Berbicara bahasa, hal yang satu ini memiliki beribu sisi dan nyawa untuk dihidupkan dalam sebuah berisan kata-kata. Kita mulai dari sini saja, dari saya, seorang wanita yang lahir di Purbalingga. Purbalingga itu, kota kecil hampir di ujung selatan Jawa Tengah. Tidak banyak hal yang dapat ditemukan disini. Hanya yang mungkin banyak orang kenal ialah Gunung Slamet, gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa, dan juga sebuah nama dari dialektika bahasa komunikasi dari kami, yaitu ngapak.

Mereka bilang, ngapak itu lucu, menarik, menggelitik, dan seperti sebuah dialek yang bisa menggambarkan ke-ndesaan. Pengucapan yang medok, dengan nada yang tajam, serta kalimat-kalimat yang terdengar aneh dan lawak. Bahasa ngapak ini juga biasa disebut dengan “Bahasa Panginyongan” dimana untuk menyebut diri sendiri menggunakan kata “Nyong” yang berarti adalah “aku”. Selama 17 tahun saya berkarir sebagai penganut dialek ngapak, ternyata saya baru menyadari bahwa kata “nyong” tidak ada di kamus Bahasa Jawanya orang timur. Ketika perkenalan hari pertama orientasi kampus, berbicara dengan teman, mereka bingung dengan kata “nyong” yang saya ucapkan beberapa kali. Mereka bilang itu adaah hal yang lucu untuk diucapkan.

Namun, hebatnya orang Jawa, menjadikan bahasa juga layaknya memiliki nyawa dan tempat masing-masing dalam mengungkapkannya. Bahasa ngapak, hanya sopan diucapkan kepada teman yang dekat dan tidak jauh umur dari kita. Kepada orang lebih tua, kita adalah Jawa yang memiliki tatanan ngoko lugu, ngoko alus, kromo alus, kromo inggil, dan sebagainya yang dalam istilah nya, memiliki aturan subjek yang tentu.

Bahasa ngapak itu bahasa yang sederhana, bahasa yang banyak mampu menghadirkan tawa karena susunan kata-katanya. Bahasa yang ringan dan banyak yang bilang, hanya perlu secangkir kopi untuk memeriahkannya. Bahasa yang membuat kita akrab dan merasa dekat. Juga menjadikan kita selalu memiliki jiwa yang serupa sebagai orang-orang dalam satu lingkup kebudayaan.

Ngapak seperti bahasa Jawa lainnya. Memiliki kamus yang lebih tebal dari kamus bahasa lain. Bahasanya orang “cerdas” yang mampu menggambarkan dengan detail suatu kejadian hanya dengan sebuah kata sederhana. Atau juga, mampu memberikan nama pada tiap metamorfosa dari hal yang ada. Untuk mengatakan “jatuh” dengan bahasa ngapak, kita juga harus mengetahui detail posisi jatuh tersebut. Untuk jatuh karena sedang berlari dinamakan “kerungkeb”, untuk jatuh karena licin disebut keplarak, jatuh dari kendaraan adalah rubuh, jatuh ke depan itu kesungsem, ke belakang kejengkang, dan banyak lagi jatuh-jatuh yang lain termasuk juga jatuh cinta, yang bisa kita ungkapkan dengan kata kesengsem, tresna, kepincut, seneng, dan banyak banyak istilah lainnya.

Tapi ada banyak tetapi yang lambat laun menyelimuti Bahasa Ngapak ini. Beberapa berkata, ngapak itu kuno dan kampungan. Ngapak itu sedikit aneh dengan kata yang tak karuan. Menjadi bahasa yang minoritas daripada Bahasa Jawa di bagian Jawa yang lain. Ngapak layaknya kehilangan gemerlapnya andai ia sedang ada dalam panggung hiburan.

Mereka bilang, berbahasa Indonesia-lah yang baik dan benar, jadilah seorang warga negara yang menjunjung tinggi bahasa persatuannya. Mereka juga setuju, bahwa kita semua harus pandai menguasai bahasa asing yang menjadi bahasa interasional di seluruh belahan dunia ini yaitu bahasa Inggris. Benar, waktu telah bergulir, zamanpun berganti. Perlahan banyak keadaan yang tergerus oleh zaman. Banyak hal yang perlahan pupus, bahkan budaya yang perlahan pudar.

Maka berbahasa Indonesia lah yang baik dan benar karena Bahasa Indonesia lah bahasa yang mempersatukan, bahasa yang menghubungkan simpul-simpul anyaman keberagaman. Belajarlah banyak bahasa, agar kita mampu lebih luas melihat isi dunia. Namun ngapak jangan pernah kita biarkan untuk menghilang dari kebudayaan. Karena sejatinya, ngapak juga termasuk bagian dari mengapa Bahasa Indonesia dilahirkan untuk mempersatukan. Pun, dengan bahasa lain yang terlantun di seluruh penjugu alam nusantara. Bahasa ialah kebudayaan, harta yang besar yang Tuhan titipkan untuk kita emban. Yang menjadikan Indonesia Negara yang besar dengan persatuannya. Negara yang kaya dengan keberagamannya.

Dan, tetap jadilah ngapakers yang berbangga dengan keunikan bahasanya. Jadilah pemuda Indonesia yang baik, dengan menjunjung tinggi bahasa persatuan, tanpa meninggalkan jati diri, bagaimana bahasa dari ruang kita berasal. Mecintai negeri ini, berawal dari kita mampu menjaga milik kita sendiri. Budaya yang lahir dari tanah yang kita tinggali. Keragaman yang hadir dari manusia-manusia yang setiap hari kita jumpai. Saling menjaga dan melindungi, ialah kunci yang mampu menjadikan semua yang ada di bumi ini merasa saling dihargai. Jangan biarkan banyak hal yang mewarnai keragaman ini hilang dari pandangan. Jadilah generasi yang mampu menjadi pematri. Dan jadilah pemuda yang senantiasa mengemban nilai nilai Pancasila.

“Dadi Wong Jawa aja ilang Jawane, kudu ngerti marang sangkar paran dumadine.”

( Jadi orang Jawa jangan hilang jati dirinya, harus memahami darimana asal penciptaan dan akan kemana perjalanan akhir hidupnya)

Istinganah Saetu Rohmah, perempuan berusia 18 tahun.  Bertempat tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah. Suka jalan-jalan dan makan mie ayam. Senang membaca, sedang belajar menulis

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *