/DI SEBUAH HALTE/ adalah Puisi guritan penyair Izzatul Hikmah. Penyair mengaku sebagai Mahasiswa semester dua di UIN Yogyakarta. Puisi tersebut telah tayang di Jurnal mbludus.com di laman https://mbludus.com/puisi-puisi-izzatul-hikmah/ bersamaan dengan beberapa puisinya, yaitu: KEPADA IBU, DI SEBUAH PINTU KELUAR SEBUAH SUNYI, DI SEBUAH HALTE, MERAYAKAN MIMPI, dan KEPERGIAN,
Puisi /DI SEBUAH HALTE/ berpotensi mempunyai sisi menarik untuk ditelusuri dalam giat menakar misteri, sebab menurut pengalaman dalam penulusuran dan penikmatan batang tubuh beserta isi puisi, boleh dikatakan bahwa: “Tanpa misteri, Puisi tidak akan pernah menjadi puisi”. Akibatnya puisi akan terpajang hanya sebagai rentetan huruf dan atau angka atau tanda tanda lain yang sudah gamblang maknanya, serta cenderung hanya mempunyai arti yang pasti, tak perlu multi persepsi. Padahal misteri, ditambah multi persepsi adalah satu diantara kekuatan puisi, meskipun kadang diungkapkan dengan gaya bahasa yang lugas dan tanpa basa basi.
Adakah misteri di dalam Puisi /DI SEBUAH HALTE/?.
Mari siap siap memindai dan membuka tabir misteri. Adapun puisinya di bawah ini.
DI SEBUAH HALTE
Sepotong waktu dan kecemasan
Dirapikan berkali-kali
Dalam derap langkah
Mantra berputar dalam kebisingan
Bunyi kendaraan menyesaki dada
Sedang di layar
Jadwal bertengkar
Menatap kepergian mematung di halte
Mungkin satu detik, dua detik lagi
Waktu menggadaikan nasib sendiri
Di Puisi di atas tidak ditemukan catatan kapan: tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Meskipun demikian masih berpotensi bisa diterka bahwa puisi tersebut ditulis di masa kekinian. Hal ini bisa diperkirakan melalui tanda tanda kata yang tertuang di bait ke dua di baris pertama dan ke dua. Perkiraan ini pun kemungkinan bisa menjadi semacam percikan cahaya, untuk menjadi penuntun dalam menelusuri misteri puisi. Kedua baris tersebut adalah:
/Sedang di layar/
/Jadwal bertengkar/
Susunan kata /Sedang di layar/ sepertinya bukan jawaban atas pertanyaan: “Sedang di mana?”. Tetapi lebih kepada penjelasan atas adanya suasana berbeda dengan suasana sebelumnya yang berhasil dipotret oleh penyair dan di-abadikan menjadi rentetan kata di bait pertama. Seolah Sang Penyair pernah punya rekam jejak sebagai pengamat, sekaligus wartawan yang berusaha mendiskripsikan dua sisi, yakni satu sisi tentang: situasi, kondisi, pandangan, dan jangkauan di sekitarnya di alam nyata, mungkin sesuai dengan judul puisi, yakni berada /Di Sebuah Halte/. Sedangkan di sisi lain, kemungkinan berada di layar monitor perangkat komunikasi semisal telepon genggam. Hal ini bisa dirasakan ketika membaca kata kata /Jadwal bertengkar/, yang bisa memberi petunjuk pemahaman imajinasi pembaca bahwa pertengkaran itu ada di layar monitor, bukan di dunia nyata di sekitar halte. Barangkali dari logika semacam inilah misteri puisi guritan Penyair Izzatul Hikmah mulai terasa menyergap penikmat puisi. Betapa tidak, halte yang punya pengertian sebagai tempat perhentian kendaraan umum semisal bis kota, dan lokasi untuk naik serta turun penumpang, dijadikan judul sebagai mahkota puisi. Pertanyaan misterinya adalah: apakah kata /Halte/ di judul Puisi ini memang mempunyai arti sebenarnya atau kah berupa majas atau metafora tertentu, semacam tempat pemberhentian: rasa, logika, ataupun makna kehidupan?. Untuk menguak misteri ini, diperlukan sedikit sikap berani menelusuri sisi gelap puisi, dari kata perkata, dan pesan tersembunyi di puisi. Sisi gelap puisi dan pesannya mulai terasa mencekat pikir penikmat pelahan lahan, manakala pandangan mata sampai di bait pertama baris ke satu dan ke dua, yakni pada kata kata:
/Sepotong waktu dan kecemasan/
/Dirapikan berkali-kali/
Kira kira sepotong waktu macam apa, kapan, dan bagaimana yang bisa terfiksikan di alam imajinasi pembaca?. Sebab waktu pada umumnya, kata para ahli, bahwa sampai saat ini, fisik waktu belum bisa di-indra, terutama ketika waktu tersebut sedang bersama ruang dan peristiwa, waktu hanya dapat dirasakan saja. Sedangkan yang mampu di-indra melalui ukuran detik, menit, jam atau pun hari, adalah waktu yang telah berlalu, dan waktu yang akan datang, semisal satu detik yang lewat, atau pun satu jam berikutnya dari sekarang, semua bisa di-indra dengan pengukur waktu, seperti Jam dinding. Sehingga dapat dimengerti bahwa ungkapan kata /Sepotong waktu/ di puisi /Pada Sebuah Halte/ di atas bisa diduga lahir dari pengembaraan misteri yang dipadu padan dengan daya fiksi yang cerdas dari Sang Penyair. Di tangan dan pikir Penyair Izzatul Hikmah ini, waktu seolah bisa menjadi obyek potong serupa benda pejal yang di-iris menjadi beberapa potongan sesuai ukuran dan bentuk yang diperlukan, dan dicampur gaul dengan rasa /kecemasan/, kemudian mampu /Dirapikan berkali-kali/. Rasa misterinya semakin mencekam, ketika timbul tanya kira kira bagaimana merapikan sang /waktu/ /berkali kali/?.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa puisi /Pada Sebuah Halte/ bisa dipastikan ditulis di jaman kekinian, hal ini dapat diketahui melalui semacam isyarat adanya tanda tanda penggunaan kata terkait teknologi terkini, yakni pada kata /layar/ yang bisa ditafsirkan sebagai layar monitor alat komunikasi alias layar telepon genggam. Namun demikian ternyata Sang Penyair juga masih berinteraksi dengan tradisi atau pun budaya masa lalu, yakni dengan menggunakan kata /mantra/ di puisinya. Semangat berinteraksi dengan tradisi masa lalu ini terendus pada baris ke tiga, empat, dan lima di bait pertama. Misteri selanjutnya adalah adanya persembunyian si pelaku lirik dengan memainkan cara ungkap kata kata, hampir semuanya berupa susunan kata, tak satu pun barisnya menggunakan kalimat sempurna semacam susunan: subyek, predikat, obyek, dan keterangan. Sehingga si penikmat puisi diminta memindai secara mandiri, kira kira siapa subyek liriknya: apakah si penyair itu sendiri ataukah ungkapan untuk subyek lain yang merupakan subyek dari hasil pengamatan, misalnya ungkapan pada baris ke tiga di bait ke dua:
/Menatap kepergian mematung di halte/
demikian juga pada baris selanjutnya:
/Mungkin satu detik, dua detik lagi/
/Waktu menggadaikan nasib sendiri/
Di baris di atas timbul tanya: Siapakah yang /menatap kepergian/, dan /mematung di halte/ ?
Untuk menjawabnya secara pasti, tentu tidak mudah, sebab subyek liriknya mungkin sengaja disembunyikan oleh Sang Penyair, atau jangan jangan pelaku liriknya memang Sang Penyair itu sendiri. Semacam mengikuti ungkapan bernada gurauan di masyarakat luas yakni: Tempat persembunyian paling aman bagi pelaku kriminal adalah di kantor polisi, sebab bisa terhindar dari amuk massa yang berpotensi bermain hakim sendiri. Yang pasti menyembunyikan subyek lirik menjadi kadar misteri tersendiri di dalam bait bait puisi bukanlah tindak kriminal, tetapi justru menjadi kekuatan tersendiri bagi puisi. Di sisi lain, Penyair malah memilih /Waktu/ menjadi subyek lirik dari predikat /menggadaikan/, dengan obyek liriknya berupa /nasib sendiri/.
Makin ditelusuri, ternyata semakin menemukan tambahan misteri yang terkandung di makna dan logika puisi. Pertentangan di dalam pikiran menjadi tantangan unik dan menarik, terutama ketika denyut adrenalin berdegup kencang untuk mencari jawab: Siapa gerangan yang menjadi pelaku lirik di sebuah halte?
Selamat berpuisi, dan teruslah berpuisi!
…
Penulis : Kek Atek
Penikmat Puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia.