Rekam jejak. Seringnya, dari sanalah puisi beranak-pinak dalam kepala seseorang. Jejak daksa atau spiritual kerap kali membawa seseorang ke dalam ruang imaji tanpa batas. Lalu, ketika berbicara tidak menjanjikan apa-apa, maka puisi selalu memberi ruang sendiri. Seperti bait-bait dalam syair milik Imam Budiman. Puisinya tidak mengikat, tapi membuat para pembaca terpikat. Salam Mbludus! (Redaksi)

[iklan]

Puisi-Puisi Imam Budiman
Membawa Pesan  dari Dayak Kenyah

kami terima kedatangan dikau dari berantah pulau tanpa nama, dari sebuah kapal rempah yang terdampar tanpa kemudi, di bentang tua papan Lamin1 kami. biar lekuk gemulai para penari, dalam mantra dan kaidah sakral tari-tari Gong,2 menyambut gelisah gemetar lututmu.

selepas seluruh prosesi usai ditunaikan, blontang3 sangar penjaga kampung dan rumah limas kami mengintrogasimu. sebab para blontang menaruh curiga, kulit kami dan kulitmu beda warna.

bolehkah kami bertanya,
saudara datang, bermaksud apa?

tanpa ada kalimat. tiada jawab. rupanya kau tak cakap berbahasa. hanya isyarat. kau hanya melafalkan semacam mantra yang tak pernah kami dengar sebelumnya –bahkan setelah kau diusir beramai-ramai dari kampung kami.

kami terima kedatangan siapa pun,
kecuali para bajing kulit putih
berupaya merebut-sikut
tanah moyang kami.

2018

1 rumah adat Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Rumah berbentuk panggung setinggi 3m dari tanah dan dihuni oleh 25-30 kepala keluarga.
Ujung atap rumah diberi hiasan kepala naga; simbol keangungan, budi luhur, dan kepahlawanan.
2 rutin dipentaskan dalam upacara penyambutan terhadap tamu agung.
3 patung khas Dayak Kenyah, dewa yang dipercayai sebagai penjaga rumah atau kampung.

Ular Pencuri Daging

seekor ular tengik, menggeliat pelan,
mencuri daging berwarna pucat dari piringmu,
lalu kabur melalui rimbun asap dapur.

kau hanya sempat melihat ekornya sekilas,
sebelum dugaanmu berubah menjadi umpatan.

“makan malam sial tak berlauk,” kau mengutuk.
butir-butir nasi itu kaulahap dengan bayang
daging tercinta yang sebetulnya
sudah setengah busuk.

kau tak habis mengamuk, seusai kosong piringmu,
kau lempar begitu saja ke dinding, penuh amarah.

di sebuah liang gundukan tanah, ular pencuri itu pulang
dengan riang; mengambil wudhu singkat dan sembahyang.

2017

Di Balik Kulit dan Belulang

di seruas daun pala, seekor serangga berkepala puisi menulis
semacam isyarat kata yang sulit dibaca jika dieja sekilas saja.

isyarat itu, oleh para penafsir sebuah pagi, memiliki
kemungkinan ditujukan kepada kekasih, sebelah
sayapnya remuk dihantam oleh serdadu angin:

kau melahirkanku dan aku memeranakkanmu
tubuhku terdiri dari tulang-belulangmu,
 
tulang belulangmu terdiri dari padatan darahku
kulitmu-kulitku bahan abadi lelayang waktu

2016

Masa Depan Dua Tubuh
 
sejejak udara mengenang
pelbagai macam wewangian
remah cengkih dirembuk bertalu,
juga harum pagar damar

dihafalkannya wangi itu
demi menyatu pada leluhur
juga demi berlangsungnya
sebuah ikatan sehidup-semati

aku  meminangmu, sayang
serumit persegi sarang lebah
yang dirawat sekian waktu
hingga padat membatu

kita kerap bergerak pada alur
pohon yang suka berubah
demi perbincangan di beranda
soal bilangan anak-cucu

2016

Imam Budiman, kelahiran Loa Bakung, Samarinda, Kalimantan Timur. Bergiat di Komunitas Sastra Rusabesi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini mengabdikan diri di Madrasah Darus-Sunnah, Ciputat.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *