Puisi tak pernah lekang oleh waktu. Puisi akan selalu hidup, seperti Chairil Anwar, dia berharap hidup 1000 tahun, namun dengan puisinya dia akan hidup selamanya. Begitu pun dengan puisi-puisi Teguh O’ Wijaya, puisi-puisinya yang lahir di tahun 80an, hingga saat ini, masih relevan. Selain puisinya yang cenderung blak-blakan, puisinya juga memberikan multitafsir untuk kita renungkan. (Redaksi).

[iklan]

Puisi-Puisi  Teguh O’ Wijaya

Pantun Malam di Kuburan
Kabut memanggil-manggil harum kamboja
di tengah pesta mata kunang-kunang
Kabut memanggil-manggil harum kamboja
sepi menjerit memanjang-manjang

 

Sajak Potongan Jari
Karena jariku bertato, kekasih
Ia dipotong Jari sendiri

Jari-jari sengaja diputus
sebab sering nyedot darah di nadi-nadi
Tergolek dalam tong – Ia menuding langit
“Hai di mana lu umpetin Cahaya!”
Langit menutup mata. Geledek nyamber:
“Bintang telah mati, lampu masjid dan listrik negara
sudah gue putusin! Lu mau apa!”
Lalu hujan pun turun
meniup lampu-lampu

Karena Jariku bertato, kekasih
Ia dipotong Jari sendiri
dan jariku belepotan tai
dan ribuan Jari, kekasih
sibuk mencuci Jari sendiri

Gandaria ‘84

 

Aku Protes Padamu
Mengapa mesti dia, mengapa bukan Dia sayangku
jika ada anak gadis menjelmakan kaki jadi sayap kupu-kupu dan
terbang malam di dunia ini

Jika ada tangan semakin hari semakin panjang
bergentayangan di dunia ini

Jika ada perut, senang berisi pecahan beling kaca
dan menganga berkepanjangan di dunia ini

Jika ada yang lahir sebagai dasamuka
dan bergentayangan di dunia ini
Mengapa mesti dia, mengapa bukan Dia sayangku

Tak ada wajah yang ingin hilang muka
tak ada kusir ingin putus kendala
tak ada pohon yang tak ingin berbuah

tapi mengapa mesti dia, mengapa bukan Dia yang salah
Mengapa mesti ibu mengapa bukan Tuhanmu

‘85

 

Nyanyian Fajar
Selalu saja diulang dan dikenangkan
sedang matahari tetap di situ
embun gugur paling pertama
bunga-bunga menoreh warna
bumi seperti sediakala sahaja menerima
dan burung kutilang bernyanyi
terperanjat bernyanyi
terperanjat ketika ada suara di jalan raya
kaki-kaki mulai berpacu
apakah mereka kan menang berlomba?
atau sesal menempel bagai jelaga
semua akan bertemu pada titik waktu
sedang matahari tetap di situ

***

Catatan:
Puisi-puisi dinukil dari Antologi Puisi
Lustrum 1 Kelompok Poci 1985

Teguh O Wijaya, lelaki asal Cilacap, Jawa Tengah yang lahir tanggal 19 Maret ini adalah pegiat seni dari komunitas Seni Bulungan-Jakarta Selatan. Dia seorang journalist yang mantan Redaktur Senior di Tabloid C&R dan Pimpinan Redaksi di Redaksi Tabloid Spektakuler. Saat ini aktif dalam dunia sastra dan literisi di Tangerang Selatan.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *