Manusia Tanpa Kepala

Hendy Pratama

Manusia tanpa kepala mencangkung di atas kuburan. Mulanya, aku mengira bahwa ia sedang berduka; seseorang yang dicintainya mati dan ia merasa terpukul. Namun, setelah kuselidik, baru kusadari bahwa seseorang itu tidak memiliki sepotong kepala dan tiada air mata yang menandakan kalau ia sedang berduka.

Seandainya aku memiliki penyakit jantung, mungkin aku sudah mati. Dan, mayatku telantar di belakang seseorang itu. Dan, mungkin saja, orang yang melintas bakal mengira kalau manusia tanpa kepala itu merupakan ruh jelmaanku. Untung, aku seorang pemberani demi mencari tahu: siapa ia dan apa yang dilakukannya di atas kuburan?

“Aku pikir, kau bakal lari terbirit-birit seperti hendak ketimpa gunung ketika mendapati diriku,” celetuk manusia tanpa kepala itu, padaku.

Tentu saja aku merasa ganjil. Sedari tadi, kuamati bahwa manusia itu tidak memiliki sepotong kepala—yang artinya, ia juga tidak memiliki sebuah mulut. Akan tetapi, telingaku menangkap suaranya. Tiada seorang pun di pekuburan ini, selain aku dan manusia tanpa kepala itu. Hal itu membuatku yakin, bahwa ialah yang berbicara padaku.

“Apa kaucari mulutku?” imbuh suara aneh itu, yang rasanya berasal dari depanku.

“Apa benar, bahwa kaulah yang menciptakan suara itu?”

Manusia tanpa kepala itu terdiam untuk beberapa saat, membiarkan kelopak kamboja jatuh ke atas gundukan tanah. Matahari berendam di barat dan sejelalat kemudian, ia lenyap bagai seseorang tenggelam di ceruk lautan. Lampu-lampu di sekitar pekuburan dinyalakan, serupa matahari kecil terbelah-belah. Cahaya bulan tampak keperakan.

“Jangan takut dan bingung,” ucapnya, lirih. “Kepala manusia sejatinya lebih cerdas ketimbang prosesor sebuah komputer. Ada banyak sugesti-sugesti yang terkoneksi hingga menjadi suatu kenyataan. Pikirkanlah, bagaimana sebuah lagu di restoran dapat membuat cita rasa makanan jadi lezat. Atau, bau hujan yang membikin pikiranmu segar.”

“Apakah kau sedang melakukannya padaku?”

“Seharusnya, aku yang menanyakan hal itu padamu,” timpal manusia tanpa kepala. “Ceritakanlah padaku, apa yang kaulakukan di pekuburan ini—apa yang mendorongmu ke sini, hingga pada akhirnya bertemu denganku?”

[iklan]

Sebaris pertanyaan manusia tanpa kepala membikin ingatanku berkelana. Aku terdiam beberapa waktu begitu teringat bahwa aku, dulunya merupakan mahasiswa filsafat. Lebih tepatnya, mahasiswa filsafat yang dimusuhi oleh seluruh dosen, lantaran pemikiranku yang teramat kritis dan boleh jadi, mereka menganggapku radikal!

***

Aku berjalan di lorong kampus dengan pakaian yang lebih menyerupa berandal; kaus oblong yang tak pernah dicuci sejak tiga bulan lalu, celana panjang beggar look yang dapat menandakan bahwa aku serupa singa yang gemar menerkam kijang-kijang, rambut panjang yang lebih menyerupai serabut nyiur. Begitulah perawakanku dan ketika seorang mahasiswa memandangku, seketika menjauhiku seperti bertemu dengan pembunuh berdarah dingin.

“Mengapa kita tidak mengeluarkannya saja dari kampus ini?” argumen seorang dosen yang kudengar dari balik ruang dosen. “Ia mengancam permainan kita.”

“Kita tidak memiliki alasan yang jelas lagi kongkrit.”

“Ia selalu menyela penjelasanku di kelas dan betapa Salman merupakan mahasiswa yang teramat keras kepala. Darah komunis mengalir di dalam tubuhnya!”

“Memang benar. Namun, Salman adalah satu-satunya mahasiswa kita yang kritis; ia aktif di berbagai organisasi kiri, ia rajin mengikuti pelbagai kajian dan beberapa kegiatan demonstrasi di gedung pemerintah. Ia mahasiswa yang idealis!”

“Tidak. Kau salah, aku melihat Salman seperti melihat Aidit muda.”

Seluruh dosen dan berbagai civitas akademik mungkin saja telah membenciku, kendati hanya segelintir yang masih sudi berkawan denganku. Seandainya, seorang dosen itu sepakat untuk mengeluarkanku, pastilah aku makin liar dengan pemikiranku. Untung saja, aku berhasil melewati empat belas semester secara sempurna; aku lulus lantaran ketiga pengujiku tidak dapat membantah seluruh argumentasiku dan mereka menyatakan menyerah.

Selepas lulus, aku turun mencari kerja. Dan, sialnya, sembilan perusahaan menolak lamaranku ketika mengetahui bahwa aku merupakan lulusan fakultas filsafat.

“Apabila kita mempekerjakannya di perusahaan ini, aku yakin bahwa ia tidak akan bekerja dengan baik. Justru, ia bakal mempertanyakan: ‘mengapa aku dipekerjakan di bagian ini dan apa urgensinya tugas ini?’ ia begitu kritis.” begitulah, bisik-bisik yang kudengar dari balik ruang HRD.

Penolakan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan membuat pemikiranku tambah liar dan kritis. Suatu waktu, pada penghujung malam, aku tidak dapat tidur, sebab kepalaku ini tidak pernah berhenti bertanya: mengapa Tuhan menurunkanku ke dunia, sedangkan Ia tahu bahwa kehidupanku tidak akan berlangsung makmur dan sejahtera?

Tersebab tidak dapat tidur itulah, aku memutuskan enyah dari rumah. Batang-batang kakiku membawa langkahku berhenti di sebuah pekuburan. Aku tercekat beberapa waktu ketika kepalaku berulah kembali; seandainya aku menjelma orang lain, mungkinkah aku akan menyesal terhadap pemikiranku sendiri?

Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai esensi kehidupan berhasil mencekik leherku. Boleh jadi, aku bakal berhenti bertanya pada diriku sendiri; tentang aku yang mesti dilahirkan? mengapa manusia mesti berkelana di bumi? kenapa aku tidak dapat hidup tanpa nasi? dan, mengapa aku tidak menjadi Tuhan saja yang maha segalanya?

Karena terbebani oleh segala pemikiran kritis itulah, aku tidak pernah hidup tenang. Aku tak pernah bisa berhenti berpikir dan mungkin saja, jalan satu-satunya yang mesti kulakukan ialah memenggal kepalaku sendiri, lantas menguburkannya. ***

Madiun—Desember, 2019

 

Hendy Pratama, lahir dan bermukim di Madiun. Heliofilia merupakan buku kumpulan cerita pendek perdananya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *