
Puisi merupakan sebuah jalan besar bagi mereka yang ingin memakrifatkan keberadaannya. Bukan berarti tak ada jalan lain untuk menuju ke sana. Akan tetapi, inilah salah satu jalan yang mengantarkan manusia untuk tidak berlarut dalam prosesi pencariannya terhadap perkara keabsolutan kehidupan. Bersama puisi, renik-renik persoalan terjaring menukik sampai ujung hati, sehingga mereka dapat merasakan getarannya. Tentu, hanya penyair yang tak jemu mengembara di rimba kata dan kedalaman rasa saja yang sanggup menggapainya. Internalisasi yang diolah sepanjang usia dan masa, yang kemudian melahirkan para penyair matang sikap dan sifatnya untuk sampai kepada esensi. Bukan mereka yang berahi ingin menulis puisi dan disebut penyair, lalu tiba-tiba hadir begitu saja dari sebuah pasar gelap. Faktor determinan dalam puisi adalah diksi. Diksi sebagai penanda rasa puitik. Dapatlah kiranya kita jenguk sejenak pada Nanang Suryadi. Penyair ini tampak begitu nikmat dengan elementasi alam, padat makna yang terwakilkan. Jelas, diksi adalah elemen penting puisi, puisi mutlak bermain dengan diksi, dan licentia poetica merupakan suaka puitiknya. (Redaksi)
[iklan]
Puisi – Puisi Nanang Suryadi
Di Pesisir
Kau dirikan rumah pasir
Walau demikian fana
Tapi membuatmu bahagia
Kanak kanak yang berlarian
Di pantai berpasir
Adalah kanak kanakmu
Adalah engkau,
Kanak kanak itu
Di waktu lalu
Bandung, 13 Juli 2018
Di Pesisir Puisi Berpasir
di pesisir puisi
pasir putih menggeriap cahaya
matahari yang sama
dan kita yang selalu saja
memandang gelombang
menghempas buih berhamburan
tak ada yang aneh
hanya terkadang mata silap melihat
kebenaran dan kesalahan
dikabarkan dari perut kelaparan
di pesisir puisi
kita ingin jadi gelombang memburu
mencium pasir gemerlap cahaya
Bandung, 7 Juli 2018
Nyiur Melambai
sebatang nyiur
berbatang batang nyiur
melambai lambai
dianginangin
sebatang nyiur
berbatang batang nyiur
gelugu rumah waktu
melintang terpaku
sebatang nyiur
berbatang nyiur
berkisahlah
tentang gelombang pasang
sebatang nyiur
berbatang nyiur
di sepanjang pesisir negeri
di dalam lagu abadi
Bandung, 13 Juli 2018
Pada Desir Laut
Demikian Senda
Camar senja
Di tempias cahaya
Mengekal ingatan
Pada desir
Bisik laut pada pesisir
Kemana kita akan pergi,
Tualang atau pulang?
Teriak camar
Dan kita menatap
Samar bayang bayang
Malang, 23 November 2018
Di Negeri Jauh
Di negeri jauh
Kau tatap salju jatuh
Memutih di kaca jendela
Di negeri jauh
Kau tulis segala peluh dan keluh
Dalam sajak menanda usia
Malang, 24 November 2018
Nanang Suryadi, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya ini juga aktif mengelola fordisastra.com. Buku-buku puisi tunggalnya: Sketsa (HP3N, 1993), Sajak Di Usia Dua Satu (1994), Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002), Cinta, Rindu & Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya (UB Press, 2010), Biar! (Indiebookcorner, 2011). Derai Hujan Tak Lerai, Kenangan Yang Memburu, Yang Merindu Yang Mencinta (Nulisbuku, 2012) dan Penyair Midas (Hastasurya, 2013)
No Hp: 082132686117