Matematika Tuhan

Abah Yoyok

Hampir saja terjadi perang saudara di keluarga almarhum Raden Mas Gendowor yang meninggal dunia seminggu lalu. Pasalnya adalah sebuah surat wasiat yang ditinggalkan untuk ketiga orang anaknya. Dalam surat wasiat itu dikatakan bahwa harta tinggalan berupa 19 ekor kambing diberikan kepada 3 orang anak dengan rincian sebagai berikut:

Anak yang sulung menerima 1/5 bagian karena sudah berkeluarga dan sudah bekerja. Anak yang kedua yang masih sekolah mendapat ¼ bagian. Sedang si Bungsu yang masih kecil dan belum sekolah dan belum bisa mencari uang mendapat yang paling banyak, yaitu ½ bagian.

[iklan]

Yang jadi masalah adalah bukan sedikit atau banyaknya jatah warisan. Tapi bingung membaginya. Karena setelah dihitung-hitung, seluruh kambing yang ada tidak bisa dibagikan secara utuh. Harus ada yang dipotong menjadi beberapa bagian sesuai dengan hasil perhitungan. Ini tak mungkin dilakukan,karena pesan dalam surat wasiat itu kambing-kambing harus dibagi secara utuh, tak boleh ada yang dipotong.

Kepala Kliwon seperti mau pecah rasanya memikirkan alternatif terbaik untuk memecahkan masalah ini. Segala rumus matematika sudah dicoba, hasilnya tetap saja pembagian kambing berdasarkan surat wasiat itu, tetap harus ada kambing yang dipotong.

“Tolong, Kliwon. Tolong anak-anak saya,” pinta Ibu Gendowor yang khawatir kalau terlalu lama, dia dan anak-anaknya semakin bingung dan akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan dengan keputusan di Surat Wasiat tersebut.

“Tenang, Bu. Sabar, ya. Saya akan berusaha semampu yang saya bisa.”

“Sampai kapan saya harus menunggu.? Situasi di rumah sudah semakin menegangkan, Kliwon.”

“Insya Allah secepatnya saya akan…”

“Assalamu’alaikum…!” tiba-tiba terdengar suara Mbah Samin dan entah sejak kapan beliaunya sudah berdiri di samping Kliwon.

“Eh, Mbah Samin. Wa alaikumsalam. Kemana saja Mbah, koq jarang kelihatan?”

“Ah, Kliwon saja yang jarang ke Masjid. Sibuk, ya?”

“He he he… ya gitu, deh.”

Ibu Gendowor tahu diri. Ia segera pamit pulang sambil meninggalkan pesan, “tolong ya, Kliwon. Kalau bisa mah, besok sudah ada keputusan.”

“Insya Allah sebelum Magrib beres, Bu.” Mbah Samin nyeletuk memberi jawaban. Tentu saja Ibu Gendowor senang.

“Terimakasih Mbah,” katanya senang.

Kliwon kaget sekaligus gemes dengan jawaban Mbah Samin. Belum paham apa persoalannya sudah berani-beraninya bilang nanti sore sebelum magrib beres. Dasar Samin, bikin otak gue tambah ruwet aja, lo, gerutu Kliwon dalam hati.

“Mbah gimana sih? Ngerti persoalannya saja belum sudah berani menjanjikan ntar sore beres.”

“Haalah, paling-paling urusan warisan. Iya, kan? Dalam hukum agama itu sudah ada aturannya, Kliwon. Namanya hukum Faro’id

“Tapi warisannya almarhum Pak Gendowor itu sudah ditentukan oleh Surat Wasiat beliau.”

“Apalagi ada Surat Wasiat, tinggal menjalankan saja apa isinya. Gampang, kan?”

Gampang palelu peyang, sahut Kliwon dalam hati. Lalu memperlihatkan isi surat wasiat dan menjelaskan beberapa alternatif hasil perhitungannya secara matematis, yang ternyata tak satu pun bisa sesuai dengan amanah surat wasiat tersebut.

Mbah Samin tersenyum. Memeriksa isi surat wasiat dan hasil perhitungan Kliwon sembari manggut-manggut. Kliwon memperhatikan perilakunya dengan harap-harap cemas. Mbah Samin nampak mengerutkan dahi sembari mengerak-gerakan beberapa jemari tangannya seperti bocah sedang berhitung dengan metode matematika modern.

“Gimana, Mbah?”

“Gampang. Kalau begini urusannya, menghitungnya harus pake matematika Tuhan.”

“Matematika Tuhan. Maksudnya, Mbah?”

Mbah Samin tak menjawab pertanyaan Kliwon. Dia justru mengajak Kliwon ke padang rumput tempat orang-orang kampung biasa menggembalakan kambingnya. Sesampainya di padang rumput, Mbah Samin menunjuk ke arah seekor kambing yang sedang merumput dalam keadan diikat.

“Itu kambing siapa, Kliwon?”

“Itu kambing Pak RT, memangnya kenapa Mbah?”

Lagi-lagi Mbah Samin tak menjawab pertanyaan Kliwon. Bikin tambah penasaran saja. Maka Kliwon pun hanya menonton saja ketika Mbah Samin mengambil tali pengikat kambing lalu menuntunnya menuju ke rumah almarhum Pak Gendowor.

“Kambing Pak RT mau diapain, Mbah?”

“Saya pinjam dulu sebentar buat membereskan soal pembagian warisan anak-anaknya almarhum Pak Gendowor.”

“Nanti kalau Pak RT marah gimana?”

“Pak RT marah urusan saya. Kliwon tenang saja. Yang penting urusan Surat Wasiat segera beres.”

Terserah lo aja dah, kata Kliwon dalam hati. Tapi tak bisa menghilangkan kekhawatirannya jika akan timbul masalah baru dengan kambing Pak RT.

Setelah sampai di rumah keluarga almarhum Pak Gendowor kebetulan ketiga anak-anaknya ada di rumah semua. Sembilan belas ekor kambing juga masih ada di kandangnya. Kepada Ibu Gendowor dan anak-anaknya, Mbah Samin menjelaskan bahwa untuk bisa membagi warisan secara adil dia akan meminjamkan seekor kambing.

“Nanti yang mengembalikan pinjaman kambing itu siapa, Mbah?” tanya anak yang Sulung.

“Tak usah dikembalikan. Nanti akan kembali sendiri,” jawab Mbah Samin. Ibu Gendowor dan anak-anaknya nampak bingung. Mereka memandang ke arah Kliwon, seolah-olah minta penjelasan. Kliwon hanya manggut-manggut sembari mengacungkan jempol.

Setelah ditambah dengan ‘kambing pinjaman’ maka jumlah kambing warisan menjadi 20 ekor. Mbah Samin mulai melakukan pembagian, meminta Kliwon untuk menghitung sesuai dengan amanah dalam Surat Wasiat.

Kliwon mulai menghitung. Si Sulung 1/5 dari 20, dapat 4 ekor. Adiknya 1/4 dari 20, dapat 5 ekor. Sisanya si Bungsu ½ dari 20, 10 ekor. Total seluruh kambing warisan yang dibagikan adalah 4 tambah 5 tambah 10. Jumlahnya 19 ekor, sesuai dengan jumlah kambing warisan. Sisanya 1 ekor dikembalikan karena memang ‘kambing pinjaman’.

Ibu Gendowor dan anak-anaknya merasa senang dengan jatah warisannya masing-masing yang diterima secara utuh sesuai dengan amanah surat wasiat. Kliwon hanya bisa menggeleng kagum pada matematika Tuhan yang diperkenalkan oleh Mbah Samin.

Cisauk, Juli 2019

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *