Film The Santri Menuai Banyak Protes
Film terbaru Livi Zheng, The Santri baru-baru ini menuai reaksi dari Ketua Umum Front Santri Indonesia (FSI), Hanif Alathas, yang juga menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Menurut Hanif, film itu tidak mencerminkan akhlak dan tradisi santri yang sebenarnya.
Atas faktor tersebut, dia meminta kepada para santri dan para jemaah agar tidak menonton film The Santri yang akan tayang pada Oktober mendatang. Berikut sinopsis dari film The Santri, dikutip dari laman situs PBNU.
[iklan]
The Santri akan mengangkat nilai-nilai kaum santri dan tradisi pembelajaran di pondok pesantren yang berbasis kemandirian kesederhanaan, toleransi serta kecintaan terhadap tanah air. Menurut Imam Pituduh dari NU Channel, The Santri dipersembahkan sebagai wahana untuk menginformasikan dan mengkomunikasikan keberadaan dunia santri dan pesantren yang memiliki pemahaman tentang Islam yang ramah, damai dan toleran dengan komitmen cinta tanah air, serta anti terhadap radikalisme dan terorisme. Serta memotret kehidupan keberagamaan dan komunitas lintas iman, kemudian mempromosikannya. Dalam trailer resmi, kisah itu berfokus pada kehidupan di sebuah pondok pesantren yang sedang mempersiapkan perayaan Hari Santri. Seorang guru menjanjikan bahwa enam orang santri terbaik akan diberangkatkan dan bekerja di Amerika Serikat.
The Santri merupakan film yang diinisiasi PBNU melalui NU Channel bekerja sama dengan sutradara Livi Zheng dan Ken Zheng dengan penata musik komposer Purwacaraka. Film ini akan dibintangi sejumlah pendatang baru seperti Azmi Askandar, Wirda Mansur, dan Veve Zulfikar. Film tersebut direncanakan tayang pada Oktober mendatang, bertepatan dengan Hari Santri.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membantah film The Santri tidak mendidik dan cenderung liberal. Wakil Sekjen PBNU, selaku Produser Eksekutif film The Santri Imam Pituduh mengatakan film garapan sutradara kakak beradik, Livi Zheng dan Ken Zheng itu mengajarkan kebinekaan kepada masyarakat.
“Spirit filmnya itu menunjukkan semangat Indonesia dengan kebinekaannya, sangat ramah, damai, dan toleran,” ujar Imam di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (17/9).
Pernyataan Imam itu merespons tudingan sejumlah kalangan yang menyebut film The Santri tidak mencerminkan tradisi santri. Imam menuturkan salah satu adegan kebinekaan dalam film The Santri adalah ketika dua orang santri memberikan tumpeng kepada jemaat gereja. Ia mengatakan adegan itu diambil dari tradisi dan kebiasaan masyarakat pesantren, yakni ater-ater.
Ia membeberkan ater-ater adalah budaya membagikan makanan kepada orang lain, baik muslim atau nonmuslim ketika menjelang bulan Ramadan. Budaya ater-ater, kata dia, juga sengaja diangkat dalam rangka untuk menggambarkan bahwa menjadi santri bukan berarti kaku dalam bersosialisasi dengan orang lain.
“Islam yang kami ingin tunjukkan adalah Islam yang ramah, bukan marah-marah, merangkul, bukan memukul, toleran, mengajak, bukan mengejek. Nah ini yang penting kami ingin tunjukkan,” ujarnya.
Terkait dengan tudingan The Santri terlalu liberal karena adegan santri memberi makanan ke gereja, ia mengaku enggan menanggapi serius. Ia hanya mengingatkan Rasulullah pernah menyuapi setiap hari pengemis buta yang beragama Yahudi.
“Coba bayangkan, bukan hanya sekadar dibawakan tumpeng ke gereja loh ya, disuapin. Betapa mulianya nilai kemanusiaan ini. ini yang harus dicontoh,” ujar Imam.
Di sisi lain, Imam berkata perjalanan bangsa Indonesia tidak akan bisa dilepaskan dari santri. Santri bersama kalangan nonmuslim disebut berperan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, ia bahkan berkata, santri terus berperang melawan kolonialisme meski sebagian pihak merasa perang sudah selesai pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Selain berperang, Imam menyebut santri juga berperan dalam mengisi dan menyiapkan dasar-dasar negara. Bersama pihak terkait lainnya, santri yang diwakili oleh Wahid Hasyim menyusun Piagam Jakarta, sebuah dokumen yang menjembatani perbedaan dalam agama negara.
“Jadi sesungguhnya spirit santri adalah spirit toleransi, kebinekaan, kebangsaan, yang itu sudah ada dari dulu. Maka dengan demikian santri ini semangatnya harus diangkat ke publik,” ujarnya.
Bagaimanapun juga, film adalah karya seniman, bukan karya seorang pendidik apalagi pengkhotbah. Sebagai seniman, sah-sah saja Livi Zheng mengekspresikan jiwa seninya. Namun, sebagai seniman pula Livi Zheng hendaknya bisa berlaku teliti dan jujur. Ketelitian dan kejujuran seorang seniman dituntut agar film yang dihasilkannya bisa dihidangkan sebagaimana adanya.