Belakangan ini pembicaraan tentang radikalisme kembali menghangat, setidaknya di kelompok-kelompok percakapan daring semacam Whatsapp, setelah ditemukannya–lagi–buku pelajaran tematik terpadu Kurikulum 2013 kelas V SD/MI (edisi 2017) di beberapa sekolah dasar, di mana dalam buku tersebut muncul penggunaan istilah radikal yang dirasa kurang tepat. Menanggapi temuan tersebut, pihak kepolisian setempat pun segera memberi himbauan agar buku tersebut ditarik dan diganti dengan edisi revisi (2018) yang tidak lagi memuat istilah radikal. Berikut kutipan penggunaan istilah radikal di dalam buku tersebut sebagaimana dimuat dalam salah satu tulisan di NU Online, Sikap PBNU Terkait Buku Pelajaran yang Kaburkan Karakter Perjuangan NU:

Masa Awal Radikal (tahun 1920-1927-an). Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah pada abad ke-20 disebut masa radikal karena pergerakan-pergerakan nasional pada masa ini bersifat radikal/keras terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka menggunakan asas nonkoperatif/tidak mau bekerja sama. Organisasi-organisasi yang bersifat radikal adalah Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

[iklan]

Bukan tanpa sebab  NU menurunkan tulisan di situs resminya tersebut. Sebagai salah satu organisasi yang dicatut namanya, NU agaknya merasa keberatan sebagaimana dapat kita baca dari judul tulisan dan juga isi di dalamnya di mana disebutkan bahwa istilah radikal yang digunakan di buku tersebut bisa menimbulkan kesalahpahaman para peserta didik di sekolah terhadap Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Potensi mudharat yang ditimbulkan pun sangat besar. Organisasi radikal belakangan identik dengan organisasi yang melawan dan merongrong pemerintah, melakukan tindakan-tindakan radikal, menyebarkan teror dan lain sebagainya. Pemahaman seperti ini akan berbahaya, terutama jika diajarkan kepada siswa-siswi.

Radikalisme dan Terorisme

Apa yang disampaikan oleh NU dan juga sikap pihak kepolisian di atas, saya rasa wajar adanya, jika menilik pada pemahamanan umum tentang radikalisme (saat ini) di mana radikalisme dianggap sama berbahayanya dengan terorisme. Namun, apakah sebenarnya radikalisme itu? Benarkah ia begitu menyeramkan sehingga banyak pihak merasa takut distigmakan terhadapnya?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi daring disebutkan bahwa “radikal” sebagai kata sifat mempunyai tiga arti yaitu 1 secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) 2 amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan) 3 maju dalam berpikir atau bertindak. Sementara dalam Wikipedia Indonesia disebutkan bahwa “Radikalisme” yang berasal dari bahasa Latin radix yang berarti “akar” adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal yang dimulai di Britania Raya guna meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu “radikalisme” historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif. Masih dalam Wikipedia Indonesia, kata “radikal” dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan “reformasi radikal” sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen. Dalam tulisan Bung Karno yang diterbitkannya pada tahun 1933, Mentjapai Indonesia Merdeka, ia yang kelak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama, bahkan menyebutkan, “Di antara obor-obornja pelbagai partai jang masing-masing mengaku mau menjuluhi perdjalanan rakjat, massa lantas melihat hanja satu obor jang terbesar njalanja dan terterang sinarnja, satu obor jang terkemuka djalanja, ja’ni obornja kita punja partai, obornja kita punya radikalisme!”

Namun, beda pengertian yang sebenarnya, beda pula pengertian oleh penguasa. Penguasa memang selalu dapat punya “bahasa”-nya sendiri. Bagi penguasa, radikalime dapat disamakan artinya pula dengan fanatisme, bahkan anarkisme dan terorisme. Dan penguasa di sini tidak terbatas pada mereka yang punya kekuasaan politik namun juga penguasa media. Bung Karno yang dengan yakin mengobarkan obor radikalisme, bagi penguasa Hindia Belanda dianggap sebagai pemberontak. Perjuangan Bung Tomo beserta rakyat Surabaya yang radikal mempertahankan kemerdekaan Indonesia, oleh The New York Times kala itu dinarasikan sebagai “Moslem Fanatics Fight in Surabaya“.

Meski, kekeliruan pemahaman terhadap makna radikalisme, memang tidak sepenuhnya pula menjadi tanggung jawab penguasa dan masyarakat yang mengamininya. Banyak dari para pelaku radikal sendiri kerap melakukan tindakan-tindakan anarkis dan teror demi mencapai tujuannya, seperti yang terjadi belakangan ini. Inilah yang seperti membenarkan stigma yang keliru tentang radikalisme. Toh, menyamakan radikalisme dengan terorisme, tetap saja sama halnya menyamakan semua pejabat itu koruptor atau semua polisi lalu lintas itu tidak benar. Apakah karena kebencian terhadap koruptor dan polantas yang suka bertindak tidak benar, kita membenci pula semua pejabat dan polantas?

Adil Sejak dalam Pikiran

Demikian kiranya. Akhirnya, mengutip Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia (1975), “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Radikalisme, fanatisme, terorisme adalah dikembalikan kepada keadilan kita dalam memahami dan menyikapi segala fenomena yang ada. Salam! (DK)

Referensi:

  • nu.or.id/post/read/102227/sikap-pbnu-terkait-buku-pelajaran-yang-kaburkan-karakter-perjuangan-nu
  • kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikal
  • id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme_(sejarah)
  • en.wikipedia.org/wiki/Sukarno
  • nytimes.com/1945/11/20/archives/moslem-fanatics-fight-in-surabaya-religious-leaders-in-charges.html?searchResultPosition=1
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *