Puisi itu makhluk gaib. Ia datang sesuka hati, tanpa harus mengetuk pintu. Ia, dengan mudah membuka gerbang pikiran, perasaan dan merespon gerak hidup penulisnya. Makhluk gaib yang bisa saja datang dari kehidupan pribadi, buku-buku bacaan, tontotan dan peristiwa sekitar, obrolan-obrolan ringan hingga diskusi panjang di bangku akademis dan lain-lain. Eddy Pranata menyadari kegaiban puisi, sehingga dalam kehidupan sehari-harinya, ia gelisah, terus gelisah dan semakin gelisah. Terbukti, pada usianya yang ke-58 tahun, Eddy Pranata masih menulis puisi dan menerbitkannya, tercatat buku ini adalah yang ke tujuh kali. Hal seperti ini tentu tidak mudah dilakukan oleh banyak orang, sebab yang namanya makhluk gaib tidak sekadar hadir untuk menunjukan eksistensi dirinya, tetapi ia bisa saja mengganggu, mempermainkan, bahkan merasuki. Dan ketika dirasuki, kesadaran lebih mudah hilang; menjadi kesedihan yang mendalam, kemarahan yang tak terkontrol atau kebahagiaan yang menggila.
Di sini, saya tidak ingin membicarakan apa itu puisi, metafora, diksi, genre puisi, hal seperti itu dengan mudah bisa kita temukan pada kolom pencarian google. Saya hanya ingin membawa peserta peluncuran buku ‘Tembilang’ pada pintu gerbang kreativitas degan pendekatan teks puisi yang ditulis Eddy Pranata, semacam pengantar peluncuran. Selebihnya, untuk mendalami puisi-puisi buku ini, tentu saja peserta mesti membaca satu per satu puisinya. Ya, membaca satu puisi pun, butuh energi yang lebih kuat. Sebab, seperti yang tadi saya ungkapkan, membaca satu puisi, kita akan masuk ke dalam dunia makhluk gaib.
Lalu, apakah kita tidak bisa mengindetifikasi makhluk gaib itu? Tentu saja bisa, sebab puisi yang berupa teks menjadi objek yang dapat kita baca, setiap lariknya akan merangsang daya imaji atau membentuk pola peristiwa, bisa saja semacam gambaran sejarah atau lainnya, untuk itu perlu kiranya menyamakan frekuensi berpikir agar dapat menyentuh ruang makna puisi. Dan apabila frekuensi berpikir sulit tergapai, bisa dengan menyamakan frekuensi rasa; bagaimana setiap kalimatnya menyentuh perasaan sehingga menimbulkan kegelisahan yang sama. Jika itu pun tak tersentuh, bisa dinikmati sebagai mengisi waktu kosong di tengah kesibukan hidup yang semakin tak menentu.
Seperti pada puisi awal di buku ini, berjudul ‘Perjalanan Diri’
Setelah masuk ke dalam diri
seribu peta kubentang dengan terus berzikir
aku hendak ke wilayah mana, butuh waktu berapa lama
naik kereta api atau mobil carteran atau cukup dengan
jalan kaki saja lalu kira-kira tinggal berapa kerlip usia
dari sebuah peta yang lusuh
aku mulai menyusuri jalan setapak
di kiri tebing curam di kanan nganga jurang
berliku-liku hingga sampai pada puncak bukit
tak kutemukan apa-apa selain sipongang
diri yang sunyi
dan angin bukit menderu turun ke lembah
aku buka peta kedua, coklat hambar, beberapa
bagian geripis
: “kuatkan tekadmu, perjalanan tak semudah kau bayangkan!”
aku turun dari bukit ke lembah melewati
rumah-rumah panggung berjarak cukup jauh dari
satu rumah ke rumah lain, kandang-kandang
kambing juga panggung, o rupanya babi hutan
berkeliaran siang malam, aku bersua
dengan wajah-wajah takut dan cemas, o
: “nyanyian hidup melengking ngilu!”
aku merangsek ke utara, setelah membuka peta
kusam lainnya;
tibalah di sebuah kota—sebuah instansi pemerintah,
kepala kantor berkongkalikong dengan pejabat
pengadaan barang/jasa dan penyedia barang/jasa,
alangkah rapih menyusun administrasi
agar tidak terendus petugas pemberantasan korupsi—
aku muntah-muntah, tanganku gemetar memegang peta-
peta yang akan membawa langkahku ke berbagai arah,
ke kota-kota dan dusun-dusun,
ke bukit dan pantai tetapi hati-jiwaku
bergemeretak; rahasia tersimpan dalam lembar-
lembar peta
aku terkesima, kubuka peta ke-999—
dari markas jaspinka
(jaringan sastra pinggir kali) cirebah,
banyumas barat kulihat nyaris seluruh dunia
terjangkit pagebluk covid 19, setiap hari
nyawa melayang, rumah sakit penuh pasien,
gedung-gedung wisma-wisma hotel-hotel disulap jadi
tempat isolasi/pengobatan positif covid 19,
vaksin didatangkan dari luar negeri
tetapi kematian tak kunjung berhenti
akhirnya dari lembar peta keseribu,
kuikuti lorong yang berliku,
lorong serupa labirin yang dingin dan senyap,
pintu maut membuka-menutup,
batang usia merapuh, aku berserah
kepada yang mahakuat-mahaberdiri,
dan pada mahasuci: baris-baris puisi!
Pada puisi ini, frekuensi berpikir, rasa, bisa kita samakan sehingga dapat menemukan seorang tokoh melakukan perjalanan secara fisik maupun batin. Bisa jadi, Eddy sedang membicarakan dirinya sendiri sebagai tokoh anak kecil yang hidup di lingkaran pedesaan dengan bukit dan lembah, pelosok yang diliputi kegetiran hidup meskipun gambaran tempatnya terkesan hijau dan indah. Lalu, setelah dewasa ia mesti ke kota atau ke tanah sebrang yang lebih ramai mencari kehidupan yang baru, bekerja, bertemu dengan kertas-kertas kantor dan kebohongan yang berlawanan dengan hati nuraninya, namun ia tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menyimpan sebagai rahasia. Dan, pada akhirnya ia berada di zaman sekarang, pandemi covid 19. Tak bisa ia melakukan hal yang lebih jauh, selain menunggu keabadian menjemput sambil menulis puisi.
Perjalanan demi perjalanan pun semakin terasa pada puisi-puisi Eddy Pranata, ada gejolak batin yang terus bercampur dengan peristiwa nyata dalam kehidupan ini, namun ia tidak ingin menyerah. Misalkan pada larik puisi ‘Gerimis Senja’ lalu hujan menderas, engkau lewati jalan/ berkelok-liku, berbatu-batu, rindumu pecah basah/ pengkhianatan serupa dinding karang engkau runtuhkan/ : ‘entah hingga kapan perih ini, pertarungan harus dilanjutkan!’. Kenyataan-kenyataan pahit, getir, hening memang menyelimuti nuansa puisi-puisi Eddy pada buku ini. Ingatan-ingatan pada masa lalu, seolah memberikan energi untuk tetap bertahan di masa sekarang, dan puisi senjata paling ampuh sebagai obat bagi kenangan-kenangan itu, ini terbaca dalam puisi ‘Stasiun’.
engkau bisa melupakan masa lalu, tapi tidak pada
derit ngilu rel ketika meninggalkan stasiun
pada malam yang gerimis
stasiun telah sangat jauh ditinggalkan
dan kota-kota, sawah-sawah, ladang-ladang terlewati
segeralah ke candi; setelah kau kecup keningnya
ukirlah inisial namamu dan namanya
di sela relief, akan menyala cahaya dari dada
cahaya yang menjadi saksi sepanjang zaman
: “gerimis di awal januari,” bisikmu
“serupa dawai rindu menusuk kalbu!”
lalu engkau bercermin begitu lama, wajah kian menua
dari dalam sorot matamu ada lambai tangan maut
sedangkan stasiun telah begitu dingin dan beku
tanganmu gemetar dan, o entah mengapa kau pecah
cermin
Membaca puisinya, membuat saya curiga, mungkinkah Eddy Pranata sedang menciptakan puisi-puisi wasiat disela usianya yang senja. Sebab, hampir semua puisi-puisinya menawarkan ruang tafsir pada peristiwa kematian, pada perjalanan yang ingin ia akhiri, dan seolah mengingatkan bahwa hidup ini bukanlah keabadian. Ia menciptakan tokoh-tokoh imajinatif yang merepresentasikan tokoh nyata dalam kehidupannya, bisa jadi tokoh-tokoh itu adalah orang-orang terdekat, atau orang lain yang ditemui hanya lewat namun memiliki kesan yang dalam bagi dirinya. Ya, bukankah puisi juga adalah sebuah produk kreatif dari kepekaan penyairnya menjalani kehidupan.
Simaklah, pada puisi ‘Cerita Kecil’.
ini pagi, chin, tak ada rekah mawar
tak ada suara burung
hanya cerita kecil tentang kerinduan
musafir yang kehilangan seluruh alamat
perjalanan berliku menuju hati-Nya
yang senantiasa menyala
tetapi pedih, chin, sembilu mengiris
segala yang tumbuh di batu sunyi
di seberang laut jauh kau bangun rumah
dari pecahan pelangi
dalam rumah engkau ternak kupu-kupu
di dinding-dinding kau tuliskan
suara-jiwamu yang retak
: “datanglah chin, ini rindu berkarat
peluk sehabis-habis peluk!”
di rawa-rawa dekat rumahmu
tak ada sungai, tak ada rumpun bambu
tak ada sesuatu membuat bahagia
kemarilah, engkau bisa mendengar kicau burung,
embun mengapung,
kecipak air membentur batu-batu dan rumpun bambu,
dan di palung sungai ikan kecil menari,
juga tupai berdencir-dencir di atas pohon kelapa
ulurkan jiwamu, bukankah engkau, chin, suka puisi-
puisi sederhanaku?
Tokoh chin, pada puisi ini seolah menggambarkan seseorang yang jauh tak terjangkau, namun berkelabatan pada setiap langkah penyairnya. Ada gambaran peristiwa bergumul dengan cerita-cerita masa lalu. Akan tetapi, berbeda dengan tokoh lainnya di puisi ‘Tembilang’ yang menjadi judul utama buku ini.
dan air sungai kecil di bawah rumah hatimu
kian bening kian membuat rindu
gemericik di sela bebatuan dan rumpun bambu
serupa desah kehidupan penuh cinta
penuh pukau sesekali ngilu
o, weisku, diam-diam ia masuk ke rumah hatimu
engkau senantiasa mengalah dan mengalah
“tembilang saja yang memisahkan,” gumam weisku
sorot matanya lindap, bibirnya bergetar-getar
: “sudah bertahun-tahun aku tahankan perih ini
senyap ini; lapar ini dan engkau kian menjadi-jadi”
sepertinya engkau harus memilih jalan lain; bukan
tembilang tapi kenyataan pahitlah yang harus
membuat bijaksana
: “kepergian adalah jalan sunyi yang panjang!”
Tokoh weisku, sangat dekat, seolah selalu mengiringi hari-harinya. Meskipun kedua tokoh itu (chin dan weisku), berada pada perasaan yang sama, akan tetapi keberpihakan Eddy kepada weisku tergambar pada larik tembilang saja yang menisahkan. Ya, jika dimaknai sesuai pengantar pada buku ini yang ditulis Eddy adalah alat untuk menggali lubang yang bertangkai panjang. Alat ini, sebagai perkakas penting untuk menggali liang kubur. Jelas, Eddy hanya ingin dipisahkan oleh kematian bersama weisku.
Lalu, siapakah weisku? Benarkah hanya tokoh imajinatif yang diciptakan Eddy atau seseorang yang nyata? Jika kita cermati beberapa puisi-puisinya pada buku ini, sering kali ditemukan kata edelweis, sebuah bunga yang kerap kali kita jumpai di puncak-puncak gunung. Bisa jadi, weisku adalah dua kata dari edelweis dan aku, lalu ia menggabungkan menjadi satu nama weisku. Sah saja dalam proses kreatif pembuatan puisi, sebab permainan bahasa dalam puisi memang dibolehkan. Namun, memainkan bahasa pada puisi pun mesti berhati-hati, salah-salah malah bermasalah dengan makna, atau puisinya menjadi terasa kosong dan gelap.
Edelweis dan weisku memang tampak istimewa bagi Eddy Pranata, ia seolah merindukan keabadian, keheningan dan kedamaian. Ia telah siap menghadapi kehidupan baru yang abadi, bahkan dalam perjalananannya menulis puisi, ia pun sempat (seolah) bertemu dengan maut, yang ia tuliskan pada puisi ‘Potongan-potongan Pertemuan dengan Maut’.
1.
di ujung jurang sunyi
ada langkah kecil
turun dari rimbun edelweis
perlahan melewati cadas
dan terjal bukit
kabut mengapung
wajah beku dan dingin
engkaukah maut itu?
2.
di pinggir kali yang airnya mengalir
gemericik membentur rumpun bambu
senyap menyergap
dari hulu ke hilir
berkilau embun di daun-daun
menyilaukan
engkau dalam balutan embun itu?
3.
atau tengah malam
ketika kelelawar
menyerbu pohon sawo
kelepaknya memecah bulan sabit
aku seperti melihatmu berkelebat
di sayap-sayap mengembang
4.
dan di rumah ini, di ruang tamu
di sela-sela bunga plastik
yang sudah pudar warna
aku merasakan ribuan kenangan
tumpang-tindih
perih-sakit
engkau mendekati, menegurku
: “jantung dan hatimu
terlalu banyak luka!”
engkau berlalu ke bilik gelap
kemudian aku bersujud
sedalam-dalamnya
5.
diam-diam aku nikmati sesuatu
di antara keropos gigi geraham
ada yang menggeliat halus
lalu melompat berjalan zig-zag
di antara uban yang akan kian rapat
: “o, sorot mata memudar!”
Berapa lama lagi engkau membayang-bayangi
Puisiku?
6.
di dalam butiran tasbih
aku menyuruk
tetapi napasku
engkau dengar juga
matamu berkali-kali serupa mengancam
: “dosaku terlalu besar dan panjang!”
di dalam butiran tasbih
aku masih terhuyung tersaruk
7.
di ujung dermaga
sampan ini kian tebal lumut
angin dan matahari jadi saksi
pendayung kian rapuh
: “akan tiba saatnya perjalanan terjauh, sampan
melewati selat, gelombang tinggi, hingga
ke gundukan karang paling sunyi!”
sampan itu terlambung-lambung di luas laut, engkau
terus menjaganya dengan suka cita
8.
nyaris setiap perjalanan
hujan deras dan aku menyetir
seraya tak henti-henti zikir
persis di hadapanku
di antara air mengalir dan sedikit kabut
setiap windscreen wiper menyibak air
tangan putihmu serupa melambai-lambai
aku selalu saja takjub
: “subhanallah!”
9.
apa pun
pertemuan kecil denganmu
menjadi rahasia
yang senantiasa bergetar-getar
Inilah gambaran puisi Eddy Pranata yang menurut saya adalah peristiwa besar atau klimak dari keseluruhan puisi-puisinya di buku ini yang hanya menampilkan potongan-potongan peristiwa kecil. Ia, memang telah benar-benar membawa tembilang untuk menggali kesunyian dalam dirinya yang tersimpan bertahun-tahun sepanjang usia. Dan makhluk gaib bernama puisi, semakin merasuk disaat kecamuk dalam diri terus mendidih. Ia tak ingin menghentikan gejolak itu; terus menggeram, marah, sunyi, tertawa dan berteriak.
Akan tetapi, gejolak batinnya pada tingkatan ‘yang panas’ sesungguhnya menggiring ia pada proses kreatif yang tidak terlalu baik pada karya. Itu pun terasa pada puisi-puisi di buku ini, hampir keseluruhan puisinya bernada serupa, pada wilayah diksi yang sama, dan pada gambaran peristiwa yang berdekatan antara puisi satu dengan yang lainnya. Bisa saja itu di sengaja untuk mengejar target penerbitan buku, atau mempertahankan tema atau memang tak terencana diakibatkan suasana batin yang terus bergemuruh. Apa pun itu, puisi-puisinya pada buku ini pastinya telah melewati perjalanan ingatan, laku dan perasaan yang panjang. Dan, para pembaca juga pastinya akan menemukan pandangan-pandangan lain setelah menamatkan membacanya. Bisa saja, pembaca menemukan makhluk gaib menyerupai kuntilanak, genderewo, pocong atau malaikat dan bidadari-bidadari pada puisi Eddy Pranata ini. Bisa saja bukan, sebab ini adalah puisi. Terima kasih, selamat membaca selamat kepada penulis.
September, 2021
[1] Sebuah catatan untuk diskusi peluncuran buku ‘Tembilang’ karya Eddy Pranata, 11 September 2021
Nana Sastrawan, Seorang penulis, peraih penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud, 2015.