-puisi lainnya berada di bawah puisi bersangkutan. “Rontoklah” keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku itu.

Pilihan Nana Sastrawan menawarkan judul lain, menurut saya, tepat! Selain tidak hendak menjagokan salah satu puisinya, ia memberi tugas lain pada pembaca untuk menghubungkaitkan judul dengan keseluruhan puisinya. Ada atau tidak ada kaitannya judul dengan puisi-puisi dalam buku itu, tak masalah. Tokh itu tugas pembaca, bukan tugas penyair! Jangan-jangan, judul itu sekadar provokasi atau iklan. Ya, justru itu. Penyair perlu membuat judul yang bikin orang penasaran. Itulah siasat lain—semacam promosi—yang perlu dikuasai penyair atau siapa pun yang hendak menerbitkan buku.

Meskipun begitu, pembaca tetap bertugas mencari cantelan antara judul dan isi buku. Apakah judul (indikator luar) menopang isi buku (indikator dalam) atau sebaliknya? Mari kita coba cermati.

***

“Jangan kutuk aku jadi penyair” mengandung (i) imperatif larangan (jangan), (ii) pesan atau doa yang konon dapat mendatangkan bencana atau kesusahan (kutuk), dan (iii) posisi penyair yang mungkin positif mungkin juga negatif. Jika profesi penyair itu negatif, tamatlah riwayat Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan para penyair terdahulu. Fakta sosiologis menunjukkan, nama-nama itu tetap harum dan berkibar-kibar. Bukti lain, sebutlah nama Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri dan seterusnya. Jika setiap tahun buku puisi diterbitkan dan berbagai perhelatan yang berkaitan dengan puisi dan dunia kepenyairan terus saja dilaksanakan, artinya citra penyair itu positif.

Pertanyaannya: mengapa jangan kutuk jadi penyair? Itulah doa para aulia yang disampaikan dengan cara yang sebaliknya. Konon ada aulia yang mengutuk murid-muridnya jadi orang-orang hebat. Maka, jadilah mereka orang-orang hebat. Jadi, ada cara lain untuk menyampaikan sesuatu agar menghasilkan hal yang baik. Oleh karena itu, “Jangan kutuk aku jadi penyair” artinya “Jadilah ia penyair”. Dilihat secara linguistik, “Jangan kutuk aku jadi penyair” menunjukkan adanya situasi paradoksal, yaitu pernyataan yang seolah-olah bertentangan, tetapi di dalamnya ada kebenaran. Dalam hal ini, penyair coba menawarkan model penyimpangan makna (distorting of meaning) yang lazim dimanfaatkan para penyair.* Beda maknanya dengan: “Jangan jadi penyair” sebagai bentuk imperatif larangan; atau, “kutuk aku jadi penyair” yang tidak menghadirkan situasi paradoks.

Begitulah, judul itu mengisyaratkan situasi yang paradoks. Bagi Cleanth Brooks atau TS Elliot, dan banyak penyair di dunia, paradoks merupakan salah satu majas penting yang harus dikuasi penyair, sejajar dengan metafora, simbolisme, ironi, dan imaji. Saking pentingnya aspek paradoks, dapat dipahami jika paradoks menjadi salah satu syarat bagi puisi yang baik dan sebaik-baiknya puisi.

Kembali ke buku JKAJP, situasi paradoksal itu, juga bersembunyi pada judul Bab 1: Perjalanan di dalam Rumah. Perjalanan adalah aktivitas keluar atau meninggalkan rumah. Tetapi Nana Sastrawan justru menempatkan (dalam) rumah sebagai sumber dan sekaligus muara perjalanan. Di sana, rumah tidak lagi menjadi titik berangkat, melainkan kembali pulang dan kemudian berangkat lagi menyusuri jejak perjalanan pulang tadi. Oleh karena itu, puisi-puisi Bab 1 ini, keseluruhannya mengungkap benda-benda dalam rumah yang keberadaannya, justru lantaran ia melakukan perjalanan. Bukankah boneka, dot, popok bayi, dan seterusnya mustahil ada di (dalam) rumah jika si tuang rumah tidak melakukan perjalanan (keluar rumah). Bagaimana jika secara empiris ia tidak melakukan perjalanan dan segala aktivitasnya cuma dilakukan dari rumah, seperti seseorang yang pesan barang-barang secara online? Tetap saja, barang-barang itu, tokh, punya sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan sejarahnya, ia pun mesti melakukan perjalanan imajinatif: bagaimana membayangkan proses penjadian barang-barang itu hingga menjadi boneka, dot, popok, dst.

Begitulah, Bab 1 itu sesungguhnya mengungkapkan peristiwa suka dan luka, manis dan getir menghadirkan barang-barang itu dalam perjalanan (: pengelanaannya) di luar rumah. Barang-barang itu tidak dijatuhkan malaikat, tetapi hadir lantaran tindak perjalanan si aku lirik. Maka, perjalanan di dalam rumah adalah peristiwa paradoksal: seolah-olah bertentangan, tetapi ada kebenarannya. Dalam konteks ini, ada tiga hal yang patut dicatat.

Pertama, penyair memilih tema yang ada di sekitar, dekat dengan dirinya, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas kehidupannya. Itulah yang ditegaskan Rainer Maria Rilke dalam “Surat untuk Penyair Muda”: … Jangan tulis sajak cinta … berpalinglah pada apa yang diberikan oleh kehidupanmu sehari-hari. Lukislah dukacita dan keinginan-keinginanmu. Pikiran-pikiran yang melintas dalam dirimu, dan keyakinanmu dalam suatu keindahan tertentu. Lukiskan semuanya itu dengan sepenuh hati, sungguh-sungguh, rendah hati, dan ikhlas. Gunakanlah benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dirimu dan kenangan-kenanganmu untuk mengekspresikan dirimu.”

Begitulah, Nana Sastrawan tepat memilih dunia bayi. Sebab, di tengah kesucian dan kepolosan sang bayi, ada kepedihan seseorang (ibu) saat melahirkan, sekaligus juga kebahagiaan selama proses merawat dan membesarkan bayi. Di sana juga ada jenama (brand) kultural, bahwa perempuan baru sah dipandang sebagai perempuan sejati jika ia berhasil melahirkan. Demikian juga bagi pasangannya. Suami hanya dapat disebut laki-laki sejati, jika sudah berhasil membuahi sang istri dan mempunyai anak. Lalu, posisi si bayi bisa berperan sebagai pusat orientasi, jembatan, magnet atau alat persatuan suami—istri. Pada saat itulah, kegetiran dan kebahagian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keduanya. Peristiwa-peristiwa biner itulah yang coba dikemas Nana Sastrawan dalam puisi-puisi bab ini.

Kedua, pilihan Nana Sastrawan pada “dunia bayi” menjadikan puisi-puisinya unik, khas, dan memberi inspirasi, bahwa menulis puisi tidak perlu menunggu ilham, sebagaimana yang disuarakan para penyair Pujangga Baru; jangan pula mencari ilham seperti yang dilakukan Chairil Anwar. Sudah tidak zamannya lagi penciptaan apa pun menunggu malaikat datang. Atau, tidak perlu juga repot-repot mengangkat tema peristiwa nun jauh di sana yang asing dan tidak dipahaminya. Apa pun dapat disulap jadi puisi. Bukankah modal utama penyair adalah kemampuannya berbahasa? Jadi, tunjukkan kemampuan berbahasa itu dengan mengangkat tema apa pun yang tidak terpikirkan orang lain. Bukankah tujuan penciptaan puisi (atau sastra secara keseluruhan), mengolah peristiwa biasa menjadi luar biasa? Dalam hal ini, pilihan tema yang diangkat Nana Sastrawan menegaskan, bahwa penyair sudah berada di jalan yang benar.

Apakah yang dimaksud Rilke, “Jangan menulis sajak cinta” puisi-puisi dalam Bab 1 itu tidak mengandung perkara cinta? Sajak cinta yang dimaksud adalah puisi-puisi yang mengekspresikan perasaan secara artifisial; letterlijk; harfiah! Maka, puisinya cenderung menghamburkan bunga-bunga dan busa kata. Tidak alamiah! Lebay macam bucil! Perhatikan puisi berikut ini.

CERITA PULANG KERJA

Aku selalu senang membeli popok bayi
ke toko swalayan setelah pulang kerja
sebab aku sering menemukan mimpi
pada merk popok bayi
 
konon, semakin besar ukurannya
semakin luas harapan yang tiba
seperti bayi yang tumbuh
menjadi kanak-kanak
bermain layang-layang
boneka
 
seketika letih dan lapar berguguran
jejak kota tertinggal di roda kendaraan
barangkali popok bayi obat mujarab
bagi jiwa sepi yang hidup
di bawah sepatu-sepatu
 
perempuan penjaga toko terdiam; menunggu
atau ditunggu, ia tidak membuat janji denganku
matanya berkaca-kaca haru
pastilah ia mendambakan menjadi ibu
pada rahimnya lahir sebuah waktu
atau ia merasakan kelabu
ditinggalkan kenangan dan rindu
 
aku selalu senang membeli susu bayi
ke toko swalayan setelah pulang kerja
sebab menyembuhkanku dari sepi
dan suara tangisan bayi
membuat dunia selalu tertawa
 
aku pulang dengan berlari
dalam setiap pandangan ada wajah bayi
tawa bayi, tangis bayi
ada bayi-bayi
dalam setiap bayi ada pelangi
 
pintu terbuka; sepasang mata yang lelah
menahan tidur sepanjang hari
 
“Beras sudah habis.”
 
ruang-ruang hatiku sunyi

Apakah dalam puisi di atas ada kata cinta atau penyataan gombal lainnya? Meski tidak ada kata cinta di sana, kita merasakan, betapa besar cintanya aku lirik pada sang bayi; pada tanggung jawabnya; pada kesadarannya sebagai ayah. Kata cinta cukuplah disampaikan dengan cara lain. Itulah yang disebut penggantian makna (displacing of meaning). Maka, makna cinta terasa lebih mendalam ketika aku lirik menyatakan: seketika letih dan lapar berguguran/… barangkali popok bayi obat mujarab/bagi jiwa sepi yang hidup/di bawah sepatu-sepatu/ … sebab menyembuhkanku dari sepi/dan suara tangisan bayi/membuat dunia selalu tertawa//

Begitulah, meski hidup “di bawah sepatu-sepatu” sebagai metafora buruh kecil, pegawai rendahan atau karyawan yang selalu berada di bawah tekanan dan hinaan, rumah menjadi tempat pertemuan yang seketika menghilangkan segala penderitaan ketika sang bayi memancarkan aura kesuciannya. Sang bayi seperti menyediakan oase bagi jiwa yang ranggas.

Sampai larik: dalam setiap bayi ada pelangi, puisi itu sesungguhnya cukup kuat menegaskan perasaan (cinta) dan kebertanggungjawaban aku lirik. Dan ikhwal perkara bayi, bagi siapa pun, membuat dunia selalu tertawa. Bagaimanapun, konsep bayi bagi kultur masyarakat kita adalah citra kesucian, kepolosan, dan kebahagiaan. Maka, kehadiran bayi bagi suami-istri adalah kesempurnaan; legitimasi sebagai ayah—ibu. Seperti disebutkan tadi, kehadiran bayi memberinya legitimasi sebagai  istri, perempuan, dan ibu sejati—yang dikatakannya: seorang ibu menjadi purnama (hlm. 19), dan bagi suami menempatkannya sebagai ayah—laki-laki sejati.

Sejak awal, puisi di atas dibangun dalam suasana cerah, ceria, dan bahagia. Tidak ada kemurungan di sana. Rupanya, segalanya yang cerah-ceria itu sekadar siasat untuk mengecoh pesan hakikinya. Dalam hal ini, penyair coba menghadirkan situasi yang lain, yang paradoks. Maka, empat larik terakhir: pintu terbuka; sepasang mata yang lelah/menahan tidur sepanjang hari// “Beras sudah habis”// ruang-ruang hatiku sunyi// adalah pesan tersembunyi yang menciptakan kontras; paradoks. Sebuah peristiwa yang tidak terhindarkan berseberangan dengan peristiwa sebelumnya. Kebahagiaan itu seketika tercerabut oleh kenyataan: ada pilu yang tiba-tiba merontokkan semuanya.

Ketiga, secara keseluruhan, puisi-puisi pada Bab 1 ini menghadirkan paradoks; dua peristiwa biner—suka dan luka, bahagia dan derita. Model tipografi apa pun yang digunakan, tidak penting lagi, sebab segala kesederhanaan ekspresinya; metaforanya; imajinya yang terkesan begitu jujur memberi makna yang lebih kuat ketika larik-larik akhir memunculkan ironi dan paradoks. Dunia bayi jadi pantulan kehidupan bersama. Bukankah tugas penyair menyulap pengalaman pribadi menjadi pengalaman bersama. Dalam hal ini, penyair berhasil berbagi pengalaman sebagai persoalan kemanusiaan.

***

Secara substansial, ekspresi yang disampaikan Bab 1 ini tidaklah berbeda dengan Bab 2 dan Bab 3, meski penyair coba bersiasat dengan mengubah atau menyajikan model tipografi naratif. Jika pada Bab 1, impresi aku lirik yang membentuk semacam monolog interior menempatkan rumah—dunia bayi sebagai titik berangkat menjelajah ruang yang lebih luas—sebagai perjalanan di luar rumah, maka Bab 2 dan Bab 3 cenderung sebagai monolog eksterior yang menjadi alat ekspresi aku lirik. Problem yang muncul pada kedua bab itu adalah keinginan penyair untuk bicara banyak hal yang kadang kala terlalu luas dan umum. Kesan yang muncul kemudian adalah monolog—jika tidak dapat dikatakan sebagai igauan—yang ngeglambyar.

Kritik sosial yang coba disampaikan, misalnya, terkesan sebagai ekspresi yang menegaskan keinginan besar untuk mengungkapkan—berbagai kebrengsekan, tetapi sekaligus juga ada kesadaran untuk menyembunyikan, ke mana sasaran tembaknya ditujukan. Kata-kata terkesan meluncur begitu saja. Dengan begitu, yang muncul kemudian adalah semacam lompatan-lompatan pikiran, mobat-mabit ke sana ke mari laksana tanpa arah. Dalam situasi demikian, pemenggalan kata atau suku kata, tampaknya bukan dimaksudkan sebagai enjambemen yang bertujuan membangun musikalitas bunyi, melainkan jatuh sebagai persoalan teknis. Jadi, pembaitan agaknya berhadapan dengan persoalan lebar halaman yang berakibat terjadi pemenggalan kata atau suku kata. Kesan lain yang muncul adalah semangat penyair untuk lebih mementingkan narasi yang berkelak-kelok menyentuh dan menyerempet apa pun.

Perhatikan misalnya, puisi berikut ini.

SEORANG PENYAIR YANG MENONTON TELEVISI

Bau kopi di udara, asap rokok dan buku-buku puisi
yang terserak di atas meja. Ia menutup telinga, tidak
ingin mendengar suara dari dalam televisi. Akan
tetapi di dalam dadanya terdengar riuh, suara-suara
dari mata yang menatap tajam seperti seekor ular
mengintip dari balik malam. Adegan-adegan di
dalam televisi membuatnya ingin bergerak, antara
ketulian telinga dan ketajaman mata, menjadi pikiran-
pikiran yang tak terukur. Ia perlahan menyandarkan
punggungnya ke kursi. Lalu menyeruput kopi, rasa
pahit tidak membuatnya getir meski terlihat seorang
wakil rakyat terkena serangan jantung ketika dipanggil
oleh hukum.

Banjir bandang, gunung meletus, dan tanah longsor
mengepung negeri. Suara gemuruhnya memekakkan
telinga, mengucurkan ketakukan kepada rakyat jelata.
Suara-suara mereka menjerit memecahkan kaca
televisi, seperti suara-suara riuh di pesta pernikahan
presiden, orang-orang itu belajar berdansa dan dipaksa
bahagia menyaksikan kehancurannya sendiri. Di berita
yang lain, para pejabat tersenyum keluar dari mobil
tahanan, melambaikan tangan untuk mengabarkan
bahwa mereka senang korupsi.

Ia mengumpat. Lalu, mengganti tayangan ke program
lain. Ada pesta pantat, dari goyang itik, ngebor, ngecor,
goyang drible dan goyang patah-patah. Penonton
bersorak, kemiskinannya terobati dengan keseksian
tubuh wanita. Beberapa dari mereka mengambil
gambar sambil ikut menggoyangkan pantatnya. Ia
mengganti tayangan lagi, sebuah sinetron bercerita
tentang angan-angan dan kekayaan, cinta yang
berbunga, dan pasangan yang mapan. Seolah hidup
ini adalah kebahagiaan dalam sinetron.

Seorang penyair yang menonton televisi merasa
bosan. Ia ingin menyaksikan kejujuran dalam televisi.
Lalu, Ia menonton film kartun, mungkin inilah satu-
satunya yang menghibur dalam liburan menulis puisi.
Tiba-tiba, listrik padam.

Blam!
Listrik telah dikorupsi.

Apakah pembaitan itu aslinya sebagai berikut (bait satu misalnya)?

Bau kopi di udara, asap rokok dan buku-buku puisi/yang terserak di atas meja. Ia menutup telinga, tidak/ingin mendengar suara dari dalam televisi. Akan/tetapi di dalam dadanya terdengar riuh, suara-suara/dari mata yang menatap tajam seperti seekor ular/mengintip dari balik malam. Adegan-adegan di

dalam televisi membuatnya ingin bergerak, antara/ketulian telinga dan ketajaman mata, menjadi pikiran-/pikiran yang tak terukur. Ia perlahan menyandarkan/punggungnya ke kursi. Lalu menyeruput kopi, rasa/pahit tidak membuatnya getir meski terlihat seorang/wakil rakyat terkena serangan jantung ketika dipanggil/oleh hukum.

Enjambemen pada hakikatnya merupakan siasat penyair untuk (i) membangun musikalitas bunyi; (ii) mempermainkan pembaitan untuk tujuan menegaskan pesan setiap baik; dan (iii) mengecoh pembaca untuk menemukan perkaitan hubungan antarlarik atau hubungan antarbait. Pemenggalan itu bukanlah tanpa tujuan. Bukan juga sekadar memotong satu larik agar tidak terlalu panjang atau asal penggal. Ia berfungsi menyusun bentuk bait yang baru atau tujuan intrinsik yang berkaitan dengan tema atau pesan yang hendak disampaikan.

Perhatikan misalnya, empat larik terakhir dari puisi di atas.

Lalu menyeruput kopi, rasa

pahit tidak membuatnya getir meski terlihat seorang

wakil rakyat terkena serangan jantung ketika dipanggil

oleh hukum.

Pertanyaannya: apakah pemenggalan itu membangun musikalitas bunyi atau kesamaan rima? Lain soalnya jika pemenggalannya sebagai berikut:

Lalu menyeruput kopi, rasa
pahit tidak membuatnya
getir meski terlihat seorang
wakil rakyat terkena serangan
jantung
ketika dipanggil oleh hukum.

Persoalan semacam terjadi di sejumlah puisinya yang terdapat pada Bab 3. Kesan menawarkan model tipografi yang berbeda, ternyata tidak cukup kuat mendongkrak menegaskan pesan. Memang, tidak semua puisi mesti dipahami. Tidak sedikit penyair yang menawarkan puisinya sekadar untuk dinikmati. Apakah pembaca dapat memahami atau tidak, bukan tujuan. Ia sekadar menyuguhkan puisinya, hanya untuk dinikmati. Titik!

Secara tematis, puisi “Seorang Penyair yang Menonton Televisi” seperti potret situasi sosial politik kehidupan bangsa ini. Bait pertama, misalnya, menempatkan posisi si tokoh penyair mewakili kemuakan kita atas berbagai tayangan tv yang tidak lagi menjadi alat edukasi, informasi, dan hiburan. Kini, menonton tv tidak lagi memberi tiga hal yang disebutkan tadi, melainkan menambah beban pikiran makin stress. Bait kedua dan ketiga seperti melanjutkan pesan bait pertama. Pilihan bagi si tokoh penyair adalah mengganti tayangan dengan menonton film kartun. Tetapi, saat segalanya seperti akan baik-baik saja, listrik mati! Maka, semuanya ambyar! Sempurnalah penderitaan ini. Tidak ada peluang untuk hidup tenang. Itulah yang terjadi. Tetapi, kita seperti terjerat dalam situasi itu.

Puisi-puisi Nana Sastrawan pada Bab 3 itu, tampaknya seperti luahan kepedihan ketika kita masuk dalam lingkaran hantu yang tidak ada jalan keluarnya. Jadi, penyair rupanya sekadar memotret peristiwa sosial. Tetapi, begitu banyaknya peristiwa yang coba disampaikan menyebabkan fokus kritiknya pula dialamatkan ke mana. Dalam konteks ini, pengalaman individual penyair (: kemarahan) yang diekspresikan dalam larik-larik puisi itu seyogianya punya sasaran tembak. Selepas itu, perlu dihadirkan pula semacam tali rambatan atau lanjaran yang memungkinkan pembaca dapat memasuki ke dalam tubuh puisi.

Perhatikan puisi berikut ini.

PUISI 28 OKTOBER DI BERANDA FACEBOOK

28 Oktober 2017

Aku berjalan di pinggiran toko
burung gereja berterbangan
lalu hinggap di celah-celah gedung
mereka membuat sarang
burung merpati bergumul di tengah-tengah jalan
berebut makanan yang dilempar orang-orang yang melintas

aku, melangkah menyusuri keindahan kota ini
kota dengan seribu kenangan
kemudian, kuhentikan langkah di sebuah bangku
di bawah lampu jalan

“Kamu masih sering berkunjung ke sini rupanya.”

aku menengok, suara yang sangat kukenal
suara yang datang dari masa lalu

aku berjalan mundur
ketika itu, aku melihat masa depan
seperti kura-kura merayap di atas
tanah aku berjalan mundur
ketika itu masa depan menjadi kura-kura

28 Oktober 2015

suara, menuruni bulan purnama
jatuh di daun-daun, menelusup ke dalam sunyi
malam, menjadi bahasa yang dijaga oleh kunang-kunang
teranglah segala sepi.

28 Oktober 2013

Puisi-puisi menghampiriku
berwajah murah, marah, sedih, senang dan benci
hanya sedikit sekali berwajah bersih seperti sunyi

28 Oktober 2012

Suara perkutut membangunkanku
mataku menatap langit-langit kamar
Eh, ada laba-laba rumah tengah membuat sarang
mengapa juga dia memilih jaring?

28 Oktober 2011

Kesendirian

28 Oktober 2010

Menjadi api atau air?

Apakah tarikh 28 Oktober 2017—2010 begitu penting dan punya makna khusus? Bagi kita –pembaca—tarikh-tarikh itu sama sekali tidak mengisyaratkan makna dan pesan tertentu yang khas yang memaksa pembaca melakukan identifikasi. Bagaimana jika tarikh 28 Oktober itu diganti menjadi 17 Agustus atau 31 Desember atau  tarikh apa saja, apakah mengubah makna, mengisyaratkan pesan atau tak ngaruh sama sekali? Bagaimanapun, seperti disampaikan di bagian awal, tugas penyair (: sastrawan) adalah berbagi pengalaman: bagaimana pengalaman individual itu menjadi pengalaman bersama. Dengan demikian, puisi itu dapat menghidupkan saklar asosiasi pembaca untuk membayangkan peristiwa apa yang berada di balik larik-larik puisi itu.

***

Catatan ringkas atas buku puisi JKAJP karya Nana Sastrawan ini, tentu saja tidak mewakili keseluruhan puisi yang ada dalam buku itu. Meski begitu, setidak-tidaknya, beberapa puisi yang jadi contoh kasus, kiranya dapat menjadi pemantik, bahwa puisi-puisi dalam buku itu menyimpan banyak persoalan menarik, baik untuk bahan kajian, bahan apresiasi atau sekadar untuk dibacakan. Bagi saya, puisi-puisi yang terdapat pada Bab 1, patut digarap lebih luas dan serius.

Begitulah ….

* Untuk mendapatkan contoh kasus yang baik dan lebih jelas, bagaimana penyair melakukan penggantian makna (displacing of meaning), penyimpangan makna (distorting of meaning), dan penciptaan makna (creating of meaning), periksa puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Air Selokan” atau puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Tanah Air Mata”.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *