MENcatat DEMAM – memendam TACAT – Produk Sayembara Puisi yang Kacau

Oleh Shiny.ane el’poesya

Mungkin saat ini kita bisa mengatakan, bahwa kita kembali tak lagi dapat percaya pada seyembara-sayembara buku puisi yang ada di dalam tubuh sejarah Sastra Indonesia. Terlalu mudah untuk melihat begitu seringnya publik sastra kecewa pada beberapa kali hasil keputusan sayembara-sayembara tersebut. Terlalu sering pula pembaca kritis bukan lagi angkat bicara atau menepuk jidat, melainkan mengelus-mengelus dada atas hasil yang dikeluarkan oleh lembaga-lembanga penyelenggara sayembara tersebut. Terhadap hasil sayembara Hari Puisi Indonesia 2019 akhir tahun kemarin, misalnya. Dengan dimenangkannya “Mencatat Demam” karya Willy Fahmi Agiska, kita kembali merasakan dan mengalami situasi miris. Dengan argumen yang kurang dapat dipertanggungjawabkan, alih-alih hanya diperkuat dengan sebuah slogan klise akan adanya hak periogratif dewan juri yang tak dapat diganggu gugat, lagi-lagi dewan juri Hari Puisi Indonesia tak mampu menunjukkan kelasnya sebagai dewan yang mampu untuk membandingkan kulaitas satu karya terkirim dengan karya lainnya. Lebih dari itu, bahkan tak mampu menemukan kekurangan-kekurangan mendasar dari sebuah buku yang hendak dianggap sebagai terbaik di antara lebih dari 200 buku.

Dari “Mencatat Demam” karya Willy, padahal dengan mudah kita bisa menemukan: [1] Tema dan penjudulan buku yang sangat umum sekali: “Mencatat Demam”—yang dengan itu menujukkan ketidakadaan kesegaran problem utama yang hendak ditawarkan kepada publik luas untuk dijadikan bahan perbincangan, [2] jangkauan topik di bawah tema yang hendak dimajukan yang tidak punya rentang-eksplorasi yang luas sebagai sebuah penjelajahan batin, baik dari segi pengalaman spasial penulisnya, persentuhan dengan realitas sosial-politik yang serius di zamannya, pergulatan dengan kebudayaan yang melingkupinya, pergumulan dengan berbagai doktrin agama yang dianutnya, ke-intens-an interkstualitas dan ketekunan penelusuran terhadap berbagai major text (khazanah penting) lain dalam bank data kesusastraan dunia-nasional-bahkan lokalnya, maupun pergulatan dengan Ars Poetica-nya itu sendiri;

[iklan]

22 judul puisi (Sajak Biru, Rajah Batu, Sajak, Jendela dan Lubuk Sajak, Reggae Tengah Malam, Si Gimbal, La Llorona, Mencatat Demam, Jam Pasir, Jika Aku Tak Menulis Puisi, Apologia Tengah Malam, Nonsense, Tengah Malam Buat Anjing, Epidemi Dingin; buat Goen, Di Bandung Selatan, Jika Aku Tak Jatuh Cinta, Aku Ingin Tidur, Surat Cinta Yang Rusak, Di Bawah Langit Bungbulang, Jeda, Di Ujung Kata) yang dihadirkan sebagai sebuah pergulatan ruang lingkup makna, tidak menyimpan sesuatu yang istimewa paling tidak yang kesekian disebutkan itu untuk dibicarakan secara pantas sebagai naskah yang dimenangkan. Buku puisi “Mencatat Demam,” di dalamnya tak memiliki topik-topik pembicaraan yang berelevansi kesejarahan, tak memiliki urgensi intelektual, vitalitas kepenyairan yang rigour, tak juga muatan keunikan untuk dibicarakan dalam konteks sungai perbincangan kesusastraan Indonesia, meskipun kita di situ menemukan satu interteks kepada GM dalam Epidemi Dingin, yang nampanya hendak melebarkan cakupan makna kulturalnya, namun dalam garapannya masih nampak tidak bisa menangkap terlebih mengimbangi medan makna eksistensial yang dirujuknya.

Dari segi penggunaan teknik [3], kita pula tak menemukan ekplorasi teknik yang bisa membuat kita merasa bahwa inilah sebuah naskah yang patut untuk diunggulkan (lagi-lagi) dari sekian naskah-naskah lainnya; sebab menawarkan ruang permainan “khas,”  “typical” (menandai penulisnya) dan-atau mengusahakan satu eksperimen menuju “kebaruan.” Apa yang digunakan oleh Willy adalah hal yang relatif menjadi standar dalam pengerjaan puisi-puisi liris pada umumnya: mengedepankan permainan rima dan pemanfaatan metafora yang justru menjadi salah satu teknik arus utama bagi generasi penulis muda, terutama “yang berproses” di Jogja; bisa cek buku “Misa Arwah” milik Dea Anugrah, “Angin Apa Ini, Dinginnya Melebihi Rindu” antologi bersama milik Ramayda Akmal, Asef Saiful Anwar, Fitriawan Nur Indrianto, “Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu” milik Alfin Rizal, “Mencintai Kamar Mandi” milik  Rabu Pagi Syahbana, “Metamorfosis Kupu-Kupu” milik Saeful Huda, dan sebagainya dan sebagainya.

Hal tersebut tentu sangat mengecewakan bagi kita pembaca yang–paling tidak–mau tahu sejauh mana muatan kualitas sebuah buku yang dimenangkan dalam sebuah sayembara? Namun, sebuah ekspektasi ternyata membentur kesemrawutan penilaian yang dilakukan oleh dewan juri HPI. Maka wajar, jika kemudian kita di sini secara mandiri coba sekali lagi menunjukkan sikap berkesenian yang tegas, memberikan penampikan serta bantahan keras atas hasil tersebut di atas. Juga jika kita perhatiakan–sebagaimana pernah saya ulas secara singkat (dengan ala-ala netizen julid) di dinding Facebook pada tanggal 6 Desember 2019 dengan kepala tulisan “Efek Kekacauan Makna Dari Pernak-Pernik Metafora Willy,“ dari sudut asosiasi makna antar baris dalam penggunaan metafora, puisi-puisi Willy juga ternyata masih hampir menyimpan benturan asosiasi imaji dari metafora yang digunakan dalam setiap puisinya; pada 22 puisi.

Adapun sebagai gugatan lebih rampung dari yang dipostingkan di Facebook, berikut saya kembali hadirkan ulasan:

(1) Sajak Biru

Pada sepi yang makin gigir,
pada batas rasa kehilangan ini,
aku biru.

Seluruh laut pulang padaku
tanpa ombak dan perahu-perahu.

Waktu hanyalah seorang utusan
pemberi renik-renik bangkai
yang lama terapung-apung
di hatimu.

Sedang di sini,
mercusuar hanya menggigil.
Sampah-sampah mengambang
dan ikan-ikan terkapar
di kedua mataku.

2012-2017

Sajak di atas merupakan sajak pertama dalam buku “Mencatat Demam.” Dari tanggal pembuatannya, tertulis di sana 2012-2017, yang artinya pertamakali dibuat pada tahun 2012 dan kemudian diolah ulang (mungkin karena dianggap punya ide menarik dan bisa diperbaiki lebih mantap) pada tahun 2017. Sayangnya, pengolahan ulang tersebut pula masih memiliki sekian masalah logika semantik (makna) mendasar, terutama yang berkaitan dengan asosiasi antar imaji yang digunakan dalam serangkaian metafora yang digunakan.

Contoh. Pada ungakapan “Aku biru, seluruh laut pulang kepadaku.” Kalimat pada larik ini bisa kita baca maksudnya dengan jelas bahwa si aku lirik hendak dimetaforakan sebagai sang samudra, sebab lautan berpulang padanya. Sebagai sebuah ungkapan metaforis yang berdiri sendiri dalam baris, bisa dianggap bagus. Tapi lihat kekacaunya: Pada bagian akhir di baris yang lain ada (muncul) ungkapan “Sedang di sini mercusuar…” dst. Nah, jika di sebuah samudra ada mercusuar, maka pertanyaannya, si “tukang proyek pembangunan” mercusuar, ia akan menancapkan fondasinya di mana? Sedangkan kita tahu, bahwa mercusuar-mercusuar itu berdiri di sekitaran laut dangkal, bukan pada laut dalam apalagi di sebuah samudra. Nah, sebagai bangunan imaji, Willy justru memaksakannya demikian. Ini kan jadi lucu, karena menunjukkan penyomotan imaji tanpa pengetahuan atau pertimbangan yang jernih dan tuntas atas imaji yang hendak dipakainya.

Kemudian, ketika Willy menggunakan metafora laut yang berpulang padanya, yang tanpa ombak dan perahu, tiba-tiba ia mengungkapkan ada banyak sampah dan bangkai mengambang di sana. Pertanyaannya, dari mana asalnya? Dari laut? Lewat mana? Lewat laut yang tanpa ombak? Tanpa ombak tapi bisa mengalirkan renik bangkai? Apakah bisa? Dari waktu? Lewat mana? Sebagai sebuah bayang-bayang? Tapi jika sebagai sebuah bayang-bayang, kenapa juga ada ikan terkapar di sana? Wujud yang abstrak dan yang konkrit di sini bercampur aduk tak karuan dalam ruang imajinasi metaforis yang coba dituliskan tak hati-hati oleh Willy.

(2) Rajah Batu

Tuhan, aku batu.
Pada kata-kata yang hilang ucap
kutemukan diriku sebegini kaku.

Teriakku hanya milik palumu
yang selalu meretak-retak aku
dan kembali kusampaikan padamu
sebagai doa atau semacam apologia
atas seluruh cinta yang remaja.

Tuhan, aku batu.
Dari dingin juga angin
yang mengental:
di mana aku berasal.

2013-2018

Pada sajak “Rajah Batu,” kita melihat bagaimana Willy mencoba menggunakan metafora batu untuk menjelaskan kondisi si aku lirik. Predikasi yang digunakan secara lebih spesifik dari batu tersebut adalah kata sifat kaku.  Lantas, bagaimana imaji kekakuan batu itu digunakan oleh Willy dalam puisinya?

Kata kaku yang digunakan oleh Willy di sana, kita temukan dalam rangkaian kalimat “Pada kata-kata yang hilang ucap, kutemukan diriku sebegini kaku. Teriakku hanya milik palumu
yang selalu meretak-retak aku.”
Dari kalimat ini, kita akan mendapatkan imaji yang ambigu dan kurang jelas apa yang dimaksud dari imaji kaku di sana: kaku dalam berkata-kata, atau kaku dalam wujud.  Jika imaji yang dirujuk adalah kaku dalam kata-kata, maka sebenarnya kita akan mengalami kebuntuan imaji, mengapa? Sebab, batu sebagai sebuah eksisten, ia bukanlah sesuatu yang “kaku” dalam konteks berucap, ia lebih dari sekedar kaku, yaitu bisu. Dengan kata lain, pilihan imaji kaku yang disimpan di sana kurang tepat. Lantas, jika rujukan imaji yang hendak digapai adalah imaji kekakuan batu sebagai wujud, maka imaji tersebut akan menjadi berbenturan dengan imaji yang ditimbulkan oleh kata “teriak,” “doa,” “apologia,” yang justru asosiasinya adalah dengan imaji auditif, bukan taktil.

Ketidakhati-hatian tersebut pula terdapat ketika Willy menutup sajak tersebut dengan menghadirkan kembali imaji batu sebagai wujud, bukan sebagai bangunan imaji auditif. Artinya, dengan kembali mengabaikan intensi awal pada imaji auditif yang sudah dibangun sebagai pembuka. Dari sajak kedua ini, saya melihat, bahwa pada diri Willy ada semacam kecenderungan sering “berambisi untuk aforistik” (quotable sebagaimana banyak juga diidap penulis puisi tahun 2000an hingga generasi twitter-instagram) namun mengabaikan bangunan asosiasi imaji yang ada dalam tubuh puisinya; dan kecenderungan demikian, memang saya temukan pada puisi-puisi lainnya.

(3) Sajak

Seseorang
membacakan sebuah sajak
seperti jerit-jerit hutan kesepian,
deru mesin di jalan-jalan,
gemuruh rumah-rumah terbakar,
dan tangis manusia habis kata.

Dan dalam kepala,
sajakpun jadi anjing-anjing galak
yang lirunya kental,

Menetes
bagai ajal.

2013-2018

Pada sajak berjudul “Sajak” di atas, kita menemukan usaha Willy kembali menggunakan perangkat perumpamaan sebagai senjata utama dalam membentuk puisinya. Pada bagian penggunaan perumpamaan, ia menumpuk sejumlah imaji-metaforis terutama pada bait pertama: jerit hutan kesepian, deru mesin di jalan-jalan, gemuruh rumah tebakar, dan tangin manusia habis kata.

Jika kita baca sekilas, maka kita akan menemukan dengan tumpukan imaji tersebut Willy hendak menyampaikan situasi imajis yang penuh dengan nuansa psikologis yang kalut. Namun,  jika kita zoom in, terutama pada imaji “deru mesin di jalan-jalan,” maka kita akan mendapatkan pesan psikologis yang berbeda dari pesan psikologis pada “jerit-jerit hutan kesepian, gemuruh rumah-rumah terbakar, dan tangis manusia habis kata.” Pesan berbeda yang seperti apa? Yaitu, pada imaji “deru mesin di jalan-jalan” kita hanya mendapatkan pesan keriuhan, kesumpekan, atau mungkin sebuah imaji mengenai banalitas keseharian masyarakat urban kota yang dipenuhi kemacetan demi mengejar kesejahteraan hidup. Sesuatu yang justru berbeda dari tiga imaji yang lainnya.

Belum lagi, jika kita mencoba bertanya, imaji yang seperti apa yang hendak dihadirkan mengenai seseorang yang tengah membacakan sajak di hadap sang aku lirik, apakah ia membacakannya dengan tanpa suara seperti jerit hutan kesepian yang tak dikunjungi manusia? Atau dengan riuh seperti riuhnya suara kendaraan di jalanan? Atau dengan bergemeretak seperti rumah terbakar? Atau berteriak-teriak seperti orang menangis kejar? Kita tidak akan mendapatkan kesimpulan, sebab imaji kesemuanya itu memang dijadikan rujak campur.

Pada bagian penutup, sudah saya singgung, kita di sini kembali menemukan semacam keinginan Willy untuk buru-buru menjadi aforistik dengan menghadirkan sebuah “petikan” kalimat yang nampak “hiperbolis” namun lagi-lagi lepas dari bangunan imaji utamanya. Yaitu, bagaimana tiba-tiba seekor “anjing galak yang liurnya kental menetes bagai ajal,” itu muncul dalam serangkaian imaji rujak campur tadi? Sebagai anjing liar, atau sebagai polisi? Pertanyaannya, kemudian, kenapa Willy mengatakan secara similis bahwa air liur seekor anjing menetes “bagai ajal?” Apakah ajal adalah sesuatu yang menetes dan benar-benar berasal dari langit? Lepas dari dan mengatasi manusianya? Atau sebuah peristiwa yang justru tidak seperti itu? Duh!

(4) Jendela dan Lubuk Sajak

Seseorang
menyimpan sepasang sorot jurang.
Maut pun terlepas satu persatu.

Di tubuhmu yang curam
kuhayati retak dan jatuhnya batu-batu
yang pulang sebagai palung
dan menjadi kata-kataku.

Berkali-kali
aku mengingat bunuh diri,
melempar sunyi dan nyeri
tepat ke pucuk-pucuk sajak
yang bangkit dari kata-kata rusak.

Tapi aku tak juga arti.

Yang kubisa hanya
mengoyak-ngoyak pedih,
mencungkil denyut dalam nadi
sampai rubuh ke lubuk-lubuk sajakku.

2013

Pada sajak di atas, kekacauman makna kembali dapat kita temukan sejak pada bait-bait permulaan. Sebagai contoh, ketika pada bait pertama kita menemukan metafora “sepasang sorot jurang,” yang dengan itu menjanjikan sebuah imaji mengenai mata, tetapi pada bait kedua justru muncul kalimat “Di tubuhmu yang curam,” yang justru memberikan intensi kepada tubuh, bukan kepada mata. Hal ini menunjukkan bahwa Willy kembali tidak focus dalam membangun asosiasi metaforiknya.

Kemudian pada kalimat, “kuhayati retak dan jatuhnya batu-batu yang pulang sebagai palung,”  kita menemukan, bagaimana Willy yang hendak menggunakan permainan ala-ala Jokpin dengan menyandingan dua kata yang secara morfologis sama jumlah huruf namun berbeda posisi huruf (palung-pulang), ia justru tak melihat bahwa dengan itu malah mengacaukan imaji metaforis yang hendak dibangunya. Bagaimana bisa, Willy memilih kata Palung alih-alih Keping untuk melengkapi imaji akan sebuah batu-batu yang retak dan jatuh? Dari sini, secara tak sadar, pengaruh kepenyairan dari tokoh besar lebih terlihat dalam Willy ketimbang usahanya untuk membangun komposisi puitiknya sendiri.

Ketidakjelasan imai dalam sajak tersebut pula terdapat pada bait ketiga. Mari kita perhatikan ketika Willy mengatakan, “melempar sunyi dan nyeri, tepat ke pucuk-pucuk sajak, yang bangkit dari kata-kata rusak.” Bagaimana bisa sesuatu yang dilemparkan kepada pucuk-pucuk sajak yang itu adalah merupakan sebuah sunyi, namun sekaligus juga dikatakan sebagai bangkit dari kata-kata yang itu meskipun rusak?  Apakah kata-kata itu identik dengan sunyi? Ini nampaknya perlu kembali direnungkan oleh Willy. Terlebih, pada kalimat selanjutnya Willy menulis, “Tapi aku tak juga arti.” Yang mana, artinya justru ini menandakan bahnya sesuatu yang sunyi itu justru sifatnya non-verbal, sesuatu yang sifatnya sebelum-kata. Dan bukankah, ketika sudah ada “kata-kata” di sana, maka, di kepala sudah “bunyi” dan tak sunyi lagi?

(5) Reggae Tengah Malam

            Bob Marley

Di malam yang ambang
dan sepasang mata keberatan,
aku menyusu bulan berelehan.

Angin itu:
marijuana yang memulangkanku
ke dada sebuah hutan.

Aku menyanyi sendirian
di selongsong sebuah senapan,
di kerongkong seekor singa jantan.

Sebuah revolusi,
seperti cinta yang bersikeras kubebaskan
dari kepal tangan dan derap kaki beribu orang.

2013

Pada sajak “Reggae Tengah Malam,”  kita melihat Willy kembali membubuhkan kata-kata yang berkeinginan untuk menjadi aforisme, “Sebuah revolusi, seperti cinta yang bersikeras kubebaskan, dari kepal tangan dan derap kaki beribu orang.” Tetapi lihat, bagaimana asosiasi imaji metaforis yang coba dibangunnya kembali Memendam TACAT. Mengapa? Sebab di sana dikatakan, bahwa sebuah revolusi yang notabene adalah salah satu sebauh jalan untuk memperoleh kebebasan, oleh Willy digambarkan seperti cinta yang bersikeras “kubebaskan,” seakan-akan, Willy hendak mengatakan, bahwa revolusi yang kata kerja itu, imajinya dikerdilkan menjadi seperti layaknya sebuah barang mati, dalam proses revolusi itu sendiri. Atau, jika kit abaca sepenggal, maka justru yang muncul adalah sebuah gambaran mengenai sang aku lirik yang berposisi sebagai sang tiran yang sedang berada di ujung tanduk cinta pada kekuasaannya sendiri yang sudah retak. Baca kembali perlahan, Sebuah revolusi, seperti cinta yang bersikeras kubebaskan.” Sekali lagi, “Sebuah revolusi, seperti cinta yang bersikeras (meminta untuk) kubebaskan.” [?]

Ada juga yang sebenarnya satu lagi agak masih sedikit menggagu pada sajak di atas. Yaitu, pada bangunan imaji yang hendak dibangun antara bait datu dan dua. Pada dua bait tersebut, tentu Willy hendak menggambarkan sebuah situasi, bukan dua situasi atau lebih. Nah, pada bait pertama kita melihat, bahwa gambaran si aku tengah berada dalam kondisi mata meredup dengan imaji “sepasang mata keberatan,” namun, pada bait kedua, justru di sana digunakan kata “marijuana” yang justru fungsi kimiawinya bukan untuk memberatkan mata. Marijuana, adalah salah satu zat adictif yang bukan merupakan bagian dari zat yang “memberatkan” (depresan) tetapi justru sebaliknya, “menguatkan” mata (anti-depresan).

(6) Si Gimbal

Pada rambutku
hari-hari kian berjejal
kusut dan gatal-gatal.

Waktu
mungkin telah meneteskan kutu-kutu
yang pelan-pelan merenggutmu
dari pikiranku.

Aku mau lepas kepalaku.
Pergi ke malam-malam
ke bulan, ke matamu.

Kemudian kulihat diriku
juga derita
berjalan bersama
saling menertawakan
sepuas-puasnya.

2013-2018

Pada sajak “Si Gimbal” di atas mari kita perhatikan pada bait dua dan tiga, ketika Willy menggunakan kutu sebagai metafora. Pada bait dua, digambarkan sebuah imaji sejumlah kutu pelan-pelan telah merenggut sesuatu dari si aku lirik. Tetapi, coba kita kawal narasi yang muncul kemudian pada bait ketiga, justru Willy hendak melepas kepalanya (yang sudah tanpa kamu itu) ke malam-malam dank e bulan, dan … ke matamu? Wait. Bukankah, si “mu” telah direnggut oleh sejumlah kutu? Lantas menagapa Willy justru ingin membawa kepadlanya kepada malam dan kepada bulan? Apakah agar terlihat indah sebab di sana ada citra “romatis” jika dihadirkan imaji malam dan bulan? Jelas, keputusan menghadirkan imaji malam atau bulan di sana adalah keputusan yang tak memiliki makna apapun, bahkan cenderung maerusak asosiasi makna metaforisnya. Sebab, yang harus dilakukan oleh Willy adalah justru memperdalam aspek dramatiknya untuk membawakan kepalanya ke dalam perut seekor kutu misalnya, kan seru! Karena toh kekasihnya ada di sana. Bukan, malah bermain-main dengan bulan, seperti orang yang kehilangan sesuatu lalu terjebak dalam pekerjaan melamun.

(7) La LLRona

            Frida Kahlo

Memandangmu
ada bayang sebuah galeri:
suntuk dan bisu.

Musim semi pun cucur
pada seloki-seloki tequila.
Dan terimalah ini
sebagai air mata dan kata-kata
untuk kesabaran kita.

Duhai Frida,
betapa kemabukan ini
adalah cinta yang menggila.

Aku teriak parah
menyandang seekor kijang
yang berlari-lari dalam diriku
dengan jantung berdarah-darah.
Seperti juga penghianatan itu
ialah panah-panah pemburu.

Maka biarlah tulang belulangku ngilu
menanggung segala keruntuhan itu:
cinta yang berkali-kali tumbuh dan jatuh
menindih dan melumatku.

Maka jadikalnlah aku ranjangmu:
sabar dan membakar.

2013-2017

Pada sajak “La LLrona” di atas, kita mungkin pertamakali tertarik dengan bagaimana Willy coba menghadirkan sebuah perjamuan minum dengan metafora musim yang ia cucurkan bersama segelas tequila. Namun, jika kita lihat bagaimana Willy menutup sajak ini dengan ungkapan, “Maka jadikanlah aku ranjangmu; sabar dan membakar,” maka kita akan melihat ketidak terkaitan imaji metaforis yang hendak digambarkan mengenai si aku lirik dari yang awal dengan yang akhir. Apakah ia dalam keadaan layaknya musim semi yang cucur dalam gelas minuman yang memabukkan, atau sebagai sebuah ranjang? Dari sesuatu yang digambarkan sebagai bagian dari peristiwa kosmos yang besar, kemudian tiba-tiba imaji metaforisnya itu jatuh kepada imaji perabot rumah tangga!

Sajak Llrona pula menumpukan pusat konflik sajaknya dalam penggunaan metafora. Pada metafora seekor kijang yang berlari di dalam diri, yang konon juga digambarkan telah dipanah oleh pemburu. Namun, pada bait kelima, mari kita lihat apa yang dihadirkan oleh Willy untuk memperluas imaji metaforiknya? Yang dihadirkan adalah, “Maka biarlah tulang, belulangku ngilu, menanggung segala keruntuhan itu: cinta yang berkali-kali tumbuh dan jatuh, menindih dan melumatku. Maka jadikalnlah aku ranjangmu: sabar dan membakar.” Pertanyaannya, sebagai sebuah bangunan metaforik, apa hubungan asosiatif rangkaian kalimat tersebut dari imaji kijang yang terpanah pemburu? Kenapa dari tubuh yang terpanah, kemudian bicara soal tulang belulang yang ngilu dan runtuh layaknya seekor rusa pasca tertindih balok es yang jatuh dari sebuah ledakan gunung es? Kenapa pula dari imaji terpanah kemudian dimunculkan imaji terlumat seakan-akan setelah terpanah, rusa tersebut bernasib pula disantap-makan setelahnya oleh para pemburu?

(8) Mencatat Demam

Segalanya
tak pernah seganjil ini:
selepas matahari dan malam
membesarkan jasadku yang layu
tak ada jam-jam datang
tak ada yang kusebut seseorang.

Sedang dalam debar, batu-batu gugur
jadi namamu. Jadi namamu.

II.

Pada hari-hari yang menyakitkan ini,
pada setiap bunyi jaket parasit
dan ranjang berderit ini:

Tuhan adalah bisik-bisik.
Dan aku insan yang tertidur
menyimaknya.

III
Saban kali peluk diketatkan,
tangan-tanganku ialah kematian.
Selalu bergetar oleh sentuhanmu.

Dan sekian orang yang kuingat.
Dan seribu jam di dalam, di luar diriku
semua adalah jarum-jarum morfin menyangat.

IV
Siapakah yang sedang berucap-ucap ini
Sedang dalam igau, kata-kata dan jam berlarian
seperti kiamat kecil yang kacau.

2014-2018

Pada bagian pertama sajak “Mencatat Demam” di atas, kita melihat Willy coba mengumpamakan tubuh dengan sesuatu yang layu dan membesar oleh matahari dan malam. Tetapi di sisi lain, ketika dalam kelayuan tersebut digambarkan ada sesuatu yang begitu keras keadaannya (dimetaforakan dengan batu), justru ia malah jadi gugur oleh matahari dan malam itu. Pada bagian ini, kita mendapatkan kesimpulan bahwa ada sesuatu yang selain berat untuk ditanggung oleh si aku lirik, tetapi juga benar-benar membingungkan.

Pada bait dua, di sana dimunculkan metafora parasit dan ranjang yang berderit. Entah hubungan asosiatif apa sehingga dari batu yang tak berlokasi, tiba-tiba Willy menghadirkan metafora parasite dan ranjang. Kemudian juga diungkapkan, bahwa dalam derit ranjang tersebut, “Tuhan adalah bisik-bisik. Dan aku insan yang tertidur menyimaknya.” Pertanyaannya, bagaimana bisa Willy dengan mudahnya melompat dari satu metafora kepada metafora lainnya tanpa menyelesaikannya sebagai deskripsi yang tuntas. Juga bagaimana bisa Willy menuliskan, bahwa si aku lirik  adalah sebagai sosok yang menyimak Tuhannya, tetapi justru dalam momen menyimak itu ia masih mendengar suara yang lain: suara ranjang dan parasit.

Lalu pada dua bagian setelahnya, Willy mencoba menggambarkan hal lain dengan imaji-imaji metaforis yang lain, dengan keterbatasan yang sama. Dalam hal ini, bisa saja saya menebak sebuah teka-teki dari beberapa imaji yang tak hadir di sana; bahwa si aku lirik sedang dalam kondisi demam yang seperti apa, dalam setting lokasi dimana, posisi tubuh seperti apa, serta dalam pola babak waktu yang seperti apa. Itu semua tak lain untuk menerangkan sisi-sisi gelap yang ada dalam sajak Willy, yang seharusnya tak.

Pada dasarnya, sajak “Mencatat Demam,” akan dengan mudah diraba maknanya bagi kita semua yang pernah merasakan sebuah demam, entah sebabnya apapun. Hanya saja, dengan susunan imaji yang terpecah-pecah dan hanya berkesan sepeti pernak-pernik, maka bagi pembaca yang tak memiliki latar horizon demam yang sama, akan mengalami lewat pada kegelapan jalan.

(9) Jam Pasir

Yumi Pratiwi

Mungkin kau tak mendengarku.
Ketika pasir-pasir meluruh itu jatuh
bagi khusyuk sepi dan tatap bangaumu.
kuteriak-serakah sebuah pernyatan cinta
di situ, dari pantai kesindirianku
yang panas nan cemas, yang tak berbatas
sebagaimana juga waktu.

Pernah aku jadi kura-kura
setelah berulangkali kecewa
dan tak mengerti juga
terhadap cinta manusia.
Kemudian kugali-gali mendalam
lubuk kata bagi telur-telur diriku
bertahun-tahun
hingga semuanya meretas dan lepas
ke samudra batinmu yang luas.

Dan ketika angin tiba mendesir
kepada hati siapa lagikah aku akan terusir
sebagai seorang penyair.

2014-2015

Kita sudah tahu, bahwa fungsi dari perumpamaan baik itu sebuah simile ataupun sebuah metafora, ditujukan untuk memperjelas sesuatu dengan menghadirkan imajinya secara konkrit dan juga clear. Tetapi, ketika kita membaca perumpamaan Willy pada bagian “di situ, dari pantai kesindirianku, yang panas nan cemas, yang tak berbatas, sebagaimana juga waktu,” kita lagi-lagi menemukan sebuah ketidak-clear-an Willy dalam menarik imaji pantai ke dalam bangunan matforisnya. Bagaimana bisa, Willy mengatakan di sana, klusa “yang tak terbatas,” tanpa perluasan keterangan lebih lanjut, padahal jelas, ketika kita membicarakan pantai, maka sesungguhnya justru kita sedang membicarakan sebuah batas: batas antara daratan dan lautan.

Ketidakjelasan juga terdapat pada pertautan antara imaji kura-kura yang dimetaforakan sebagai aku lirik yang tinggal di pantai, namun dalam penutup, kura-kura itu digambarkan merasa terusir hanya dengan sebab angina yang mendesir. Duh! Apakah sebegitu lembeknya seekor kura-kura dalam menghadai sebuah fenomena alam? Imaji metaforis yang dibangun Willy sekali lagi buruk.

(10) Jika Aku Tak Menulis Puisi

Jika aku tak menulis puisi
aku merasa tak berada di mana-mana
seperti udara jika tak menyentuh apa-apa.

jika aku tak menulis puisi
seperti takkan pernah mengerti: kangen dan cinta
yang dipuja manusia itu semenakjubkan apa.

Jika aku tak menulis puisi
tak tahu, akankah kedua tanganku meremas dadamu
atau kepala migrain seorang ibu di ruang tamu.

Jika aku tak menulis puisi
terasa ada batu dalam kelaminku.

Jika aku tak menulis puisi
sungguh mustahil tiba di larik-larik ini.

2015

Pada sajak “Jika Aku Tak Menulis Puisi,” Willy relatif aman ketika hendak mengatakan gagasan mengenai salah satu fungsi pelaksanaan kegiatan seni (puisi) sebagai salah satu mekanisme pertahanan diri (Freud, konversi) dari kecemasan psikologis. Sajak ini menggunakan struktur perluasan deskriptif akan sesuatu yang ditopang dengan repetisi dan metafora seperti dalam beberapa sajak Sapardi. Namun, dalam struktur yang demikian, sebenarnya jika kita hendak mengejar asosiasi imaji metaforisnya, maka kita akan melihatnya sebagaimana melihat pola puisi naratif, yang mana dalam struktur alur teksnya terdapat pendakian naratif (intro-konflik-klimaks-penutup) yang maksimal. Namun, pada sajak di atas, nampaknya kita juga belum menemukan hal tersebut, yaitu sebuah pendakian nuansa psikologis dalam sebuah struktur deskripsi.

Pada bait pertama, kita disuguhkan dengan metafora udara yang seakan-akan hendak memberikan imaji kepada pembaca bahwa si aku lirik dalam kondisi yang tak terjangkau mata kasat. Pada bait kedua, keadaan aku lirik digambarkan dalam kondisi kebingungan mengenai sebuah perkara yang sifatnya tak hanya tak kasat mata tetapi begitu abstrak. Pada bait ketiga, nah di sini mulai muncul masalahnya ketika saat pembaca sudah membangun imaji dari yang tak kasat ke yang abstrak, cenderung mengarah ke dalam diri, tiba-tiba Willy menyuguhkan sesuatu yang sifatnya justru kebingungan pada perkara jasad kasar dan cenderung problem ruang di luar-diri. Begitu juga ketika kita melanjutkan pada bait empat yang bicara soal banalitas kelamin.

Ketidakterarahan alur deskriptif demikian, juga makin nampak pada bagian penutup yang anti-klimaks, yang tak lagi membahas objek apa-apa, suguhan metaforis apapun yang punya asosiasi dengan metafora-metafora sebelumnya, melainkan justru hanya sebuah penutup yang klise mengenai keberadaan produk puisi yang baru saja ditulisnya; iniloh, “Jika aku tak menulis puisi, sungguh mustahil tiba di larik-larik ini.“ Ya, saya rasa hampir setiap pembaca juga tak perlu lagi diberi tahu lagi mengenai itu.

(11) Apologia Tengah Malam

Tiba-tiba aku talanjang dan dungu
di bawah tatapan lampu-lampu
setelah kisah-kisah kemuliaanmu.

Anjing!
Dusta menyalak nyaring
minta sepotong batin.

Tiang-tiang merkuri,
pohon dan bunga-bunga.
Semuanya tertunduk
seperti apologi diriku.

Ketika sajak mendalam malam
palusku menulis Tuhan.

2015

Pada sajak “Apologia Tengah Malam” di atas, pula kita melihat bagaimana Willy menggunakan imaji-imaji yang terpecah-pecah dari mulai lampu-lampu, masuk kepada imaji anjing, masuk kepada imaji tiang-tiang merkuri, pohon serta bunga-bunga, sebagai perumpamaan untuk kondisi batin penulis. Yang kembali disayangkan adalah, Willy tak juga menatanya dengan baik. Seakan lagi-lagi antar bait adalah sebuah fragmen-fragmen tersendiri yang tak punya urusan asosiasi metafora satu sama lain. Dan yang paling fatal pada sajak ini adalah, nampaknya Willy juga tak berhasil menggunakan kata apologi dengan benar-benar tepat. Mengapa? Sebab pada bait tiga, Willy menyetarakan dalam sebuah simile kata apologi dengan imaji tertunduk. Padahal, inti dari apologi bukanlah sikap tunduk, justru sebaliknya, sikap mengelak pada sebuah “tuntut.”

(12) Nonsense

Tiba juga,
di dini hari tanpa kor apa-apa.
tidak ada alarem
untuk mengingat jadwal tidur.

Masih juga mengira-ngira
sinyal telfon genggam itu
morse lain dari kepergianmu.

Lalu embun putus-putus
pada kepala –seperti lelucun kecil
dari sepi atau semesta.

Migrain…!

Awas bahasa meletus
dari dalam kepala

2015

Saya kira, jika pada sajak di atas, pilihan kata “kor” dan “morse” dicabut dan diganti dengan kata yang non figurative dan lebih prosaik (bahasa langsung), mutlak sajak di atas adalah sajak yang lebih mirip igauan dini hari ketimbang sebuah produk kreatif. Bayangkan, pada bait awal mengenai bunyi alarm yang mana ia berdering di dini hari, Willy justru atasnya membuat keterangan fungsional “mengingat jadwal tidur,” yang jika kita renungkan ulang maka jangan-jangan yang lebih tepat adalah “mengingat jadwal bangun,” karena dini hari adalah memang waktu agar orang-orang untuk segera bangun, bukan tidur.

Begitu pula jika kita kejar relevansi perumpamaan “kor” dan “morse” dalam rangkaian sajak ini tak membuat sajak ini menjadi berkembang, dan keberadaannya di sana sebagai metafora begitu jelas sebagai tempelan belaka. Terlebih, sajak ini diperparah dengan keberadaan slogan mengenai bahasa yang akan meletus dari kepala yang dipajang di bagian akhir, membuat sajak ini benar-benar klise.

(13) TENGAH MALAM BUAT ANJING

Bulan sipit, sinis.
Geraham tengah malam,
semenggigit moncong-moncong
para pemuja keagungan masa silam

Anjing!

Seonggok dagingku fana,
seperti dunia! –tapi tidaklah bahasa.

2015

Saya rasa, sajak di atas adalah sajak pendek yang sebenarnya memiliki makna yang kuat, sebab vitalitas aku liriknya yang tetap menyalak dalam melawan kematian. Hanya saja, kecenderungan rancunya asosiasi perumpamaan yang digunakan lagi-lagi tetap terjadi.

Pada bait penutup kita bisa perhatikan, ketika Willy menulis,  “Seonggok dagingku fana, seperti dunia!” Jujur saja saya tak mengerti, mengapa sesuatu yang sudah jelas bagian darinya, ia seolah-olah menjadi sesuatu yang terpisah sehingga dibutuhkan teknik simile untuk mendekatkan sifatnya: daging dan dunia. Bukankah, daging adalah bagian dari yang duniawi juga?

Tunggu dulu. Jangan salah faham. Sudah barang tentu saya mengerti maksud maknawi yang dikehendaki seperti apa. Hanya saja, sebagai tata cara penggunaan sebuah perangkat puitik, pada konteks ini adalah teknik metafora secara khusus dan perumpamaan secara umum, betapa kita melihat kerancuan tersebut.

(14) EPIDEMI DINGIN

Buat Goen

Dingin itu kembali mencatatkan hampa
dengan thermometer yang retak.

Tapi kota tak lebih basah
daripada kesunyian manusia
setelah meninggalkan sebuah desa.

Angin sepanjang sungai
seperti bahasa kekuasaan
seorang tuan kota kita
untuk mengusir.

Dan kau tetap saja
di sana!
(bersandar pada suasana)

seakan-seakan hanya
meminjam gerimis dan cahaya
dan pendaran warna

untuk berenang ke dalam kata
untuk tenggelam di mimpi
seorang pembaca.

Tuhan, kenapa puisi cuma
hiburan bagi sepi semata?

2016

Saya kira, problem yang sebenarnya begitu menonjol pada sajak “Epidemi Dingin” adalah pada kegagalan Willy dalam menangkap semangat eksistensial sajak “Dingin Tak Tercatat” milik Goenawan Mohamad yang tak dapat dilepaskan dari wacana ke-Malin-Kundangan GM sendiri yang terkutuk sebab ia telah meninggalkan desa; esai “Sosok Penyair Muda sebagai Malin Kundang.” Sehingga, misalnya, semacam kalimat gugatan “Tapi kota tak lebih basah, daripada kesunyian manusia. Setelah meninggalkan sebuah desa,” menjadi tak ada artinya, atau bahkan menunjukkan ketidakpahaman.

Lalu ketika Willy menulis “Angin sepanjang sungai, seperti bahasa kekuasaan, seorang tuan kota kita, untuk mengusir,” seakan-akan Willy tidak pernah membaca esei-esai GM lainnya seperti teks pidato penghargaan yang berjudul “Kesusastraan Sebagai Pasemon,” esai-esai pada buku “Setelah Revolusi, Tak Ada Lagi?” atau esai-esai buku “Sex, Sastra dan Kekuasaan,” dan seterusnya dan seterusnya.  Tentu, pada bagian ini, saya pula tak hendak membela sikap politik dan ideologis GM terhadap  kekuasaan di zamannya, tetapi, sangat kerdil sekali jika coba meng-interteks GM melalui cara interteks yang permukaaan (banal) seperti itu, yang berujung pula akhirnya tentu pada kegagalan teknik puitiknya.

Kegagalan dalam menangkap semangat eksistensial dari sajak milik GM, jelas pada akhirnya pula membuat Willy gagal secara teknis dalam memaksimalkan perangkat metaforisnya, baik untuk membongkar metafora-metafora yang dihadirkan oleh GM dalam sajaknya itu, atau bahkan melalui umpan balik metaforis yang dilemparkannya kepada pembaca yang akhirnya membuat hasil interteks tersebut tak “demam-to-demam.”

Tuhan, kenapa puisi cuma hiburan bagi sepi semata?” petik Willy. Padahal, dalam “Dingin Tak Tercatat,” GM menulis, “Tuhan, menagapa kita bisa bahagia?” Sebuah pertanyaan filsafat, yang sejak zaman dialog antara Diotama dan Socrates merupakan sebuah tema yang mengatasi segala debat: tentang cinta, kesenian, kesehatan atau debat apapun tak terkecuali debat politik di Athena; tema mengenai tujuan puncak hidup manusia, yaitu: eudaimonia.

(15) DI BANDUNG SELATAN

Di selatan, udara adalah seseorang
dengan tempramen yang permanen
orang-orang dan pohon-pohon bernapas
atas bubuk-bubuk bukit pengerukan
dan bau pabrik coklat
yang makin mirip saudara dekat.

Barangkali seseorang akan mencintai sebuah pagi
yang mengirim berpuluh buruh ke jalan
ke pintu-pintu mobil angkutan, berjejeran.

Barangkali seorang anak akan meneladani ikan-ikan
yang berkecipakan di balik Citarum yang hitam.
Dan Tuhan adalah keajaiban liar di luar akal
yang telah menghidupkan segala hal.

Adakah sepatah kata hendak kau katakan
ketika bertahun-tahun hujan menyuntikan banjir
ke dalam tidur dan lamunan setiap orang. Ketika cinta
juga keyakinan tak lebih seekor kucing pincang
membongkar bak sampah di sudut halaman.

Ambilah, ambilah.
Kubagikan daging nasibku
sepotong-sepotong kepadamu.

2016

Sampai kita pada pembahasan 2/3 puisi dalam buku “Mencatat Demam” ini. Namun, sampai pada bagian ini pula kita masih menemukan ketidakrampungan teknik perumpamaan, yang digunakan oleh Willy.

Kita bisa membaca baik-baik sajak “Di Bandung Selatan.” Di sana ada metafora untuk udara yang diheadline di baris awal layaknya headline berita di sebuah koran nasional yang begitu meyakinkan; “Di selatan, udara adalah seseorang.” Namun, sebagaimana kecenderungan segala sifat permukaan yang diidap oleh generasi zaman sekarang, headline tinggallah headline. Koran nasional tinggallah selembar “broadcast digital.” Layaknya laporan berita yang asal viral, kekuatan menonjoknya hanya bertahan pada paragraf (baca: bait) awal. Maka setelah itu, apa udara tak ada lagi, Jal? Dan ibarat ikan-ikan di sungai Citarum yang dipenuhi segala sompral, pembaca (dan juri sayembara tentunya) yang masih bertahan seakan hanya telah menghirup setetes keajaiban liar dari Tuhan yang suka turut takdir dengan cara-cara yang tak masuk akal. Duh, Jal!

(16) MADAH MENCINTAIMU

Masih juga lesatan kereta
Kenangan-kenangan minggat tanpa bahasa.
Waktu, udara, kibas-kibasan kerudungmu
yang hampa adalah bahasa lain dari fana.

Tak lagi ingin kutanya
dari mana datangnya cinta. Tak lagi.
Juga dalam larik-larik picisan ini.

Aku mencintaimu, masih.
Masih sumur tak berdasar
Masih 129 kilometer
dari kampung halaman yang gusar
Masih lubang hitam rahasia
di dalam bahasa
Masih dedak kopi dan malam insomnia
Masih segumpal tar
yang mengabadikan namamu
di paru-paru.

Aku mencintamu.
Berjalan. Berjalan tanpa jalan
tanpa pertanyaan: kepada siapa berjalan.
Tak peduli matahari mencair dan pohonan
mencengkramkan akarnya dalam pikiran.
Tak peduli kemeja dan celana jeans
mulai lusuh bagai wajah mengeluh.

Dan di tengah-tengah kota,
di suatu waktu yang hampa,
kata-kataku adalah kereta-kereta

selalu bergemuruh padamu.

2016-2018

Pada sajak “Madah Mencintaimu,” kita bisa menemukan Willy menggunakan dua kali metafora kereta untuk menyampaikan gagasannya yang berbeda. Pada bagian awal untuk menyampaikan pesan adanya lemah kekuatan atau acuh sikap dari ingatan yang mudah lepas bagai kereta, juga pada bagian akhir untuk menyampaikan adanya kekuatan sikap dan bahkan justru begitu ngotot dalam mengintervensi kesadaran lawan bicaranya. Dari sini, kita bisa melihat, terlepas Willy sadar atau tidak sadar ketika menggunakan dua kali metafora kereta ini, kita menemukan ambiguitas imaji, keterbelahan citra mengenai kereta: satu positif, satu lagi negatif.

Pada konteks ini, Willy sebenarnya tak berhak jika hendak mengatakan ini adalah dengan tujuan membangun paradox dalam tubuh puisinya, sebab, apa yang diungkapkan oleh Willy mengenai kereta ini tak memiliki sebuah deskripsi yang cukup jika hendak dikatakan seperti demikian. Bahkan, jika kita hitung dari jumlah baitnya, perhatian pada banyak perkara imaji lainnya (sumur, kopi, lubang hitam, segumpal tar, matahari yang mencair, kemeja, celana jeans dan-seterusnya-dan-seterusnya-dan-seterusnya-…) jauh lebih menumpuk menjadi satu.

(17) Jika Aku Tak Jatuh Cinta

Jika aku tak jatuh cinta
kau bolehlah pergi
dan menjatuhkan ludah
di atas puisi ini.

Biarlah Tuhan menegakkanku
dengan seratus hujan,
tangan-tangan kutukan,
atau sebentang mimpi
untuk membuka esok hari
dan esok hari.

Pergi dan yakinkan mereka
bahwa anak-anak akan terus lahir
sebagai olok-olokan semua kepalsuan.
Bahwa kejujuran adalah inti mata
untuk membaca dan memuali segalanya.
Bahwa perang mulut dan keyakinan
hampir mati karena artinya sendiri.
Bahwa para remaja tak perlu tergesa
meninggalkan rumah untuk jatuh cinta
cukup mulai belajar mengesol sepatu bolong mereka.
Atau menggendong seorang ibu lumpuh
di ranjangnya untuk sedikit menghargai dunia.

Pergi dan berikan mereka
kata-kata untuk memberi jalan
pada rasa sedih dan kecewa
dari keputusasaan manusia.

Dan jika aku tak jatuh cinta,
pergi dan bawa jauhlah kata-kataku
dari rindu-dendam yang keras kepala.
Besarkan mereka
dengan rasa terimakasih dan bahagia

2017-2018

Saya kira, banyak pembaca akan sama merasakan bahwa sajak di atas merupakan salah satu sajak milik Willy yang juga tak jelas rute pembicaraannya.  Ibarat seorang guard museum, pada sajak ini Willy Nampak tak tahu harus dari mana, ke mana dan berakhir di mana ia membawa para tamunya untuk melihat-lihat gambaran mengenai sejumlah potret yang ia kumpulkan dalam ruang hidup dan fikinya. Terlalu banyak imaji-imaji (yang juga sekaligus berperan sebagai metafora) seakan hendak dijejalkan kepada pembaca tanpa mempertimbangkan dalam konstruksi deskriptifnya, mana yang perlu untuk dibangunkan, mana yang tidak.

Bayangkan, pada bait awal Willy memberi penekanan pada bicara soal status puisi, pada bait kedua membangunkan imaji hujan, tangan-tangan kutukan, mimpi, dan harapan akan hari esok secara bersamaan, pada bait ketiga Willy membangunkan imaji kelahiran anak-anak, olok-olok, kejujuran, perang mulut, remaja, mengesol sepatu bolong, menggendong seorang ibu lumpuh dan pada bait empat bicara keputusasaan hidup, kemudian pada bait terakhir bicara soal rindi-dendam, rasa terimakasih dan bahagia. Membaca ini semua, perasaan seperti membaca daftar berita di dalah satu laman situs berita Detik yang mana hampir setiap detik kita disuguhkan daftar bacaan berita yang asal terus berjalan, tanpa perlu mau tahu mana yang harus diperdalam.

(18) Aku Ingin Tidur

Aku ingin tidur
di atas kata-kata mati
yang memanjang
dari teriakan orang-orang suci.

Aku ingin tidur
sebagai remah-remah bangkai
yang dipanggul semut-semut lapar
dan bersaudara. Karena keinginan,
keinginan dan keinginan liar,
karena ketidakpuasan dan rasa benci
karena hasrat untuk segala memiliki
adalah perang yang menyakitkan.

Aku ingin tidur
dan bangun pagi
dan pergi ke ladang
dan memulai hari
dengan berhenti menggali kepala
oleh hutang dan janji-janji.

Aku ingin tidur
di atas telapak tangan seseorang
yang berdoa atau seorang pemaaf.

Aku ingin tidur
di atas sajak-sajak
yang membangunkan seseorang
dari kesedihan dan putus asa.

2017-2018

Pada sajak “Aku Ingin Tidur,” tentu kita tidak bisa memaksakan untuk mengejar ketepatan asosiasi imaji di antara metafora satu dengan metafora yang lainnya. Sebab, apa yang disampaikan jelas, bukan sebagai sebuah rangkaian utuh, melainkan sebagai keingnan ini, keinginan itu; aku ingin begini, aku ingin begitu; ingin ini, ingin itu banyak sekali. Tentu, itu semua, semua, semua-semua, dapat dikabulkan, dapat dikabulkan dengan … lagi-lagi, puisi ajaib! Ya, puisi yang ajaib, yang pengerjaannya di luar kuasa akal sehat.

Lihat saja, citra psikis yang dihasilkan dari setiap metafora yang dibangun di setiap baitnya, apakah saling mendukung atau plin-plan hingga saling bertabrakan: bait 1 harapan pada imaji psikis yang pasrah-pasif, bait 2 sama imaji kepasrahan yang pasif, bait 3 imaji psikis yang justru sebaliknya ingin masih menjadi aktif, bait 4 citra psikis yang kembali pasrah pasif, bait 5 kembali kepada keinginan untuk masih memiliki vitalitas dalam hidup. Bayangkan, betapa baling-baling bambunya puisi ini, Nobita!

Puisi ke-19: Surat Cinta Yang Rusak

[null!];

 

Puisi ke-20: Di Bawah Langit Bungbulang

[null!];

 

Puisi ke-21: Jeda

[null!];

 

Puisi ke-22 Di Ujung Kata

[null!]

[null!]

[null!].

 

PENUTUP

Dari penelusuran hampir lengkap satu buku di atas, pada kesempatan ini saya hendak katakan sekali lagi bahwa penggunaan teknik metafora yang dikerjakan oleh Willy adalah satu penggunan teknik yang standar saja sebagaimana dilakukan oleh teman satu generasi yang lainnya: yaitu sebagai perangkat puitik untuk mewakilkan sebuah konsep (abstrak?) kepada perumpamaan-perumpamaan konkritnya, sebatas itu, bukan sebagai metafora yang antara satu metafora dengan metafora lainnya juga sekaligus dibangun berdasarkan susunan imaji yang saling ikat dan saling kait makna.

Adapun jika lebih dari itu, mungkin matafora sebagaimana umumnya pula diarahkan untuk hanya sekadar mengejar “ungkapan-ungkapan” verbal yang segar, sebagaimana juga dilakukan dengan senantiasa berlomba-lomba oleh banyak penulis Indonesia modern dari berbagai usia dan tempat. Misal oleh Jokpin dalam “Matamu: Padang Ilalang,” Indrian Koto dalam “Pledoi Malin Kundang,” Sihar Ramses Simatupang dalam “Semedi Akar Angin,” Handoko F. Zainsam dalam “Ma’rifat Bunda Sunyi,”  Malkan Junaedi dalam buku “Chelsea Islan Terbang ke Bulan,” Adimas Immanuel dalam “Almanak Bencana dan Sajak-sajak Renjana,” Inggit Putri Marga dalam “Empedu Tanah,“ atau oleh Mario F. Lawi dalam “Keledai yang mulia,” dan sebagainya dan sebagainya.

Maka maksud umum dari kritik saya pula di situ, lagi-lagi, yaitu hendak mengatakan bahwa jika alasan dimenangkannya Willy sebagai “jagoan di sayembara” adalah sebab cara Willy dalam mengerjakan teknik perumpamaannya, atau metaforanya, maka kenyataan sesungguhnya adalah demikian adanya, sebagaimana banyak anak zaman now yang suka mengumbar metafora, tapi di sisi lain tanpa memperhatikan logika makna yang ada dan berpusar di dalam dan sekitar imaji yang hadir di dalamnya. Kebanyakan dari mereka (yang coba saya wakilkan di sini melalui Willy) masih berfikir, bahwa memperlakukan metafora dengan main tempel-tempel saja secara terpisah (terfragmen) layaknya ibu-ibu arisan mengenakan pernak-pernik perhiasan yang seringkali asal “rempong” tanpa pertimbangan  pikiran (hubungan logis), itu sah saja.  Duh! Sebagai ibu-ibu arisan, gaya itu hal yang utama dan memang penting. Begitu juga sebagai penulis karya kreatif, gaya bahasa itu mungkin sekali juga begitu penting. Tapi, jika caranya demikian, mengabaikan logika asosiasi imaji metaforisnya, sehingga nampak di sana jejak isi pikiran yang kacau, ya… tunggu dulu, tunggu dulu.

Juga perlu dicatat, bahwa gugatan terbuka yang saya tulis ini bukanlah merupakan gugatan yang secara praktis dihaturkan kepada Willy sendiri, melainkan tentu kepada lembaga yang telah memutuskan hasil sayembara terkait. Adapun terhadap Willy sendiri saya hanya hendak mengatakan sekali lagi, bahwa bukan berarti saya mewajibkan Anjeun (Anda) untuk merevisi puisi-puisi yang sudah dicetak itu. Hanya tentu, apa yang saya utarakan berkaitan dengan buku “Mencatat Demam,” semoga dapat menjadi pelajaran untuk menggarap buku selanjutnya. Sebab apa? Sebab Anjeun (Anda) sendiri–sejak naik ke atas panggung di atas banyak punggung, sudah dan harus tetap memikul tanggung jawab tersebut, di depan publik sastra kapanpun dan di manapun berada.

Cirebon, 11-20 Februari 2020

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *