Neroli

Zabidi Yakub

Bukan tanpa pertimbangan namanya cocok dijadikan tokoh dalam cerita ini. Di masa kecilnya, kakeknya sering menghidukan wewangian ke hidungnya. Wewangian yang biasa dipakai kakeknya setiap akan salat Jumat, di antaranya MagnoliaCitrusWoodyOceanic, dan Gourmand. Dari semua itu, yang paling disukainya adalah Gourmand, karena beraroma seperti kembang gula.

Nama Neroli diambil dari salah satu jenis aromaterapi. Wangi Neroli hampir sama dengan Citrus, karena memang dibuat dari ekstrak bunga pohon jeruk. Manfaat wewangian ini, di antaranya memiliki efek pada pemulihan keseimbangan homeostatik, memperlancar aliran oksigen ke otak, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan menormalkan kadar hormon neuroendokrin.

[iklan]

Neroli, gadis yang tomboi. Pertemanannya dengan Awkrima, Riri, dan Maya, bukanlah faktor kebetulan. Di samping memang satu kantor, mereka satu komplek perumahan. Rasanya mustahil tidak terjalin persahabatan di antara keempatnya. Satu garis linear lagi yang menyatukan keterhubungan mereka, adalah sama-sama masih lajang.

Sesuai basis ilmu saat kuliah, bidang teknologi komputer, secara otomatis mengarahkan jalan hidupnya sebagai tenaga kependidikan bidang TIK dan sekaligus operator. Menjadi operator komputer, memaksanya untuk lebih sabar dan memahami karakter orang-orang satu kantor, yang selalu menumpukan semua pekerjaan kepadanya. Maklum, tidak semua orang di kantornya familier dengan komputer atau laptop. Ada sebagian yang gaptek.

Pernah dengar ada sekolah yang dana BOS-nya tidak cair selama 1 triwulan? Itu karena operator terlambat sinkron dapodik. Pernah dengar juga guru yang terlambat cair tunjangan sertifikasinya? Itu kelalaian operator juga. Bagaimana kalau operator dengan imbalan tak seberapa itu melalaikan tugas-tugas lainnya? Pasti lebih banyak masalah ditimbulkannya.

Betapa maha pentingnya tugas operator. Data yang diinputkan operator menjadi acuan bagi kebijakan-kebijakan pendidikan. Yang cukup berat adalah tahun pelajaran baru, harus input data siswa satu per satu. Beruntung kalau orang-orang di kantornya yang meminta bantuan jasanya memberi perhatian lebih. Yang banyak ya ala kadarnya, dan yang lebih menyakitkan hanya diberi ucapan terima kasih.

Sebagai imbalan atas tugas vital yang maha berat itu, ada pemerintah daerah yang memberangkatkan para operator untuk jalan-jalan ke berbagai kota di Pulau Jawa. Meski sempat tertunda beberapa bulan, akhirnya berangkatlah Neroli, Maya, dan Jimy beserta rombongan dari kantor lainnya ke Jogja, Semarang, dan Jakarta. Itu adalah imbalan dari pemda atas suksesnya tugas mereka sebagai proktor di masa ujian nasional berbasis komputer.

Bukan main bungahnya mereka bertiga. Hal yang sama tentu dirasakan juga oleh proktor-proktor lainnya. Di atas geladak kapal, Neroli mengarahkan tatapan ke laut lepas. Menara Siger, ikon Lampung, sudah jauh tertinggal di belakang. Sedang di kejauhan, kepul asap membubung mengangkasa dari cerobong PLTU Suralaya, yang dituding jadi penyebab polusi Jakarta.

Neroli dijebak lamunan. Angannya menggambar, kira-kira apa saja yang mungkin bisa diperbuat sesampai di Jogja. Semua keinginan berseliweran di kepalanya. Tetapi, muncul pula penyangkalan. “Ah, mana mungkin liburan beserta rombongan bisa leluasa memenuhi keinginan!” batinnya. “Kecuali kalau aku solo traveling, mau ngapain kek bisa aja. Rombongan begini mustahil banget.”

Kecamuk perang batin antara ingin dan mustahil yang begitu seru di kepalanya, tiba-tiba buyar oleh tegur seorang pria yang mendekatinya.

“Sendirian?” tanya pria.

“Nggak, ama temen-temen. Tuh, lagi foto-fotoan di sana,” jawab Neroli.

Si pria menyodorkan tangan mengajak berkenalan. Mereka bersalaman dan menyebut nama masing-masing. Lalu berlanjut ke obrolan basa-basi, tentang profil masing-masing. Mereka bersisian begitu dekat di sandaran geladak kapal. Terik matahari mengawasi dari kejauhan. Hangatnya perlahan menjalari sekujur tubuh orang-orang di geladak kapal.

Dari tubuh pria itu, Neroli mencium aroma farfum begitu wangi. Perpaduan antara Carribbean MagnoliaVirginia Cedar, dan Amber. Hidungnya begitu peka karena sedari kecil terbiasa dikenalkan dengan wewangian macam-macam farfum koleksi kakeknya. Dia membatin, wangi pria itu mengkarakterkan milineal perkotaan yang friendly.

Angin laut yang nakal, makin mempertegas aroma tubuh pria di sebelahnya. Neroli serasa sedang bercengkerama dengan kakeknya. Padahal kakeknya sudah lebih sepuluh tahun lalu meninggal. Dia jadi kangen kakeknya. Sementara pria disebelahnya sibuk memotret kapal ferry di kejauhan dengan kamera DSLR, Neroli diayun gelombang lamunan mengenang kakeknya.

Pelayaran masih lama, Neroli makin akrab berbincang dengan pria yang baru dikenalnya. Tiada momen awkward di antara mereka. Sesekali mereka saling tatap. Neroli teringat pada penggalan puisi Iswadi Pratama, “Apakah yang telah memautkan kita selain kata. Seperti darah ketika luka mengungkapnya.” Neroli seperti terbius oleh kata-kata yang terdengar asyik dan kadang puitis, namun tidak terkesan gombal dari pria itu.

Semakin terlibat perbincangan seru, Neroli merasa seperti berada  di ruang hampa. Persis seperti bunyi teori ilmu fisika kuantum: bahwa di dunia energi terhalus yang tak tampak wujudnya, berlaku hukum yang berbeda dengan dunia benda yang tampak. Hukum fisika kuantum yang unik dan agak sulit dipercaya, di antaranya:  unsur terkecil dari semua benda itu sebenarnya ada di sini dan di mana-mana sekaligus.

Neroli menguji perasaan dan kekuatan pikirannya, yang merupakan benda tak tampak itu. Berkali-kali bersitatap, Neroli memastikan apa yang pernah dibacanya dalam sebuah artikel. “Bila bertemu orang baru, maka perhatikan tatapan matanya akan mengunci ke arah mana. Apakah dia menyelidik ada atau tidak cincin di jari manismu?” Pria yang mengetahui wanita yang baru dikenalnya, bila ternyata sudah menikah, ia tak akan buang-buang waktu percuma. Sebaliknya, bila ia betah mencandaimu, berarti di matanya kamu adalah orang yang menarik.

“Orang yang jatuh cinta itu, bisa ditebak dari tatapan matanya!” Seperti apa tatapan mata pria itu terhadap Neroli, hanya Neroli yang bisa menafsirkannya. Apakah pria itu menunjukkan sinyal jatuh cinta dengan kata-kata yang puitis dan membius? Neroli berjuang menerkanya. Banyak sekali tanda tanya berdesakan memenuhi otaknya. Membuat Neroli sedikit baper.

Perbincangan mereka santai. Mengalir selancar aliran air minum yang sesekali diteguk Neroli dari tumbler. Sama sekali tidak menyimpang menjadi adu argumen dan egois mempertahankan pendapat masing-masing. Perbincangan hanyut mengarah ke “ingin” dan “angan” serta “kata” dan “kita.” Neroli seperti menemukan kisi-kisi tentang jodoh terbaik dalam diri pria itu. Semakin membuat Neroli tambah baper, jadi ingin berduaan selamanya.

***

Sirine kapal tiba-tiba berdengung, pertanda kapal akan segera sandar. Setelah bertukar nomor WA mereka berpisah. Neroli turun ke lambung kapal tempat bus yang membawa rombongannya terparkir. Maya dan Jimy sudah lama masuk bus. Ketika Neroli masuk dan menghempaskan pantatnya ke tempat duduk, Maya sekilas melirik ke arahnya tanpa bertanya apa-apa. Maya menangkap aura bahagia di wajah sahabatnya itu.

Setelah bergantian saling foto, Maya memang membiarkan Neroli menyendiri di geladak kapal. Apalagi ketika ada cowok yang mendekatinya, Maya pilih menyingkir, mencari dunianya sendiri. Ke kafetaria dia untuk memesan pop mie dan kopi, lalu masuk ruang eksekutif dan mencari tempat duduk agak di sudut. Diseruputnya kopi bergantian dengan menyendok mie.

Jimy pun seperti menjangan yang lepas dari kandang, namun tetap di dalam kebun binatang. Meski lari ke sana ke mari, tetap saja kebebasannya tersandera. Label kelelakiannya, membuat Jimy merasa memiliki berbagai keistimewaan sekaligus persoalan di tengah keramaian. Melarikan diri ke sudut sepi adalah pilihan tepat untuk menikmati kesendiriran.

Barangkali kesendirian perlu dirayakan dengan kegembiraan. Seperti perjalanan ke Jogja yang dirasakan Neroli sebagai kegiatan paling happening. Mendapat kenalan baru, baginya tentu harus dimaknai betapa dunia ini luas dan di luar sana banyak pelajaran berharga yang bisa diperoleh. Orang baru akan memperkaya sudut pandang. Tetapi, yang paling membahagiakan baginya, adalah memiliki sahabat yang setia.

Berelasi dengan banyak orang memang penting, namun nggak menjamin mereka akan selalu memahami kita. Hal itulah yang dirasakan Neroli terhadap orang-orang sekantornya. Tidak semuanya memuaskan, ada sebagian yang bikin sebal. Tidak ada manusia yang benar-benar sempurna, yang ada itu adalah saling menyempurnakan. Yang dicari Neroli adalah orang yang bisa menyempurnakan itu.

Baginya, tak penting kuantitas melainkan kualitas pertemanan. Mungkin nggak banyak, namun sahabat yang berkualitas akan tetap solid meski terpisah jarak, ruang, dan waktu. Punya banyak kenalan memang bagus, namun punya sahabat satu atau dua itu harus. Karena ada saatnya kita hanya akan merasa nyaman dengan satu atau dua orang teman terdekat.

Kenyamanan itulah yang Neroli rasakan bersahabat dengan Awkrima, Riri, dan Maya. Tak ada rahasia di antara mereka. Tak ada perasaan sirik yang mengancam rusaknya hubungan mereka. Karena friendzone, tak ada suudzon di antara mereka. Ketika Neroli memposting foto di fesbuknya, dengan caption absurd: “Biarlah orang berkata APA.. Yang pasti sudah pernah ke pinus..” Awkrima hanya berkomentar dingin: Ya sich yang udah ke pinus udah foto mah…

Awkrima yang cantiknya tidak kalah dibanding Awkarin. Dia bukanlah sosok yang sempurna, namun multiguna. Pemantik keceriaan di antara mereka. Kalau sudah ngomong, Awkrima berisik kayak dingdong di timezone yang barusan diisi koin. Meski begitu, Awkrima tak pernah aneh-aneh. Dia jadi diri sendiri dan berusaha melakukan yang terbaik. Tidak begitu aktif di media sosial. Alasannya, tak tahan terhadap netizen.

BKP, 5 November 2019

Zabidi Yakub, lahir di Banding Agung, Ranau, OKU Selatan, Sumatera Selatan, 28 Oktober 1961. Pernah bekerja di Surat Kabar Lampung Ekspres Plus, senang menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di blog pribadi dan laman fesbuk. Beberapa puisi dan catatan dibukukan dalam antologi ‘Sehirup Sekopi’ (2018), dan terhimpun dalam buku ‘Negeri Para Penyair’ yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Lampung (2018).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *