Lelaki Tanpa Nama
Fifien Andriyani

Aku menyebutnya lelaki tanpa nama meski sebenarnya aku tahu namanya. Sengaja, karena aku benci padanya. Sudah setahun ini ia membuatku menunggu, membuatku berdiri di sini, di pantai Benoa tanpa kepastian kapan kembali.

Dulu pamitnya hanya pergi melaut, mencari ikan. Tapi, dia tak juga pulang. Kemana perginya, mengapa begitu lama? Aku mengeluh. “Kau pasti lupa, usiaku sudah 30 tahun. Semakin tua terseret laju usia. Aku juga lelah berharap wujudmu kembali. Harapan yang setiap hari kuperjuangkan agar tetap menyala hingga panas itu akhirnya menghanguskan semua keinginan, membuat semua menjadi tidak jelas dan berbeda.

[iklan]

Aku sering tak tahu, akhir-akhir ini isi kepalaku seakan saling bersinggungan. Memunculkan percikan api kecil yang membuat beberapa ingatan menjadi blur, bahkan kadang bertukar tempat. Ada rasa marah, bingung, kacau, dan sulit untuk menentukan keputusan mana yang akan aku ambil ketika aku melihat sesuatu. Tertawa atau menangis? Repot sekali mengarahkan kemampuan berpikirku belakangan ini.

Aku juga sangat suka sekali melempar barang. Jika aku marah, selalu saja tanganku bergerak tak terkendali, memungut apa saja yang ada di dekatku untuk kemudian kulempar ke arah mana yang aku suka. Kebiasaan baru yang menyenangkan dan membuatku puas. Setelah itu, aku akan tertawa, senang.

Tak perduli, aku tak perduli orang yang terkena lemparanku akan kesakitan, berdarah atau bahkan pingsan. Bukan urusanku!

Aku tersenyum sumringah. Benar, aku senang dengan keadaanku. Sangat nyaman, hanya saja orang-orang sering tak sejalan denganku. Katanya aku ini telah melenceng dari kebanyakan manusia normal. Tapi menurutku, merekalah yang aneh. Sering sekali tatapan-tatapan mata mereka bermakna samar dan sulit kumengerti.

Aku sendiri tak begitu terusik dengan sikap dan pandangan manusia lain. Aku tak ingin mengungkung benakku dengan pikiran-pikiran sampah, tak perlu kurasa. Aku manusia bebas. Setiap saat aku bisa bernyanyi, menari, tertawa, atau marah, sesuai keinginanku. Kapan saja, tak boleh ada yang melarangku. Bukankah itu menyenangkan?

Lihat, bulan saja mengajakku bersenda gurau. Di mataku ia menggantung memenuhi kepala, lalu membawaku melayang dalam pusaran sajak-sajak berwarna merah jambu yang penuh berisi sebuah nama yang masih ingin kuingat tapi juga tak ingin kusebutkan. Nama yang telah membawaku pada lamunan tak bertepi dan menyeret langkahku mengikuti jalan panjang yang penuh nyanyian burung hantu serta bunga-bunga flamboyan layu. Nama yang sangat ingin kuganti tapi tak pernah bisa.

Tentu saja agar si bulat indah itu tak marah, aku juga mengiyakan ajakannya untuk bergurau, sama persis seperti dia, purnama itu. Malah tak hanya padanya tapi juga pada batu, pada pohon nyiur, pada laut, pada karang, pada gelombang, pada angin, juga pada lelaki yang sosoknya kuhapal, lelaki yang namanya sedikit demi sedikit kututupi kabut. Canda yang juga sengaja kubuat tumpah ruah di jalan lengang dan ramai tanpa kecuali.

Aku juga tersenyum pada semua orang dengan gulungan benang kusut dalam jiwaku. Aku tertawa terbahak-bahak untuk perasaan sedih, bersedih untuk perasaan senang, lalu mengamuk tanpa sebab. Begitulah terus… terus… terus… hingga aku lelah  dan tertidur di batang nyiur, di atas pasir, di mana saja aku ingin. Tak sedikit orang memang kasihan kepadaku.

Mereka berkata: “Gara-gara cinta atau gara-gara ditinggal kekasihnya?”

Banyak simpul dalam syarafku menegang, mencoba menterjemahkan gerak bibir orang-orang yang terbaca oleh matahatiku. Namun semua makin menali erat tak terurai. Apa arti cinta saja aku tak mengerti kini. Yang kutahu hanya satu, aku merindu hingga aku tak ingat lagi segala sesuatu. Banyak rekaman berputar sementara aku berdiri menunggu setiap waktu, lelaki tanpa nama itu. Ingatan dan kenangan yang akhirnya meledakkan banyak hal. Bumm…!! Hancur, berantakan!

Setelah itu, aku tak dapat lagi berpikir logis. Tapi sungguh, kurasa pangkal semuanya adalah kecewa. Tak ada obat untuk kekecewaanku, hingga ujung-ujungnya aku terlempar dalam hening, terdampar di sebuah lembah dalam keadaan hampa, sendiri tanpa teman bicara. Tak ada lagi yang dapat kupercaya. Kata orang, AKU GILA! Gila karena lelaki tanpa nama.

***

Fifien Andriyani, Ibu Rumah Tangga dengan 2 anak. Lulusan D3 UNPAD jurusan Administrasi Negara ini lahir di Pandegelang tahun 1971. Senang membaca dan menulis sejak kelas VI SD. Menulis baginya adalah bisa menjadi terapi kejiwaan dalam menghadapi segala macam problematika kehidupan.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *