Puisi Gelap merupakan puisi yang banyak mengandung majas, kias, dan lambang yang bersifat pribadi sehingga sulit untuk dipahami maknanya. Bentuk puisi seperti itu sifatnya terlalu pribadi sehingga pembaca kesulitan menafsirkan maknanya secara jelas karena maknanya tersembunyi dan bertingkat-tingkat, serta mengandung keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali.
Dalam Puisi Gelap, penyair sengaja menyatakan suatu maksud atau pengertian dengan menggunakan lambang-lambang, kiasan-kiasan, bentuk tipografis, dan dengan menggunakan kalimat yang tidak langsung menyatakan maksudnya. Kata-kata yang digunakannya pada umumnya adalah kata-kata yang disertai konotasi dan memakai simbol-simbol pribadi. Bentuk puisi seperti itu disebut dengan istilah puisi hermetis atau puisi tertutup. Puisi seperti itu merupakan ekspresi perseorangan dan bersifat curahan perasaan. (Redaksi)
[iklan]
Takut beradu punggung
Tubuh alam saat ini mengundang suram. Tatkala kerinduan datang menjulang, untuk pulang. Perlahan-lahan menata gelisah. Alam sedang berduka, malapetaka pasti ada. Sedang perjalananku membutuhkan jarak keringat, sejak kapan alam akan terang, biar aku pulang. Aku sudah kusam ditanah orang. Alam kian mengatakan pulang. Kukabarkan pada bapak-ibu, lalu ibu menyapu perkataanku. Meski kau menangis sendu, takkan bisa bertemu, bersihkan saja kusam itu. Tinggal tiga bulan lagi kita untuk bertemu.
Aku usahakan kusam kubersihkan. jika itu permintaanmu ibu. Bunga dan kain akan ku jadikan bahan untuk mengutarakan beban. Tak mau mengadah upah, apalagi bingkisan, yang kugariskan ialah jangan saling membelakangi antara bapak dan ibu. Disitu pula aku bahagia.
29,02,2020
Minta maaf
Hewan tak henti menjerit. Sedang daun terlelap. Terlahap peristiwa paling gelap. Bintang satu-persatu hilang, merambat ke urat paling dalam. Di ruang gubuk aku berdoa duduk. Melukis aroma sedap yang tertera di kepala. Melahirkan kenangan paling kaya. Menyelam ke ruang paling kelam. Mencari kata-kata yang sedang mendiam. Kuhidupkan sebuah rokok menelusuri jejak saat ini. Kokok ayam berkata: Para malaikat sedang turun, mencari orang-orang yang berdoa. Semoga keluargaku baik-baik saja.
Kini aku masih berdoa, mencari tentang kata-kata yang tak sempat terbuka di kepala. Masih berdua yang sama-sama mencari diksi untuk puisi. Aku sabar meski tuhan tak memberikan aku untuk terbuka. Sebab tuhan pula yang membuatku tercipta. Tanpa tuhan aku tak bisa. Hanya ini saja yang kutulis dalam karya. Aku minta maaf terutama pada pembaca. Dari larik pertama hingga akhir titik mangsa yang aku bisa. Sebenarnya aku ingin membuat karya, membuat pembaca bahagia. Tapi apalah daya penyampainku hanya ini saja.
Dini hari,01,03,2020
Tali hati terputus
Pecahan kata melukai dada. Terkungkung di putaran waktu, bergelayut di jejak masa lalu. Yang sama-sama membangun bahagia. Kini engkau seperti kucing masa kecil, tak banyak gerak namun bahagia. Za! masihkah selembar wajahku terbayang, yang pernah aku di jadikan genangan gerimis matamu, Kini pula aku lupa bahasa, hingga kaku berbicara. Lantaran tali hati kita terluka, padahal tak ada peluru kata-kata.
Za! seandainya ada angin berpetuah, ikat kembali tali yang sudah putus. Mungkin aku akan mengatakan iya. Sebab di sana aku berbicara sempurna. Tapi tak mungkin itu terjadi. Karena engkau sudah dipayungi, menahan dari hujan dan kemarau. Za! Yang menjad konflik batin hanya kepergianmu dari relung tanpa pernyataan pasti. Di situ pula dadaku bagaikan di bakar api yang tak henti-henti.
02,03,2020
Menyelam kelaut bahasa
Selama kurang tidur, tubuh di pisau malam. Luka menyebar tak bisa keluar. Lantaran menyolo mutiara kata-kata, yang mengumpat di balik jagat raya. Untuk sebuah catatan samudra. Yang akan diselami banyak orang. Namun tak semuanya orang bisa mengarungi ke desar pena. Apabila penyelam di bawah umur, maka tak bisa mengukur.
Sudah lima malam mengadah hujan kata, tapi tak tergenang di kepala, melainkan menyerap ke tanah. Tapi usahaku serupa seorang penyelam. Bilamana tak menemukan mutiara, maka ia takkan mengentaskan tubuhnya. Hingga sayat pisau berubah anak panah yang tertusuk lalu mengakar. Namun aku takkan melihat sifat akar, yang kutakdimi mengakar kata-kata, di situ pula kata-kata jadi raja, hingga aku bahagia.
02,03,2020
Ach Atikul Ansori lahir 18-05-2001 di pulau Gili Raja Sumenep. Alumni Nurul Huda II, Dan Sekarang Nyantri di PP. Annuqayah daerah lubangsa selatan. Antologi puisinya adalah Rahasia rasa publisher (2019) janji senja JSI, (2019), Pena artas (2019), Serta nangkring di media Nusantaranews, Takanta, Negri kertas, Simalaba, Travesia, Apajake, Sukma, Koran pendidikan. Kini aktif di Sanggar Basmalah.