Legenda Aji Saka
Diceritakan oleh yang punya cerita, bahwa pada jaman dahulu kala, di daerah Jawa Tengah ada sebuah kerajaan bernama Medhang Kamulan yang dipimpin oleh Raja Dewata Cengkar yang terkenal bengis dan kejam karena suka memakan daging manusia. Setiap hari, raja yang kejam itu memerintahkan kepada Patihnya yang bernama Jugul Muda mencari manusia untuk dijadikan santapannya. Rakyat negeri Medhang Kemulan akan berlari ketakutan dan bersembunyi jika melihat atau bertemu dengan Patih Jugul Muda.
Pada suatu hari Patih Jugul Muda masuk ke desa Medang Kawit untuk mencari mangsa. Ia nampak lelah dan bingung karena sudah hampir seharian belum juga mendapatkan seseorang yang akan dijadikan mangsa sebagai santapan sang Raja. Desa sepi karena para penghuninya sembunyi di rumahnya masing-masing atau ditempat-tempat tertentu. Ketika Patih Jugul Muda sedang bingung, ia berjumpa dengan seorang pemuda pengembara bernama Aji Saka dan 2 orang abdinya, Dora dan Sembada. Patih Jugul Muda langsung menghadang Ajisaka dengan hati gembira karena akan mendapatkan manusia calon santapan sang Raja.
[iklan]
“Hei berhenti! Kalian ini siapa?”
“Aku Ajisaka, sang Pengembara. Dan yang bersamaku ini adalah abdiku, Dora dan Sembada. Tuan ini siapa? Nampaknya sedang bingung, adakah yang bisa saya bantu.”
“He he he…. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku Patih Jugul Muda dari kerajaan Medhang Kamulan. Sudah hampir seharian aku berkeliling desa tapi tak juga menemukan manusia untuk dijadikan santapan sang Raja Dewata Cengkar.”
Aji Saka yang mendengar perkataan Patih Jugul Muda jadi teringat akan kekejaman Raja Dewata Cengkar. Kebetulan sekarang ia bisa bertemu dengan Patihnya. Ia memang sudah bermaksud hendak menghentikan kekejaman dari Raja Dewata Cengkar. Maka berkatalah dia kepada Patih Jugul Muda.
“Yang Mulia Patih Jugul Muda, sampeyan tak usah bingung. Aku bersedia dan rela untuk untuk dijadikan santapan sang Raja Dewata Cengkar. Sekarang bawalah aku ke hadapan sang Raja.”
Mendengar permintaan itu, Patih Jugul Muda kegirangan. Mereka segera berangkat ke istana Medhang Kamulan. Patih Jugul Muda berjalan duluan di depan, Aji Saka beserta dua abdinya mengikuti agak jauh di belakangnya. Ketika sampai di Pegunungan Kendeng, Aji Saka menyuruh salah satu pengawalnya, Sembada, untuk tinggal di sana sembari menjaga keris pusakanya.
“Sembada, kau tinggalah disini menjaga keris pusakaku. Jangan serahkan keris tersebut pada siapapun. Nanti aku sendiri yang akan mengambil keris tersebut. Aku beserta Dora akan melanjutkan perjalanan ke Medhang Kamulan,” peritah Aji Saka kepada Sembada.
“Baik, aku akan menjaga keris milik paduka. Aku berjanji tak akan menyerahkannya kepada siapapun selain paduka.” jawab Sembada.
***
Sesampainya di istana kerajaan Medhang Kamulan, Patih Jugul Muda segera menghadap Raja Dewata Cengkar untuk menyerahkan Aji Saka sebagai santapan. Akan tetapi sebelum disantap oleh sang Raja, Aji Saka mengajukan sebuah permintaan. Raja Dewata Cengkar yang sudah kelaparan itu langsung mempersilahkan Aji Saka untuk mengajukan permintaannya.
“Apa permintaannmu sebelum aku mangsa?” tanya Dewata Cengkar tak sabar. Dia sudah ingin sekali ingin melahap daging mentah pemuda yang gagah dan tampan yang ada di hadapannya itu.
“Yang Mulia, aku hanya meminta tanah selebar sorbanku ini,” jawab Aji Saka sembari melepas kain sorban penutup kepalanya.
Tanpa pikir panjang lagi, Raja Dewata Cengkar langsung menyanggupinya. Segera Aji Saka menggelar sorbannya. Keanehan pun terjadi. Sorban milik Aji Saka terus melebar dan meluas hingga hampir menutupi seluruh wilayah Medhang Kamulan. Raja Dewata Cengkar sangat marah karena merasa telah ditantang.
“Kurang ajar kau anak muda! Ternyata kau datang hanya ingin menantangku!” Raja Dewata Cengkar segera menyerangnya. Namun sorban yang sudah meluas itu, menutupi tubuh Dewata Cengkar dan menggulungnya hingga hilang di pantai selatan yang berombak besar. Dewata Cengkar pun tewas seketika.
Kabar kematian Raja bengis Dewata Cengkar segera tersebar luas. Seluruh rakyat Medhang Kamulan sangat bergembira. Rakyat Medhang Kamulan kemudian mengangkat Aji Saka menjadi Raja.
***
Setelah menjadi raja, Aji Saka teringat akan keris pusaka yang ia titipkan pada Sembada di Pegunungan Kendeng. Ia kemudian memerintahkan Dora untuk mengambil keris pusaka yang dipegang oleh Sembada tersebut. Perintah pimpinan segera dilaksanakan. Dora berangkat ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil keris pusaka milik Raja Aji Saka yang ada di tangan Sembada.
Sesampainya di Pegunungan Kendeng, Dora bertemu dengan Sembada. Mereka berpelukan saling melepas rindu. Kemudian Dora menceritakan bahwa Aji Saka telah menjadi raja Medhang Kamulan. Sembada merasa senang mendengarnya. Selanjutnya, Dora mengatakan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk mengambil keris pusaka milik tuan mereka. Tapi Sembada menolaknya.
“Tidak bisa, Dora. Aku tidak akan memberikan keris itu. Kau masih ingat pesan junjungan kita, bahwa beliau sendiri yang akan mengambil keris pusaka yang ditipkan kepadaku.”
“Tapi aku diperintah untuk mengambil keris pusaka itu, Sembada. Sekarang, tolong berikan keris itu kepadaku.”
“Tidak bisa.”
“Ini perintah raja, Sembada! Apakah kau akan melawan raja?”
“Perintah dari siapapun aku tidak perduli. Aku pegang teguh pesan beliau.”
“Tapi…”
“Pokoknya aku tidak akan memberikan keris pusaka tersebut selain kepada junjungan kita, Raja Aji Saka.”
“Tapi…”
“Tidak bisa!”
Adu mulut antara Dora dan Sembada karena mempertahankan kebenaran masing-masing akhirnya berkembang menjadi adu fisik. Mereka bertarung memperebutkan keris pusaka. Pertarungan berlangsung sengit karena keduanya sama-sama sakti mandraguna, sampai akhirnya mereka berdua meninggal dunia.
Sementara itu di Medhang Kamulan, Raja Aji Saka gelisah menunggu kedatangan Dora. Dalam kegelisahannya itu, ia teringat kalau dirinya pernah berpesan pada Sembada agar tidak menyerahkan keris pusaka pada siapapun kecuali pada dirinya. Karena kuatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada kedua pengawalnya itu, Raja Aji Saka segera menyusul ke Pegunungan Kendeng. Namun terlambat, sesampainya di sana, ia menemukan dua jasad pengawalnya, Dora dan Sembada, sudah terbujur kaku menjadi mayat. Raja Aji Saka merasa bersalah dan sangat sedih. Untuk menghormati kesetiaan kedua pegawalnya itu, ia kemudian menciptakan aksara jawa yang menceritakan kesetiaan dan pertarungan dua pengawalnya tersebut.
(ono utusan= ada utusan)
(padha kerengan= saling berkelahi)
(padha digdayane= sama saktinya)
(padha nyunggi bathange= saling berpangku saat meninggal)
***
Cerita Rakyat Jawa Tengah
Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok
Dapoer Sastra Tjisaoek, April 2020