Membunuh Keburukan
Cerpen Ruly R
Sarju tampak tenang duduk di kursinya. Matanya masih fokus pada buku bacaan karya Agatha Chrsitie. Kertas kosong tergeletak bersama pena merah di atas meja. Sebelum Sarju mulai menggerakan pena, dia sempat melihat kalender di kamarnya, yang hari itu tertanggal 23 Juni. Tak lama kemudian, dia membalikan badan, menatap foto bergambar ibu dan ayah di dinding kamar. Raut wajahnya seperti memendam sesuatu. Mungkin tentang perasaan bahagia karena kurang dari sepuluh hari lagi dia akan menikah.
Mengingat tentang perempuan, Sarju langsung terbayang wajah ibunya, juga masih jelas dia ingat bagaimana perempuan yang melahirkannya sering mengatakan kalau jalan hidup haruslah ditempuh dengan membunuh keburukan. Bagi Sarju, ibu adalah segalanya. Sejak dia kecil hingga dewasa, ibunya yang mengajarkan segala kebaikan juga ketegaran menjalani hidup, terlebih ketika Marsono—ayah Sarju sering uring-uringan dan merundung ibunya karena kalah judi. Serapah menjadi makanan sehari-harinya, bahkan tamparan pun juga. Sarju takut bukan main ketika melihat itu. Pernah dia memberanikan diri melawan perlakuan kasar ayahnya, namun berbuah kesia-siaan. Tubuh kerempengnya cukup mudah dihempaskan Marsono. Karena itu pula, semua bayangan tentang ibu, terlebih kata-kata yang diajarkan dianggap utang dan ingin segera dilunasi Sarju.
[iklan]
Kata-kata ibunya mengiang dan menempel kuat dalam benak Sarju ketika seorang kawan semasa sekolah mengunjunginya kemarin sore. Warta—nama kawan itu, menceritakan sikap ayahnya yang selalu mengamuk karena kalah judi. Belum lagi Warta juga mengatakan bahwa ayahnya sudah main serong.
“Dari dulu ndak pernah berubah, Ju. Coba bayangkan! Dulu, aku sering dipukulinya. Memang sekarang dia tidak melakukan itu, tapi aku juga capek kalau tiap hari harus debat.” Warta penuh marah mengatakan itu. Dia juga bertanya tentang kebingungan untuk mengatasi hal itu. Warta menyampaikan kalau dia pernah berpikir untuk melawan ayahnya, namun niat itu dia batalkan. Dia tidak ingin durhaka, meski juga tidak tahu jalan keluar yang harus diambil. Percakapan sore itu berlangsung lama dan baru berakhir saat Azan Magrib berkumandang. Warta meminta pamit karena paham Sarju pasti akan bergegas ke masjid karena sudah ditunggu jamaah lainnya.
Meski masih muda, Sarju memang menjadi sandaran bercerita bagi Warta. Sarju dianggap orang yang bijak juga disegani di desa. Alasan lainnya karena ayah Warta sering berkumpul dengan Marsono. Di akhir kunjungan, Warta berharap semoga ayahnya bisa berubah. Sarju mengangguk pelan, pamitnya Warta diiringi senyum mengembang dari bibir Sarju.
***
Jam masih berdetak. Ingatan selayaknya peserta dalam perlombaan lari, terus berkejaran dan cepat tanpa bisa dicegahnya. Selintas, Sarju ingat pada Aini—pujaan hati yang akan menjadi istrinya. Tinggal menunggu waktu saja untuk hal itu tercapai, dan sekarang waktu menjelma tanah usai guyuran hujan pertama setelah kemarau panjang—menyegarkan dan menguarkan segala yang tak terpermanai. Bagi Sarju, Aini adalah segala yang indah dan tampak sempurna. Namun di antara semua itu, Sarju tak menyangka akan sebuah cerita yang dulu Aini sampaikan. Secara terbata dan wajah penuh cemas serta takut, Aini bercerita tentang hal yang hampir sama dengan yang dialami Warta. Sarju saksama mendengar ceritanya dan hanya bisa diam. Ingin dia memberi solusi, namun saat itu Sarju tidak yakin. Dari cerita itu, Sarju baru tahu kalau ayah Aini adalah seorang preman pasar yang suka bermabuk-mabukan tiap malam. Sarju menerima semua cerita dengan hati yang dilapangkan, dan tidak berani memotongnya.
Setelah itu, Sarju mencoba memberi saran kalau Aini harus lebih bersabar sembari memikirkan solusi bersama untuk masalah itu. Kata-kata Sarju terdengar halus dan bijak. Bagi Aini, hal itu selayaknya obat untuk kesembuhan segala luka. Sesaat Aini tak hirau kekerasan yang sering diterima dari sang ayah. Sarju yang bijak membuat Aini tak heran bila warga desa sangat menaruh hormat pada Sarju. Ada juga beberapa warga yang sangat patuh dengan yang dikatakannya. Bahkan beberapa ibu-ibu yang hamil sempat berharap, kelak jika anak mereka lahir akan punya budi halus, saleh, dan cerdas seperti Sarju. Kekaguman pada Sarju tidak sampai di situ saja, warga desa juga memercayakan anak mereka untuk ngaji padanya.
Memang benar tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga kehidupan Sarju. Dan itu tentu saja perihal perilaku ayahnya. Warga hanya bisa geleng kepala saat ayah Sarju membuat masalah. Kelakuan mereka bagai dua kutub magnet yang sama—akan saling bertolak belakang. Ujung dari semua itu, warga akan sepakat meski tanpa kata-kata kalau Sarju memang benar-benar mirip ibunya dan apa yang ada pada Sarju pastinya didikan ibunya. Sosok ibu yang berhasil mendidik anaknya berakhlak mulia.
Setiap kali Sarju tak sengaja mendengar ungkapan seperti itu, bibirnya bersimpul dan bayangan ibunya hadir. Sarju meyakini pasti ibunya juga melempar senyum dan penuh bangga karena bisa memberi ilmu yang bermanfaat.
Keyakinan, ketabahan, juga ketegaran yang memang selalu diajarkan ibunya benar-benar dijalankan Sarju. Dia meyakini dan selalu melakukan kehidupan sebagaimana yang dicontohkan dan dikatakan ibunya. Dialah yang dianggap guru dan junjungannya, tak ada yang menandinginya. Meski ayah Sarju masih sering mengamuk atau meradang, tapi Sarju tidak mau ambil peduli. Kesabarannya ditebalkan. Tapi kesabarannya sesekali ingin diluapkan, apalagi saat ayahnya mabuk dan mulai menyakiti ibunya lagi.
***
Cicak yang menduak mengaburkan segala lamunan Sarju. Matanya sekali menatap hewan itu lalu beralih pada foto orangtuanya. Sarju membalikkan badan, dan kembali pada apa yang ada di hadapannya. Tidak lama kemudian dia memegang pena dan mulai menulis. Guratan penanya tampak halus dan rapi.
Aku meyakini hal ini harus kulakukan, seperti kata ibu, aku harus membunuh keburukan. Tapi maaf, aku mengambil jalan yang mungkin berlainan dengan ibu. Dan inilah caraku untuk membunuh keburukan itu.
Setelah itu, dengan penanya Sarju membuat sebuah lingkaran, dan di dalam lingkaran itu terdapat sebuah tulisan: Pembunuhan 25 Juni.
Ruly R, tinggal di Karanganyar. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4). Kumcernya Cakrawala Gelap (Penerbit Nomina, 2018) dan novelnya Tidak Ada Kartu Merah (Penerbit Buku Kompas, 2019). Cerpennya tersiar di pelbagai media. Cerpennya terpilih menjadi salah satu cerpen terbaik HPI, Jakarta (2019). Cerpennya terpilih dalam naskah unggulan Sayembara Cerpen Betawi dari Pekan Sastra Betawi dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2019. Surat menyurat: riantiarnoruly@gmail.com.
Terima Kasih Telah Membaca Cerpen Membunuh Keburukan Karya Ruly R.