Laman Ensiklopedia Sastra Indonesia, mengabarkan bahwa [1]: Goenawan Mohamad, adalah Sastrawan ternama Indonesia sebagai penyair sekaligus esais yang lahir di Batang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Juli 1941.
Setelah lulus SMA, Goenawan Mohamad, menempuh pendidikan di berbagai Universitas, diantaranya di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, tahun 1960—1964. Pada tahun 1965/1966 ia kuliah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan di College d’Europe, Brugge, Belgia. Pada tahun 1966 ia berkuliah di Universitas Oslo, Norwegia, dan pada tahun 1989/1990 kuliah lagi di Universitas Harvard.
Pertama kali menulis ketika berada di bangku SMA, kabarnya sampai saat ini masih produktif menulis. Dia menulis Puisi, dan atau esai. Tulisan esainya banyak dimuat di kolom Catatan Pinggir Tempo. Hal ini makin memantabkan dirinya sebagai esais terkemuka secara Nasional.
Beberapa penghargaan yang telah diterimanya, antara lain: pada tahun 1992 Goenawan Mohamad menerima Penghargaan A. Teeuw di Leiden, dan pada 14 Agustus 2004 Freedom Institute memberikan Penghargaan Achmad Bakrie 2004
Ada pun karya Puisinya, tentu banyak berserakan dimuat di berbagai laman di internet, dan sudah siap untuk dinikmati, satu diantaranya tayang di Kumpulan Puisi Kompas, seperti di bawah ini [2]:
Di Sebuah Ladang
Malaikat yang belum bernama
menghempaskan sayapnya yang berat
ke ladang itu.
Sedetik kemudian sunyi jadi besi.
Tapi dua teriak anak
menembusnya –
tujuh kitiran kertas berjatuhan dari bendul jendela,
mungkin tanda yang mereka pasang
untuk ibu yang tak pulang setahun lalu
lari dari malam yang tuli,
sunyi yang besi, hitam yang rata,
di atas dusun –
Berikan kembali
kitiran kami.
Berikan kembali
kitiran kami.
Kulihat malaikat itu menutup matanya.
Ayo, nak, teriak lagi, kataku.
Tapi mereka diam.
Tak ada tampaknya yang bisa meminta malaikat itu terbang lagi.
Kulihat ia bertumpu pada pohon jati yang kini hangus.
Hanya bibirnya yang tebal itu bergerak.
”Namaku Nasib,” (aku kira itulah yang dikatakannya)
”tapi aku tak mau kau
memanggilku.”
2018
MENIKMATI PUISI /DI SEBUAH LADANG/
- Jelajah Judul
Puisi yang berjudul /Di Sebuah Ladang/ karya Goenawan Mohamad, di atas, berangka tahun 2018, menandakan ditulis di jaman milenial, meskipun Penyairnya bukan anak mileniel, bahkan cenderung sudah sangat senior.
Selanjutnya untuk memudahkan jalan penikmatan puisi, dirasa memerlukan penanda angka pada masing masing bait, dan barisnya. Sehinggga Puisi di atas bisa disusun menjadi susunan bernomor urut pada bait, dan atau barisnya seperti di bawah ini.
Di Sebuah Ladang
1/
Malaikat yang belum bernama (1)
menghempaskan sayapnya yang berat (2)
ke ladang itu (3)
2/
Sedetik kemudian sunyi jadi besi (1)
3/
Tapi dua teriak anak (1)
menembusnya – (2)
tujuh kitiran kertas berjatuhan dari bendul jendela, (3)
mungkin tanda yang mereka pasang (4)
untuk ibu yang tak pulang setahun lalu (5)
lari dari malam yang tuli,(6)
sunyi yang besi, hitam yang rata,(7)
di atas dusun –(8)
4/
Berikan kembali (1)
kitiran kami.(2)
Berikan kembali (3)
kitiran kami.(4)
5/
Kulihat malaikat itu menutup matanya.(1)
6/
Ayo, nak, teriak lagi, kataku.(1)
7/
Tapi mereka diam (1)
8/
Tak ada tampaknya yang bisa meminta malaikat itu terbang lagi.(1)
Kulihat ia bertumpu pada pohon jati yang kini hangus.(2)
Hanya bibirnya yang tebal itu bergerak.(3)
”Namaku Nasib,” (aku kira itulah yang dikatakannya) (4)
”tapi aku tak mau kau (5)
memanggilku.” (6)
2018
Puisi di atas adalah satu diantara puisi besutan Penyair Goenawan Mohamad.
Sang Penyair mengawali puisinya dengan judul /Di Sebuah Ladang/.
Diksi /Ladang/ akan memicu persepsi yang bisa membedakan antara: Ladang, Sawah, dan Kebun. Meskipun berbeda, diksi diksi tersebut mempunyai fungsi makna yang hampir sama, yakni sebagai diksi yang menyatakan suatu kawasan untuk menanam banyak tanaman, sekaligus tempat musim panen tiba.
Yang jelas di kawasan tersebut juga menunjukkan bahwa waktu panen pada umumnya berbeda dengan masa tanam.
Ibarat akan memasuki suatu kawasan penting ranah puisi, judul puisi merupakan papan nama kawasan yang biasanya mampu menjelaskan secara abstrak pada pembaca judul: apa saja yang ada di dalamnya. Namun demikian mungkin tersebab adanya semacam kemandirian sekaligus keleluasaan penyair dalam berkarya, yang sering dikenal dengan istilah kebebasan Penyair “esensia poetica” [3], maka kadang pembaca puisi tidak serta merta bisa langsung paham, apa maunya Sang Penyair ketika memilih judul tersebut. Di sisi lain, pembaca pun juga memiliki otoritas atas dirinya sendiri dalam menikmati atau pun menafsiri puisi, tanpa harus sejalan dengan apa dan bagaimana maunya Penyair [4].
Disamping itu, terkait judul puisi di atas, memang hampir tidak bisa diduga, dan terkesan masih misteri, apa yang menjadi latar belakang, dan mengapa Sang Penyair lebih memilih diksi /Ladang/ daripada Sawah, atau Kebun sebagai judul puisinya, apalagi penulis sebagai penikmat puisi belum menemukan jawaban dari mesin pencari di internet, tentang misteri tersebut.
Sebagai langkah praktis, maka untuk mendapatkan jawaban pertanyaan terkait misteri latar belakang pemilihan diksi dari Judul di atas, bagaimana kalau diteruskan memasuki batang tubuh puisi, siapa tahu misteri tersebut bisa diungkap meski hanya sedikit, atau bahkan bisa sebanyak-banyaknya.
- Jelajah Batang tubuh Puisi
Batang tubuh puisi yang berjudul /Di Sebuah Ladang/. Terdiri dari 8 bait. Masing-masing bait berisi jumlah baris berbeda-beda: ada yang satu baris, ada juga yang sampai 8 baris.
Bait 1/ dimulai dengan diksi yang terasa menghadirkan suasana transenden.
Sang Penyair telah memilih simbol spiritual dalam bait puisinya, yaitu /malaikat/. Tentu pilihan diksi ini semakin mengentalkan aroma misteri bagi pembaca: bagaimana dan dari mana bisa menelusuri nikmat misterinya.
Sebab baru sampai di pintu gerbang puisinya saja, sudah dihadapkan pada ranah spiritual yang seolah mengandung aura sakral sebagai penghalang yang penuh dengan laku kekhususan, bahkan bisa menjadi penyebab bahwa tidak semua orang berhasrat untuk menikmatinya. Atau dengan kata lain, hanya orang orang khusus yang bisa dan mau memasuki batang tubuh puisi tersebut. Sepertinya perlu pemicu tersendiri untuk memulai menikmati puisi besutan Penyair Goenawan Mohamad ini.
- Diksi Malaikat: Makna sesungguhnya ataukah hanya metafora?
Sebagai langkah pemantik mula untuk menikmati puisi, maka baris (1), (2), (3) bisa disusun menjadi satu kesatuan kalimat, yaitu: Malaikat yang belum bernama(1) menghempaskan sayapnya yang berat (2) ke ladang itu (3).
Satu kesatuan kalimat ini bisa ditulis menjadi:
Malaikat menghempaskan sayapnya ke ladang itu.
Kalimat ini menjadi semacam berita tentang malaikat, mengandung susunan kalimat lengkap yang terdiri dari [5]: Subyek, Predikat, Obyek, dan Keterangan Tempat.
Kaidah penulisan sebagai kalimat lengkap memang sudah terpenuhi, tetapi di sisi lain, isi substansi dari kalimat tersebut, yang terkait /malaikat/, masih perlu dipahami lebih lanjut. Pada umumnya terutama di kalangan kaum beragama, khususnya Islam, sebagian besar meyakini bahwa malaikat adalah mahluk gaib ciptaan Allah SWT, yang tidak bisa diindra oleh manusia. Namun demikian jika malaikat diperintahkan oleh Allah SWT untuk menjelma menjadi manusia, atau wujud lain untuk menemui manusia, maka manusia itu pun bisa mengindra malaikat tersebut, misalnya ketika malaikat bertemu dengan manusia Utusan Allah SWT [6,7]. Oleh karena itu isi substansi dari kalimat itu akan menimbulkan beberapa pertanyaan, misalnya:
- Bagaimana sebab lahirnya kalimat tersebut sehingga Sang Penyair berani menyampaikan berita terkait malaikat yang gaib ke publik melalui media puisi?
- Apakah Sang Penyair sudah menyaksikan langsung melalui indrawinya, ataukah hanya berupa pikir, yang kemudian dituliskan?
Tentu akan banyak lagi pertanyaan turunannya jika dikaitkan dengan isi dari satu kesatuan kalimat: Malaikat menghempaskan sayapnya ke ladang itu.
Apalagi jika diyakini bahwa malaikat terbuat dari cahaya [7]. Keyakinan ini akan membawa kepada logika sederhana bahwa jika pun /malaikat menghempaskan sayapnya ke ladang itu/, tidak akan menimbulkan reaksi fisik mekanik yang berbahaya semata, tetapi justru bisa bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.
Sama-sama mengandung unsur cahaya, mestinya juga bisa seperti sinar matahari yang menghunjam ke bumi, kemudian memantul menjadi cahaya terang bagi sekitarnya, dan membawa energi utama yang bermanfaat untuk kehidupan: manusia, binatang, dan tumbuhan [8]. Meskipun kadang menghasilkan kemarau panjang, atau panas berlebih bagi sebagian kawasan di bumi. Namun demikian, rata-rata sinar matahari lebih banyak bermanfaat di bumi, daripada tingkat bahayanya.
Karena diyakini oleh sebagian manusia, khususnya yang beragama islam bahwa malaikat terbuat dari cahaya, dan cahaya sampai saat ini masih diperdebatkan oleh para ilmuan, terutama mengenai kandungan cahaya: sejatinya cahaya itu termasuk materi atau bukan? Jika dianggap sebagai materi, ternyata keberadaan cahaya tidak membutuhkan ruang, dan cahaya pun tidak memiliki massa yang bisa ditimbang.
Oleh karena itu adanya cahaya di suatu tempat juga tidak menimbulkan suara.
Ada tidaknya suara tidak menjamin ada tidaknya cahaya. Sebab sumber suara bukanlah cahaya, tetapi lebih kepada benda getar yang getarannya dirambatkan oleh media rambat suara, misal udara, sehingga timbul suara, dan diterima oleh penerima suara, misal telinga [9]. Dapat dikatakan bahwa datang atau pun perginya cahaya tidak akan menimbulkan suara.
Jika penikmat puisi sudah meninggalkan bait 1/, kemudian memasuki bait 2/, akan merasakan adanya logika yang janggal, dengan adanya berita di baris (1) bait 2/, yaitu: /Sedetik kemudian sunyi jadi besi (1)/.
Sebelum memasuki bait 2/ lebih lanjut, Si Penikmat puisi bisa kembali pada dua pertanyaan di atas, bahwa jawabannya akan sulit didapatkan, jika hanya mengacu pada teks yang tersedia, terlebih setelah diketahui bahwa: makna, logika, rasa terkait sosok /malaikat/ adalah termasuk mahluk gaib, dan tidak terindra oleh manusia kecuali seijin Allah SWT, seperti para manusia utusan Allah SWT.
Dari uraian di atas, dapat dimaklumi jika Si Penikmat akan memandang bahwa sosok /malaikat/ lirik yang ada di bait 1/ hanyalah berupa ungkapan metafora, dan bukan sosok malaikat dalam arti yang sesungguhnya.
- /sunyi jadi besi/ bagaimana bisa terjadi?
Kembali pada baris (1) di bait 2/, yaitu: Sedetik kemudian sunyi jadi besi (1).
Jika baris (1) dipandang sebagai rangkaian peristiwa dari berita di bait 1/, maka ada sedikit aroma penguatan tentang suasana /sunyi/. Sebab seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa datang atau pun perginya cahaya tidak akan menimbulkan suara, dalam arti suasananya tetap sunyi. Dengan logika yang sama dapat dikatakan bahwa ada atau tidak adanya Malaikat yang menghempaskan sayapnya ke ladang itu, suasana tetap sepi-sepi saja, sampai sepi itu seolah menjadi besi, yang diam-diam sudah berkarat, kemudian meluruh terurai kembali menjadi bijih besi, yang siap bertaburan menjadi debu di atas bumi, semakin sepi, senyap, dan sunyi. Namun demikian ternyata suasana sepi yang membesi menjadi ramai dengan datangnya teriakan yang menembus sepi, seperti terungkap di bait 3/.
Sebagai langkah pendalaman paham akan: makna, logika, dan rasa,maka baris di bait 3/, disusun menjadi satu kesatuan kalimat di bawah ini, yaitu:
Tapi dua teriak anak (1) menembusnya – (2). tujuh kitiran kertas berjatuhan dari bendul jendela(3), mungkin tanda yang mereka pasang (4), untuk ibu yang tak pulang setahun lalu (5), lari dari malam yang tuli(6), sunyi yang besi, hitam yang rata(7), di atas dusun –(8).
Satu kesatuan kalimat di atas, bisa mengandung: makna, logika, dan rasa yang terkait dengan: pikiran, sikap, dan tindakan sosok /anak/ lirik yang mampu berteriak sampai menembus /sunyi/ yang menjadi /besi/.
Jika bait 3/ dipandang sebagai kelanjutan dari bait 1/ dan 2/ maka menjadi tidak mengherankan kalau dikatakan: masih terdapat hubungan erat antara diksi /malaikat/ di bait 1/, diksi /sunyi / di bait 2/, dan diksi /anak/ di bait 3/.
Ketiga diksi ini berpotensi mempunyai nuansa intertekstual antar bait, sehingga Si Penikmat puisi pun akan mampu memahami hubungan antar bait bait tersebut [10].
Sosok /Malaikat/ bagi yang meyakininya, paham bahwa malaikat sebagai mahluk suci tanpa dosa, dan /anak/ pun demikian adanya sebagian keyakinan memandang bahwa /anak/ sebagai sosok yang masih belum terkena sangsi dosa.
Jadi kedua mahluk ini dipandang sebagai sosok yang diyakini tanpa dosa.
Begitu juga keduanya, bisa diyakini menyukai sepi yang membesi. Kecuali khususnya bagi si /anak/ jika terganggu oleh pihak lain, misalnya ada yang mengganggu barang mainan, seperti kitiran kertasnya yang berjatuhan dari tempatnya. Ditambah dengan ibunya yang tak kunjung tiba, sudah setahun lamanya tidak pulang ke dusun tempatnya tinggal. Si /anak/ pun akan berteriak mengadukan nasibnya, tetapi entah kepada siapa harus mengadu, jika tanpa orang tua di dekatnya, hal ini seperti yang diberitakan pada isi sajak di bait 3/ di semua barisnya.
- Mengapa bukan mainan anak milenial
Sebagai langkah praktis dalam menikmati bait selanjutnya adalah dengan cara menyusun bait ke 4/ menjadi:
Berikan kembali(1) kitiran kami(2). Berikan kembali(3) kitiran kami(4).
Baris (3), dan (4) kalimatnya merupakan pengulangan dari baris (1) dan (2). Pengulangan diksi ini, bisa jadi sebagai upaya menguatkan: makna, dan rasa dari keluhan sosok /anak/ lirik, karena tujuh mainan kitiran kertasnya berjatuhan dari bendul atau rangka jendela, seperti dikabarkan di bait 3/.
Mainan yang berupa kitiran menandakan bahwa sosok /anak/ lirik masih menggemari mainan kitiran atau kincir angin, atau baling baling yang terbuat dari kertas. Mainan jenis ini bisa menjadi simbol hadirnya tanda-tanda masyarakat tradisional di dusun tempat tinggal dari sosok /anak/ lirik.
Padahal menurut angka tahun di bawah batang tubuh puisi, tertulis 2018.
Tentu bisa dikatakan bahwa angka tahun 2018 ini sudah termasuk berada di jaman milenial. Biasanya anak-anak di tahun milenial, dari kota sampai ke dusun sekali pun, cenderung memiliki mainan yang kental dengan teknologi, semisal: mobil-mobilan dengan kontrol otomatis, atau bermain game online yang ada di telpon genggam. Rupa-rupanya Sang Penyair, dari bait 1/ sampai dengan bait ke 4/ sama sekali tidak memanfaatkan sentuhan diksi kekinian dalam menyusun kata-kata di dalam puisinya. Justru lebih memilih diksi yang terkesan terjebak pada diksi gaya puisi lama, semisal seperti nuansa puisi puisi tahun 1970-an.
Seandainya tidak terdapat angka tahun, boleh jadi puisi tersebut bisa diduga oleh pembaca sebagai puisi tahun 1970-an, atau paling baru sekitar tahun 1980-an.
Gaya diksi Puisi sebelum masuk jaman milenial.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabnya mungkin karena Sang Penyair sudah termasuk generasi sangat senior, yang memungkinkan pilihan diksinya kembali ke masa kejayaan ketika masih relatif berusia muda.
Fenomena ketiadaan tanda-tanda diksi jaman milenial di Puisi /Di Sebuah Ladang/ besutan Goenawan Mohamad ini, semakin diperkuat manakala penikmat puisi berhasil menelusuri aroma nikmat di bait selanjutnya yaitu bait 5/, 6/, dan 7/ yang mengabarkan tentang sosok lirik yaitu /Ku/, /malaikat/, /nak/, dan /mereka/.
Kabar di bait 5/, 6/, dan 7/ ini dapat dirangkai menjadi:
5/ Kulihat malaikat itu menutup matanya(1).
6/ Ayo, nak, teriak lagi, kataku(1).
7/ Tapi mereka diam (1).
Di bait 5/, 6/, dan 7/ memang terkesan tidak ada kata-kata yang menunjukkan adanya diksi jaman kekinian di jaman milenial, tetapi justru kembali pada diksi yang sama sekali tidak ada bedanya dengan diksi puisi masa lampau di tahun 1980-an. Pada tahun 1980-an ini hampir tidak ada sentuhan diksi yang terkait dengan kosa kata saat ini. Ada pun kosa kata saat ini yang relatif bisa menandai jaman milenial, misalnya: Pulsa, Kuota, Kecerdasan buatan, Teknologi aplikasi, dan Toko Online.
Dari bait 5/, 6/, dan 7/ juga belum bisa memastikan apa saja hubungan antar sosok lirik yang ditulis di bait-bait tersebut. Aroma penyampaian komunikasi sajak di bait tersebut cenderung seperti hasil liputan seorang wartawan yang diawetkan beritanya dalam bentuk puisi. Kemudian timbul pertanyaan:
- “Apakah sosok /Ku/ lirik bisa dipandang mewakili Sang Penyair, atau sosok lain hasil dari pengamatan Penyair?”
- Begitu juga: “Apakah sosok lirik, semisal: /malaikat/, /nak/, dan /mereka/. Adalah benar-benar ada dan berinteraksi dengan Sang Penyair, ataukah hanya sosok rekaan berita dari Sang Penyair, yang ditulis dalam gaya Puisi?”
Pertanyaan a). dan b). tidak mudah untuk menjawabnya, jika hanya berbekal dari membaca satu judul puisi karya Sang Penyair, tentu perlu sumber berita dari Puisi-puisinya yang lain, sehingga telisik intertekstual antar puisi bisa diusahakan [11]. Apabila telisik makna, logika dan rasa antar beberapa puisi karya Penyair yang sama, belum bisa dilakukan, minimal dilakukan telisik intertekstual antara satu bait dan baris dengan bait dan baris lainnya di dalam satu batang tubuh puisi.
Oleh karena itu langkah menikmati puisi dirasa perlu melanjutkan sampai di bait terakhir, yakni bait ke 8/. Bait 8/ berisi 6 baris yang bisa disusun seperti susunan semula, seperti di bawah ini.
Tak ada tampaknya yang bisa meminta malaikat itu terbang lagi.(1)
Kulihat ia bertumpu pada pohon jati yang kini hangus.(2)
Hanya bibirnya yang tebal itu bergerak.(3)
”Namaku Nasib,” (aku kira itulah yang dikatakannya) (4)
”tapi aku tak mau kau (5)
memanggilku.” (6)
Bait 8/ Sang Penyair kembali menampilkan sosok lirik, antara lain: /malaikat/, /Ku/, /nya/, /ku/, dan /kau/. Dari cara bertutur Penyair di bait 8/ dapat dirasakan adanya hubungan saling lepas antar sosok lirik, seolah seperti hubungan antara wartawan dengan naskah beritanya. Tanpa opini pribadi Sang Penyair, seolah beberapa sosok lirik tersebut bukan bagian dari Sang Penyair. Terutama ketika Sang Penyair mengulang untuk kedua kalinya menampilkan diksi sosok lirik /malaikat/.
Padahal sudah diuraikan di atas, bahwa malaikat ini adalah mahluk gaib yang tak mungkin bisa diindra oleh manusia, tanpa seijin Allah SWT. Namun dekimian apabila diksi /malaikat/ ini dianggap sebagai metafora atas subyek tertentu, masih bisa dimaklumi, apalagi jika ditafsirkan bahwa baris (4) di bait 8/ dipandang merupakan tafsir intertekstual atas metafora diksi /malaikat/ yang belum punya nama seperti diberitakan di bait 1/ baris (1): /Malaikat yang belum bernama (1)/.
Jadi metafora diksi /malaikat yang belum bernama/ tersebut berkesebandingan dengan lambang Nasib seseorang. Hal ini diperkuat melalui baris ke (4) di bait 8/, yaitu: /”Namaku Nasib,” (aku kira itulah yang dikatakannya) (4)/.
- Selayang rasa
Begitulah, kira kira telusur rasa dalam menikmati puisi /Di Sebuah Ladang/ besutan Penyair Goenawan Mohamad/. Telusur ini melibatkan: logika, makna, dan rasa, yang kadang bisa memerlukan waktu cepat, kadang juga dunia terasa lambat.
Karena bagaimana pun agak sulit untuk membebaskan emosional pribadi atas telisik puisi dari mulai judul, bait sampai ke baris terakhir.
Namun demikian ternyata masih bisa diselesaikan sekadar sebisanya oleh penulis sebagai si penikmat puisi.
Selamat menikmati puisi /Di Sebuah Ladang/ besutan Penyair Goenawan Mohamad.
DAFTAR PUSTAKA
- Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Goenawan_Mohamad |
- Kumpulan Puisi Kompas – Puisi Goenawan Mohamad, https://puisikompas.wordpress.com/2018/12/01/puisi-goenawan-mohamad-3/#more-787
- Asna Ntelu, Ellyana Hinta, Yelin Yasin, Supriyadi, 2020, Bahasa figuratif dalam puisi-puisi karya Chairil Anwar, AKSARA: Jurnal Bahasa dan Sastra 21:1 (2020), 41 – 56. DOI: dx.doi.org/10.23960/aksara/v21i1.pp41-56, P-ISSN: 1411-2051 / E-ISSN: 2620-3928, Universitas Lampung, http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php
- Fadhil Rafi’ Uddin, 2019, Rahim Ayat, Sebagai Umat Saya Menggugat, Genta FKIP Universitas Jambi, 22 November 2019, https://genta.fkip.unja.ac.id/2019/11/22/rahim-ayat-sebagai-umat-saya-menggugat/
- R. Kunjana Rahardi, M. Hum, 2010, KALIMAT BAKU UNTUK MENYUSUN KARYA TULIS ILMIAH, Buku pendamping referensi-referensi metodologi penelitian unhk para mahasiswa, karyasiswa dosen, peneliti, dan penulis pada umumnya, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, https://people.usd.ac.id/~dosen/repository/kunjana/kalimat.pdf
- Eqviesta Runtun Pamungkas, Rosyada Ayu Fatimah, Ibnu Mahmuda, 2021, MAKHLUK GHOIB DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM. Jurnal Studi Islam Lintas Negara, Vol.3 No.2 Desember 2021
- Mulyana Abdullah, 2018, MENELADANI SIFAT-SIFAT MALAIKAT ALLAH SEBAGAI BENTUK MENGIMANI ADANYA MALAIKAT, Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 16 No. 2 – 2018
- Okta Dewi Tryshita Rahmadani, 2024, MATAHARI SEBAGAI SUMBER ENERGI UTAMA KEHIDUPAN SERTA PEMANFAATAN ENERGI MATAHARI , Kohesi: Jurnal Multidisiplin Saintek, Volume 3 No 7 Tahun 2024, Hal 1-10, https://doi.org/10.3785/kohesi.v3i7.3763
- Irnin Agustina Dwi Astuti, Pengembangan Alat Eksperimen Cepat Rambat Bunyi Dalam Medium Udara Dengan Menggunakan Metode Time Of Flight (TOF) Dan Berbantuan Software Audacity, Unnes Physics Education Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/upej
- Sari Wahyu Utami, 2017, Analisis Intertekstual Puisi Berjudul Dans L’ombre (1870)Karya Victor Hugo Dan Puisi Berjudul Le Déluge (1874) Karya Louise Ackermann, Skrisi Program Studi Pendidikan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, http://eprints.uny.ac.id/51120/1/SKRIPSI%20%20SARI.pdf
- Septoriana Maria Nino, 2020, Intertekstualitas Puisi “Di Jembatan Mirabeau” karya Agus R. Sarjono dan Le Pont Mirabeau karya Guillaume Apollinaire, NUSA, Vol. 15 No, 3 Agustus 2020, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/issue/view/2925
Rumpin, 21 Oktober 2024
Penulis: Atik Bintoro, atau dikenal juga sebagai Kek Atek
Penikmat Puisi tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek
sami sami, hatur nuhun