Pada mulanya, Hari Puisi Indonesia ( HPI ) yang dideklarasikan di Pekanbaru, Riau, 22 November 2012 lalu itu,  hanya sebuah upaya untuk menetapkan suatu hari, suatu tanggal yang akan menjadi titik ingatan, menandai keberadaan para penyair dan karya-karyanya. Menjadi  semacam hari raya atau hari besar bagi para penyair, menjadi  satu momentum untuk memberi elu-eluan, tabik dan rasa hormat kepada mereka dan karya-karyanya. Karena itulah kemudian para penyair yang menjadi deklarator Hari Puisi Indonesia itu, memilih tanggal 26 Juli, hari kelahiran penyair besar Indonesia, Chairil Anwar, sebagai Hari Puisi Indonesia, sebagai titik ingatan. Karena Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor dan bapak puisi indonesia modern, yang berhasil menjadikan puisi bukan  hanya penyenandung di ruang-ruang cinta dan kamar senyap, tetapi juga kekuatan yang ikut menggerakkan semangat revolusi kemerdekaan. Menjadi opini, dan ikut mengarahkan haluan dan perjuangan bangsa Indonesia. Lihatlah puisi Kerawang Bekasi itu, dan beberapa puisi revolusioner lainnya. Hari Puisi Indonesia ini sama seperti Hari Puisi Nasional di beberapa negara lain seperti Malaysia, Singapura, Vietnam. Bukankah PBB sendiri melalui lembaga Unesco nya sudah menetapkan hari puisi Dunia tgl 21 Maret?

Tetapi visi ideal Hari Puisi Indonesia seharusnya memang lebih dari itu, lebih dari sekedar sebuah titik ingatan. HPI seharusnya menjadi tanah air bagi para penyair. Sebuah rumah besar, ruang, dan medan perjuangan para penyair dan karya-karyanya. Sebab sekecil apapun ruang dan wilayah yang dimiliki, yang tersedia dan bahkan tersisa, dari proses perjuangan para penyair merebutnya di negeri yang dia cintai itu, itulah miliknya, itulah roh dan darah kreativitasnya, sepanjang ruang dan wilayah itu adalah ruang bahasa, ruang komunikasi, ruang batin yang memiliki kemerdekaan bagi kreativitasnya. Dengan visi ideal ini, Hari puisi Indonesia, suatu hari kelak, bisa menjadi apa saja, bahkan sebuah nama besar bagi kepentingan dunia kepenyairan, termasuk sebagai merek dagang. Tanah air, dimana  para penyair dapat berharap hidup nyaman dan tenteram dalam kegelisahan kreativitasnya, dan bukan generasi dan elite yang terbuang dan tersisih dari gemuruh kehidupan negaranya. Dimana puisi dan para penyair hanya dianggap anak tiri dan bahkan para pengembara yang tersesat dan diberi tumpangan di ranah yang bernama kebudayaan, kesusasteraan dan lain-lain penamaan dan pemilah-milahan kepentingan dan puak. Puisi dan para penyair memerlukan Tanah air, dimana mereka dapat membangun tradisi dan mengobarkan semangat dan menaikkan bendera mereka, sebagai warga terhormat di dunia kebudayaan.

Perjalanan ke arah itu, sebenarnya sudah dimulai. Misalnya, sudah ada kesepakatan di sementara media cetak untuk memberikan nama halaman puisi/sastra yang mereka terbitkan, baik secara berkala atau seminggu, sebagai halaman Hari Puisi. Sebuah simbol dari keinginan bersama memberi tempat terhormat pada puisi dan para penyair. Menyelenggarakan sayembara buku puisi terbaik pilihan panitia HPI. Menerbitkan antologi puisi bersama. Menyelenggarakan diskusi, dan lain-lain kegiatan yang membangun dialog antara kalangan penyair. Bukan mustahil suatu hari nanti mereka miliki sebuah perusahaan penerbitan buku-buku puisi, mempunyai toko-toko buku puisi, termasuk toko-toko puisi online, agen-agen naskah, dan lain-lain infrastruktur keekonomian bagi membangun dunia perpuisian yang lebih sehat dan menjanjikan. Meskipun di dunia saat ini belum tentu ada tanah air para penyair yang ideal demikian itu, tapi bukan berarti para penyair Indonesia tidak boleh mencoba dan berusaha untuk itu. Sebagai model, bukankan di Indonesia sudah ada Salihara, tanah air kebudayaan yang sudah berkembang maju, dan menjadi penanda bagaimana kebudayaan Indonesia ujud dan berkembang. Artinya, HPI  haruslah dilihat sebagai visi masa depan kepenyairan di Indonesia.

Para Penyair Indonesia beruntung karena Hari Puisi Indonesia dibangun di atas landasan kreatifitas yang berteraskan bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Tidak banyak bangsa di dunia yang memiliki bahasa sendiri, yang menjadi jati diri dan sarana konvensi kehidupan, terutama di dunia kepenyairan. HPI telah dilihat sebagai rumah bersama, medan kreatifitas, yang dipelihara dan dipertahankan secara bersama-sama. Di sinilah mereka lahir dan dibesarkan. Di sinilah mereka tumbuh dan berkembang. Dari sinilah kemudian mereka mengembara untuk memberi makna kehidupannya, sebelum pada akhirnya pulang kembali ke rumah keabadiannya. Ada kesadaran penuh, bahwa Bahasa adalah jati diri penyair. Penyair yang kehilangan bahasanya, akan kehilangan segalanya. Kehilangan jati diri. “Yang tak berumah takkan menegakkan tiang”, begitu kata salah satu bait puisi penyair Polandia Ann Marie Rilke. Karena itu pula, salah satu tugas penting seorang penyair adalah memelihara, memperkaya, dan mempertahankan bahasanya. Karena itu adalah perjuangan menegakkan jati dirinya.

Apalagi sekarang ini pada kenyataannya, bahasa adalah salah satu benteng terakhir nasionalisme yang masih bisa bertahan dan tegak di tengah gempuran globalisasi dan kemajuan Teknologi Informasi. Fungsi, peran, dan posisi bahasa yang demikian ini, memang sudah ada sejak dahulu dan dilakukan oleh berbagai bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa ibu, bahasa literasi. maupun sebagai bahasa kebangsaan. Tapi peran yang demikian, kini semakin berat dan memerlukan kerja keras, serta komitmen yang kuat, karena cabaran berbagai perubahan. Banyak bahasa-bahasa di dunia menuju kepunahan atau bergeser menjadi bahasa kelas dua, oleh berbagai tekanan kepentingan, terutama ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi, yang niscaya. Maka penyair, adalah salah satu pengawal dan penjaga garda terdepan benteng nasionalisme itu. agar tetap kukuh, sebagaimana kukuhnya jati diri para penyair, dan para pendukung bahasa itu.

Ibarat samudera, bahasa adalah sumber kreativitas. Di sinilah, di keluasan, di kedalaman, di kebiruan, di gelombang, di karang, di ribut, di badainya samudera bahasa itulah, para penyair mengeksplorasi segala sumber  misteri dan inspirasi yang terkandung di dalamnya, menjadi karya-karya, yang hakekatnya adalah untuk mengangkat dan mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan. Karya-karya inilah yang kelak menjadi kontribusi para penyair terhadap pembentukan kebudayaan bangsa dan tanah airnya. Karya-karya yang ujud dalam bentuk puisi, novel, roman, teater, dan karya budaya lainnya, hanya bisa lahir karena adanya bahasa dan seluruh inspirasi serta energi yang disediakannya. Seluruh karya sastra itu, pada hakekatnya adalah puisi.

Eksistensi seorang penyair, sastrawan, budayawan, adalah  karyanya. Dan karya-karya itu hanya lahir dari proses kreativitas, dan kreativitas itu hanya bisa tumbuh dan berkembang, jika ada media ekspresinya yang hidup dan menggairahkannya, dan itu adalah bahasa. Bahasa yang baik bagi penyair, adalah tanah air yang memberi kebebasan kepadanya untuk mengembangkan dan mengolahnya menjadi media komunikasi yang mudah, lancar, dan bermakna dalam karya-karyanya. Kondisi yang demikian diperlukan penyair untuk menghasilkan karya-karya yang kuat. Karya-karya yang besar hanya lahir dari bahasa yang merdeka, yang bebas, yang lentur, yang tidak terkurung dan terperangkap dalam berbagai aturan dan tata bahasa yang kaku dan beku. Dalam hal ini, bahasa Indonesia, adalah salah satu bahasa di dunia yang sangat apresiatif. Bukan hanya memiliki kemerdekaan dalam bentuk dan struktur bahasanya, juga memiliki keindahan dalam diksi, intonasi, dan rimanya sehingga menjadi bahasa yang sangat puitis. Lihatlah syair-syair, salah satu bentuk karya sastra klasik Indonesia yang berasal dari tradisi Melayu. Atau gurindam, seloka, Kidung, dll. Membacanya, seakan kita bernyanyi. Berdendang. Karena itu, ada yang menyamakan keindahan bahasa  Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu itu, sama dengan keindahan bahasa Spanyol.

Bahasa yang merdeka, yang bebas, adalah tanah air bagi penyair  yang selalu memberi inspirasi, yang memiliki gairah yang seakan tak pernah diam, terus menggelitik batin penyair untuk terus meluapkan ekspresi, yang terus mengajaknya untuk menggali mencari inti esensinya. Bahasa yang demikian sangat diperlukan untuk proses kreativitas dalam menghasilkan karya-karya sastra, terutama puisi, karena bahasa yang merdeka itu sangat imajinatif. Menulis puisi itu adalah menulis metafor, menuangkan imajinasi. Dengan sepatah kata, seringkali  hanya satu kata saja, penyair sudah bisa menghasilkan sebuah puisi yang penuh makna.

Puisi-puisi Indonesia mutakhir, memang punya kecenderungan kembali ke bahasa ibu, ke bahasa asal, kekuatan lokal, ke pengucapan purba. Meskipun puisi-puisinya ditulis dalam bahasa Indonesia, tetapi di dalam puisi-puisi itu dapat dirasakan gaya pengucapan yang menampilkan semangat dan tradisi tuturan lokal, jejak awal sejarah dan budaya ibunya. Muncul sejumlah kata-kata lokal, bahkan kata-kata yang sudah termasuk kata-kata arkais (hilang dari percakapan sehari-hari). Bentuk-bentuk pengucapan, terutama puisi, makin banyak yang kembali ke struktur puisi lama, dan berbagai bentuk lain. Puisi-puisi ini, akan semakin tampak ke lokalan, ke asalannya, bila sudah dibacakan. Namun pada kenyataannya, meskipun dominasi bahasa ibu, gaya penuturan lokal, karya-karya itu tetap komunikatif, bisa dirasakan, dapat dipahami, karena pada hakikatnya bahasa itu, bagaimanapun bedanya, rohnya adalah pada kesamaan rasa, yang dapat dibangkitkan dalam bentuk simbol-simbol, dalam isyarat-isyarat.

Lihatlah bagaimana bahasa prokem itu masuk dan mengaduk-aduk karya sastra, termasuk puisi-puisi dan novel, terutama melalui bahasa-bahasa gaul. Juga bahasa Facebook, bahasa Twitter, dan yang sangat fenomenal adalah bahasa BBM, WA, dan lainnya yang mampu membangun komunikasi secara luas, hanya dengan simbol-simbol (smiley), yang betapa pun asing dan aneh, tetapi seakan dapat berbaur dan berkomunikasi dengan komunitas mereka yang berbeda. Suatu hari puisi nanti, mungkin saja hanya akan berbentuk simbol-simbol. Atau gambar-gambar, seperti yang dikatakan penyair Sapardi Djoko Damono, belum lama ini.

HPI menjadi sangat penting untuk menjadi salah satu sarana perjuangan agar Bahasa tetap memberi kontribusinya bagi perjuangan untuk membangun peradaban bangsa ini, karena bahasa adalah bagian dari kesejarahan, bahkan pembuat sejarah. Dalam pemahaman harfiah, bahasa memang berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi. Dimulai dengan simbol-simbol, lalu kata, lalu kalimat, dan seterusnya. Kini, bahasa komunikasi, kembali ke simbol-simbol, meskipun lebih universal. Bahasa Indonesia misalnya sebagai bahasa yang merdeka, kreatif, imajinatif, dan sugestif, ada di dalam proses modernisasi dan simplikasi komunikasi manusia dalam berbahasa, ikut membangun simbol-simbol universal itu. Sekali lagi, bagi penyair, bahasa adalah tanah airnya. Tanah air yang merdeka dan penuh kebebasan, yang harus dia pertahankan. Di tanah air para penyair inilah mereka dapat menjadikannya kerajaan,republik, mengangkat sultan, memilih presiden, menobatkan para resi, dan memuliakan para hamba sahaya yang dengan rajin memanggul dan memungut kata-kata, seperti negeri para lebah.

Tanah air, sekecil apapun wujudnya, tetap memerlukan kekuatan untuk memelihara, mengingat, memuliakan, menghargainya. Untuk membangun tradisi, karena hanya tradisilah yang membuat ingatan kita tetap utuh dan merasa memiliki. Itulah yang menjadi visi ideal Hari Puisi Indonesia itu, dan itulah tugas para penyair. Semoga!

Jakarta, 12 Oktober 2016.

*) Essay ini dibacakan dan tulis oleh Rida K Liamsi pada Peringatan Hari Puisi Indonesia (HPI) 2016, di Taman Ismail Marzuki, 12 Oktober 2016.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Sebuah pemikiran yang luar biasa. AMAZING.
    Selamat dan sukses selalu untuk para raja, para resi, para pendahulu yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan sehingga para penyair mempunyai tanah air.
    Semoga tanah air yang kita miliki bertambah jaya berkat bimbingan para resi yang mumpuni.
    Para catrik berkarya mengisi tanah airnya
    dengan karya- karyanya mampu mengangkat derajat tanah air.
    Dengan puisi penyair berkarya

    Sakti di bumi
    Perkasa di samudra
    Jaya di udara

    Salam puisi???? ??