Dari “Mencatat Demam” karya Willy, padahal dengan mudah kita bisa menemukan: [1] Tema dan penjudulan buku yang sangat umum sekali: “Mencatat Demam”—yang dengan itu menujukkan ketidakadaan kesegaran problem utama yang hendak ditawarkan kepada publik luas untuk dijadikan bahan perbincangan, [2] jangkauan topik di bawah tema yang hendak dimajukan yang tidak punya rentang-eksplorasi yang luas sebagai sebuah penjelajahan batin, baik dari segi pengalaman spasial penulisnya, persentuhan dengan realitas sosial-politik yang serius di zamannya, pergulatan dengan kebudayaan yang melingkupinya, pergumulan dengan berbagai doktrin agama yang dianutnya, ke-intens-an interkstualitas dan ketekunan penelusuran terhadap berbagai major text (khazanah penting) lain dalam bank data kesusastraan dunia-nasional-bahkan lokalnya, maupun pergulatan dengan Ars Poetica-nya itu sendiri. Dari segi penggunaan teknik [3], kita pula tak menemukan ekplorasi teknik yang bisa membuat kita merasa bahwa inilah sebuah naskah yang patut untuk diunggulkan (lagi-lagi) dari sekian naskah-naskah lainnya; sebab menawarkan ruang permainan “khas,” “typical” (menandai penulisnya) dan-atau mengusahakan satu eksperimen menuju “kebaruan.” Apa yang digunakan oleh Willy adalah hal yang relatif menjadi standar dalam pengerjaan puisi-puisi liris pada umumnya: mengedepankan permainan rima dan pemanfaatan metafora yang justru menjadi salah satu teknik arus utama bagi generasi penulis muda, terutama “yang berproses” di Jogja; bisa cek buku “Misa Arwah” milik Dea Anugrah, “Angin Apa Ini, Dinginnya Melebihi Rindu” antologi bersama milik Ramayda Akmal, Asef Saiful Anwar, Fitriawan Nur Indrianto, “Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu” milik Alfin Rizal, “Mencintai Kamar Mandi” milik Rabu Pagi Syahbana, “Metamorfosis Kupu-Kupu” milik Saeful Huda, dan sebagainya dan sebagainya. (Shiny.ane el’poesya)
klik selengkapnya kritik puisi-puisi Willy Fahmy Agiska di link ini https://mbludus.com/kritik-puisi-pemenang-sayembara-hpi-2019/
[iklan]
Mencatat Demam
I.
Segalanya
tak pernah seganjil ini:
selepas matahari dan malam
membesarkan jasadku yang layu
tak ada jam-jam datang
tak ada yang kusebut seseorang.
Sedang dalam debar, batu-batu gugur
jadi namamu. Jadi namamu.
II.
Pada hari-hari yang menyakitkan ini,
pada setiap bunyi jaket parasit
dan ranjang berderit ini:
Tuhan adalah bisik-bisik.
Dan aku insan yang tertidur
menyimaknya.
III
Saban kali peluk diketatkan,
tangan-tanganku ialah kematian.
Selalu bergetar oleh sentuhanmu.
Dan sekian orang yang kuingat.
Dan seribu jam di dalam, di luar diriku
semua adalah jarum-jarum morfin menyangat.
IV
Siapakah yang sedang berucap-ucap ini
Sedang dalam igau, kata-kata dan jam berlarian
seperti kiamat kecil yang kacau.
2014-2018
Jendela dan Lubuk Sajak
Seseorang
menyimpan sepasang sorot jurang.
Maut pun terlepas satu persatu.
Di tubuhmu yang curam
kuhayati retak dan jatuhnya batu-batu
yang pulang sebagai palung
dan menjadi kata-kataku.
Berkali-kali
aku mengingat bunuh diri,
melempar sunyi dan nyeri
tepat ke pucuk-pucuk sajak
yang bangkit dari kata-kata rusak.
Tapi aku tak juga arti.
Yang kubisa hanya
mengoyak-ngoyak pedih,
mencungkil denyut dalam nadi
sampai rubuh ke lubuk-lubuk sajakku.
2013
Epidemi Dingin
Buat Goen
Dingin itu kembali mencatatkan hampa
dengan thermometer yang retak.
Tapi kota tak lebih basah
daripada kesunyian manusia
setelah meninggalkan sebuah desa.
Angin sepanjang sungai
seperti bahasa kekuasaan
seorang tuan kota kita
untuk mengusir.
Dan kau tetap saja
di sana!
(bersandar pada suasana)
seakan-seakan hanya
meminjam gerimis dan cahaya
dan pendaran warna
untuk berenang ke dalam kata
untuk tenggelam di mimpi
seorang pembaca.
Tuhan, kenapa puisi cuma
hiburan bagi sepi semata?
2016
Di Bandung Selatan
Di selatan, udara adalah seseorang
dengan tempramen yang permanen
orang-orang dan pohon-pohon bernapas
atas bubuk-bubuk bukit pengerukan
dan bau pabrik coklat
yang makin mirip saudara dekat.
Barangkali seseorang akan mencintai sebuah pagi
yang mengirim berpuluh buruh ke jalan
ke pintu-pintu mobil angkutan, berjejeran.
Barangkali seorang anak akan meneladani ikan-ikan
yang berkecipakan di balik Citarum yang hitam.
Dan Tuhan adalah keajaiban liar di luar akal
yang telah menghidupkan segala hal.
Adakah sepatah kata hendak kau katakan
ketika bertahun-tahun hujan menyuntikan banjir
ke dalam tidur dan lamunan setiap orang. Ketika cinta
juga keyakinan tak lebih seekor kucing pincang
membongkar bak sampah di sudut halaman.
Ambilah, ambilah.
Kubagikan daging nasibku
sepotong-sepotong kepadamu.
2016
Rajah Batu
Tuhan, aku batu.
Pada kata-kata yang hilang ucap
kutemukan diriku sebegini kaku.
Teriakku hanya milik palumu
yang selalu meretak-retak aku
dan kembali kusampaikan padamu
sebagai doa atau semacam apologia
atas seluruh cinta yang remaja.
Tuhan, aku batu.
Dari dingin juga angin
yang mengental:
di mana aku berasal.
2013-2018
Willy Fahmy Agiska, pemenang sayembara buku puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2019