Penjual Koran dan Nenek Tua

Ruhan Wahyudi

Begitu dingin subuh mengecup embun, aroma tanah di halaman rumah, dimana hujan itu selalu menafkahi pohonan, mencumbu sebidang tanah. Sedangkan Hamid baru saja keluar dari kamar, matanya masih terlihat agak rapat, belum sempurna melihat kenyataan. Suara burung yang hinggap di pohonan membuat Hamid terkejut. Sebab, dimana setiap kicauan burung mengisyaratkan bahwa Hamid harus berangkat pagi-pagi untuk menjemput korannya di loket yang ia lamar beberapa bulan yang lalu, loket pun tak jauh dari rumahnya yang ia tempati sekarang ini.

Kemudian Hamid langsung beranjak ke kamar mandi yang dulunya asik duduk dengan mata yang begitu setengah matang. Tidak lama Hamid langsung keluar dengan seragam yang ia gunakan setiap hari untuk menjual korannya, sama seperti ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Tak banyak yang berubah dari masa itu, dia orangnya tetap ramah dan sabar meski banyak teman-teman kuliahnya sering mengejeknya.

[iklan]

“Nak, kau harus menjadi orang yang tangguh seperti bapakmu. Agar kelak kau akan merasakan sebuah kehidupan sepertinya, tetap damai dengan sesama.” Sambil menguraikan rambutnya yang baru saja keramas dengan jeruk hijau, dan ibunya pun meneteskan air mata setiap menyebut nama ayahnya Hamid, dan Hamid juga ikut menjelajahi kesedihan ibunya yang menimpa juga terhadap dirinya beberapa bulan yang lalu.

“Sudahlah Bu, jangan menangis terus,” dan Hamid berusaha menenangkan ibunya yang tampak merasakan masa lalunya yang sedih. Mungkin, akan indah jika dalam sebuah kebahagiaan itu menjadi utuh seperti semula.

Sebelum ayahnya menuntaskan usia, ia sempat berpesan pada Hamid di kamarnya “Mid, dunia itu hanya sebuah angka yang hanya sementara mencicipi manisnya kehidupan yang tak pernah usai.” Sembari ayahnya menyalakan sebuntung rokoknya yang baru saja diambil dari saku bajunya, dan mengguyah sepotong gorengan nyi sahwinya yang baru dibeli oleh ibunya beberapa menit yang lalu

Engghi pak,” kali ini Hamid hanya tersenyum pada ayahnya.

“Mid, sekecil apapun penghasilanmu, kau mesti harus banyak bersyukur yang penting halal dan barokah,” Tandas ayahnya sambil batuk-batuk selesai menghisap rokoknya

“Betul, Mid.” Suara ibunya dari balik dapur yang sederhana membuat Hamid sangat percaya diri untuk mengikuti pepatah kedua orang tuanya.

Hamid adalah seorang remaja yang mau bekerja keras demi kebutuhan diri sendiri juga keluarganya. Meski, pendapatan berkecukupan. Tapi ia mampu menutupi kekurangan ekonomi keluarganya, Tak hanyal jika Hamid sebagai penjual koran keliling dengan sebuah sepeda ontel tua pemberian ayahnya, dikatakan orang yang berkerja keras dan tetap mengutamakan kebutuhan orang tuanya yang sudah tidak mampu lagi bekerja.

“Bu, Hamid berangkat dulu.” Ucapnya sambil tersenyum

“Hati-hati di jalan, nak!” kata ibunya yang hendak berjalan ke arah Hamid

Sambil mencium tangan ibunya yang lembut, ah. Begitu wangi aroma parfum yang ibu kenakan, dan Hamid pun mulai menaiki sepeda ontelnya, yang seperti biasa mengantarkan koran keliling untuk menjemput rezeki.

Di tengah perjalanan, tepatnya di gedung lusuh itu seorang perempuan separuh baya tampak kesepian, kemudian Hamid langsung menghampiri sebagai sesama manusia yang membutuhkan pertolongan, dan mencoba menanyakan sesuatu.

“Kenapa nenek ada di tempat kayak gini, rumah ini kan sudah lama kosong tidak ada penghuninya.” Dengan ragu-ragu Hamid bertanya

“Nenek, Cuma bernaung saja di sini cong.” Kata nenek separuh baya itu.

“Memangnya, Keluarga nenek di mana?”

“Keluarga nenek tidak tau ada di mana, cuma ada fotonya.” Imbuhnya

“Boleh saya lihat nek!”

Nenek itu langsung mengambil di dompetnya yang terbuat dari plastik berkecamuk itu. Kemudian menjulurkan kepada Hamid dua foto perempuan dia adalah cucunya yang bernama Elmi dan Khosinah, betapa terkejutnya Hamid melihat kedua foto tersebut. Dia adalah teman kuliahnya, apalagi Elmi teman dekat Hamid, dan terkejutnya lagi nenek itu sudah berapa tahun tidak bertemu kedua cucunya. Nenek itu hanya bisa menangis dengan air mata keramatnya.

Cong, nenek tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menemui mereka.” Serta air mata yang terus terkuras membasahi pipinya yang keriput, entah kenapa Hamid tampak sedih mendengar penuturanya nenek itu. Ia juga seolah-olah larut dalam kisahnya, dengan lembut Hamid mengusapkan air mata si nenek penuh belas kasihan. Sedangkan nenek itu hanya diam dan pasrah dengan cobaan yang ia jalani.

“Sudah nek, jangan menangis terus saya akan bantu untuk mempertemukan nenek dan cucunya.” Hamid pun mencoba menenangkan nenek yang sudah berapa kali air mata itu menetes ke lantai rumah itu, rumah yang sepi bermulut tanpa ada penghuni satu pun di dalamnya,

Tidak terasa sudah dua jam bercakap-cakap nenek itu, kemudian Hamid memutuskan pergi dari tempat itu, dan ingin melanjutkan perjalanannya menjual koran keliling

“Nek, besok saya ke sini lagi.” Ucap Hamid sambil melangkah ke sepeda tua sambil membereskan koran-koran yang berantakan akibat guncangan batu-batu di jalanan tadi.

“Iya cong, terima kasih.” Sambil menghapus air mataya

***

Esok hari, kala itu angin mencumbu tubuh Hamid yang sedang demam, ia mengira dirinya bisa tetap bekerja sebagaimana mestinya. Namun, takdir sudah berkata lain dalam waktu yang purba, wajahnya pucat sepucat daun sirih yang sudah lama berendam dalam gelas, dengan aroma anyir ikan di dapur ibu serta sejumlah sisik yang memecah pandangan Hamid agar segera membuang segala ketidak-asingan, dan Hamid pun tidak peduli dengan tubuhnya yang bengkak kemudian menuju dapur kebelakang, kepulan asap yang menyulam bau anyir ikan membuat Hamid tidak tahan muntah yang pertama kali menghirup aromanya.

“Istirahatlah, nak!” Kata ibunya sambil  memotong sayuran yang hampir tuntas.

“Iya bu, tapi aku ingin muntah setiap menghirup aroma anyir itu.” Kedua tangannya menutupi hidungnya

“Ya sudah kamu pergi ke kamarmu, nak.” Dengan lirih ibunya berkata.

Kemudian Hamid melangkah meninggalkan ibunya di dapur, karena Hamid tidak enak badan. Suara hening itu berpaut diam cicak-cicak yang mestinya beradu suara kini lenyap meninggalkan parau, dan Hamid pun bingung apa yang terjadi pada dirinya. Sementara hari ini ia punya janji dengan nenek yang kemarin ia temui di depan rumah kosong itu, dan Hamid merasa kecewa pada dirinya karena tidak bisa membantu nenek tersebut, dengan rasa tidak enak Hamid memanggil ibunya agar bisa membantu mencari cucunya yang juga termasuk teman terdekat Hamid.

“Bu, bolehkah aku meminta sesuatu.” Suara lirih Hamid mengucapkan kepada ibunya.

“Iya nak, mau minta sesuatu apa?” Ucapnya.

“Hamid kemarin menemukan seorang nenek di rumah kosong kampung sebelah dan Hamid merasa kasihan terhadap nenek tersebut. Dia sudah lama tidak bertemu dengan cucunya, apakah ibu bisa membantu nenek itu.” Dengan ragu Hamid berkata pada ibunya.

“Tapi ke mana ibu harus mencarinya nak?” Tanyanya.

“Di kampusku bu, dia termasuk teman dekat Hamid.” Ucap Hamid.

“Aku mohon bu, tolong nenek itu, Hamid sekarang tidak bisa membantu lagi tidak enak badan.”

“Baiklah nak, ibu akan menemui nenek tersebut.” Sampai ibunya juga kasihan mendegarkan cerita nenek itu.”

Dengan pernyataan ibunya Hamid merasa tenang, hatinya seperti sudah mengalir ke sungai abadi. Tetapi ia berpikir kembali apakah nenek masih ada di tempat yang sama, tempat yang dimana Hamid bercakap sebelumnya, lalu jika nenek tidak lagi bernaung di sana kemana ibunya akan mencari nenek itu. Hamid hanya pasrah dengan keadaan waktu yang tak pernah purba, yang jarumnya akan tetap melindungi angka-angka yang menyimpan atas segala rasa.

***

Pagi yang perawan dengan suasana angin yang lembut menyapa hari-hari dengan damai, dan sekarang Hamid tampak baik-baik saja setelah beberapa hari harus berbaring hening di kamarnya. Suara burung di balik jendela semakin kenyal memainkan serulingnya, semakin gemulai menembus suasana pagi hari. Sedangkan Hamid sudah bisa beraktivitas kembali menjual koran keliling untuk memenuhi hidupnya yang sederhana, menjual koran ia hanya berbekal dengan sepeda ontel tua peninggalan ayahnya beberapa bulan yang lalu.

“Hati-hati di jalan nak!” Nasehat ibunya sebelum Hamid berangkat bekerja.

“Iya bu.” Dengan sungkem memegang tangan ibunya sebagai tanda hormat.

Kemudian Hamid pun berangkat dengan santai, menikmati alur waktu yang selalu menemani untuk menikmati perjalanan, dan Hamid melewati jalan berkelok berbatu tajam serta matahari yang membakar tubuh bumi di pagi hari. Tak ada rasa lelah Hamid terus menggayuh sepeda tuanya sambil berteriak koran-koran, di tengah perjalanan Hamid terpanah dengan satu seseorang perempuan paruh baya yang tidak asing baginya. Ah, atau hanya perasaan aku saja hingga mengatakan seorang itu tidak asing, tidak lama Hamid pun semakin mendekat ke perempuan itu.

“Siapakah perempuan yang duduk di samping kulihan itu.” Hingga Hamid berkipir dalam hatinya

“Atau mungkin dia orang jauh, yang sebelumnya aku belum pernah melihat perempuan itu ada dekat di kampusku.”

Hamid semakin penasaran siapakah perempuan paruh baya itu. Ia mencoba mendekat dengan memperlamban jalan sepedanya yang sangatlah tua, tidak ada seorang pun yang menemaninya si perempuan itu, hanya anak kampus yang lalu lalang dari kejauhan. Kemudian Hamid mengingat seseorang yang berkacap dengannya yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Namun dalam pikiran Hamid wajah itu seolah-olah tidak jelas, hanya percakapannya yang ia ingat. Tapi tidak mungkin orang itu yang bercakap dengannya, atau mungkin perempuan paruh baya itu orang lain, ‘Bercerita bahwa ia rindu cucunya.’ Ah tidak,

Sebab penampilannya sangatlah berbeda, lebih bersih dari pakaian perempuan yang bercakap di bulan lalu Hamid temui di rumah kosong dekat rumahnya. Hamid penasaran dengan perempuan tidak asing itu, entah kenapa Hamid tiba-tiba menyerempet anak kuliahan yang satu arah denganya hingga koran itu berhamburan di jalanan.

“Gimana sih mas, kalau bawa sepeda hati-hati.” Ucap tegas dan lembut perempuan muda itu

“Maaf bak, eh, Elmi maaf tidak sengaja.” Ternyata teman dekatnya sendiri.

Dan perempuan paruh baya itu menoleh ke arah Hamid dan Elmi, kemudian berjalan dengan tergesah-gesah ke tempat kejadian penyerempetan, dan Hamid pun terkejut melihat wajah perempuan yang berjalan ke tempat ia terdampar dari sepeda ontel tuanya.

“Kamu, kamu bukanya dulu yang membantu nenek dengan menyuruh ibunya waktu itu katanya kamu lagi sakit untuk menemani nenek mencari cucuku.” Tandasnya perempuan paruh baya itu.

Gapura, 25 Januari 2020

Ruhan Wahyudi Penulis menetap di Sumenep Madura, sekarang Mengabdi di MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur, bergiat di komunitas ASAP (Anak Sastra Pesantren) dan KPB. Tulisannya berupa Cerpen dan Puisi, juga pernah mendapatkan Anugerah sebagai Puisi Terbaik di Hari Puisi Indonesia Disparbud DKI Jakarta Yayasan Hari Puisi 2019. Antologi Puisinya adalah (Menjalari Tubuhmu di Pundak Waktu) 2019.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *