MBAH SAMIN BACA PUISI

Abah Yoyok

Kliwon bingung dengan sikap Mbah Samin pada perayaan tujuhbelasan yang diselenggarakan oleh warga RT 13, dari pagi sampai sore. Seluruh warga mulai dari anak-anak sampai orang dewasa semua bergembira ria menyambut HUT RI, tapi Mbah Samin justru seperti orang kehilangan gairah. Wajahnya murung seperti awan tertutup mendung.

Diajak lomba lari karung, nggak mau. Diikutsertakan tim panjat pinang, menolak. Pokoknya semua jenis permainan yang ditawarkan langsung ditolak. Bahkan permohonan Pak RT untuk membacakan do’a di acara malam hiburan dan pembagian hadiah pun ia tolak

“Kalau nggak ikutan perlombaan-perlombaan, saya bisa maklum, Mbah. Tapi kalau sudah tak mau membacakan do’a untuk Indonesia, berarti Mbah… ”

“Saya cinta Indonesia, saya sayang Indonesia.”

“Kalau memang cinta, kalau memang sayang. Mengapa untuk mendoakan saja tak mau?”

“Apa artinya do’a kalau dilantunkan dalam suasana hura-hura. Untuk apa kita berdo’a kalau hanya untuk mensejahterakan para penguasa yang sepanjang kemerdekaan ini hanya bisa mengumbar angkara murka, demi kepentingan kelompok dan diri sendiri. Untuk apa?”

Biyuh…biyuuuhh… Kliwon jadi berpikir, ada apa dengan Mbahku yang Samin ini? Tumben-tumbenan dia mikirin negara. Diam-diam rupanya dia juga memperhatikan perilaku para penguasa yang memang kalau kita mau jujur, telah membuat kehidupan di negeri ini semakin amburadul. Bisa-bisanya si Mbah ngomong begitu. Jangan-jangan dia sedang kerasukan roh para pahlawan yang gentayangan karena penasaran?

“Mbah,” kata Kliwon pelan, tenang dan hati-hati. Maksudnya agar beliau juga ikutan tenang hatinya. “Indonesia ini kan milik kita juga. Milik saya, milik Mbah Samin, milik seluruh rakyat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke.”

“Dulu memang iya. Sejak Soempah Pemoeda diikrarkan, kita semua berbangsa satu bangsa Indonesia.”

“Sekarang?”

“Indonesia udah somplak. Tanah dan air berikut isinya hampir habis dikuras dan dikuasai para penguasa negeri yang notabene adalah putra-putri terbaik ibu Pertiwi.”

Nah lo, ibu Pertiwi dibawa-bawa.

“Memangnya ibu Pertiwi itu siapa sih, Mbah?” tanya Kliwon menggoda. Maksudnya ingin mencairkan suasana.

“Ibu Pertiwi adalah pemilik sah republik ini. Sejak kita merdeka, dia terus berduka. Sampai saat ini, ia terus bersusah hati karena ulah para putra putrinya. Kesedihan ibu Pertiwi adalah tangis negeri ini. Negeri yang katanya subur makmur gemah ripah loh jinawi.”

Kliwon hanya bisa terpana memandang Mbah Samin. Heran dan kagum campur aduk jadi satu mengaduk-aduk hatinya.

“Kalau begitu mari kita ber do’a untuk ibu Pertiwi saja, Mbah.”

Belum sempat Mbah Samin berkata, sang Pembawa Acara Malam Tasyakuran Kemerdekaan RI, mempersilahkan Mbah Samin naik ke atas pentas untuk membacakan do’a sebagai penutup acara. Kliwon segera menggandeng Mbah Samin naik ke atas panggung. Alhamdulillah, beliau menurut saja.

Setelah hadirin tenang dalam khidmat, Mbah Samin mengucap salam lalu berkata. “Hadirin sekalian, kita semua tahu dan mengaku pernah melihat ibu Pertiwi yang sedang bersusah hati. Tapi kita semua tak pernah ada yang mau tahu di manakah sekarang dia berada.

Ketahuilah saudara-saudara sekalian. Tangis ibu Pertiwi adalah tangisan negeri ini. Kita harus menemukan di mana kini ibu Pertiwi berada. Kita harus menghentikan tangisnya dan membuatnya bahagia. Marilah kita bersama-sama berdo’a untuk menghapuskan kesedihan ibu Pertiwi yang tak lain adalah duka cita negeri ini.”

Para hadirin seperti terbuka ruang kesadarannya. Dengan khidmad semua menanti lantunan do’a. Tapi ternyata Mbah Samin malah membacakan sebuah puisi.

[iklan]

DAN IBU MASIH TERUS MENANGIS

Sekian puluh tahun lamanya ibu bersusah hati
air matanya berlinang
mas intan berkilauan
dibawa orang ke seberang lautan

sekian puluh tahun lamanya ibu merintih dan berdoa
hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan untuk anak cucu
dibawa orang ke negeri seberang

dan ibu masih terus menangis
mas intan berkilauan yang tersisa
apakah cukup untuk membayar hutang
yang seluas hutan setinggi gunung
dan bunganya sedalam lautan

ibu masih terus menangis
masih terus merintih
jangan gadaikan tanah ini anakku
jangan gadaikan air ini cucuku
jangan gadaikan tanah air ini anak cucuku
Cisauk, 10 agustus 2019

Abah Yoyok adalah penyair kelahiran Klaten, Jawa Tengah pada 1 Mei 1954. Penyair ini adalah pendiri Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek–Tangerang, Banten. Karya puisi tergabung dalam Dari Negeri Poci, Puisi Menolak Korupsi, Memo Untuk Presiden dan Tifa Nusantara. Antologi puisi tunggalnya, yaitu Sekar Alit (Kumpulan Syair Macapat) yang terbit pada tahun 2016 dan Asal Gobleg: Salah pada tahun 2017. Dia mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Banten dibidang sastra tahun 2016. Penyair ini juga aktif mengadakan kegiatan sastra di Tangerang dengan para penyair, seniman, dramawan muda di Tangerang. Alamat Rumah : Bermis Blok B-7/19. Rt 002/004. Desa Cisauk, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang. No Hp : 085882386713

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *