Ketika Sunyi Menyapa
Aulia Novitasari
Di kompleks perumahan megah yang sunyi, sore hari menjadi asing ketika tak terdengar lagi suara bising. Pintu-pintu rumah tertutup rapat, seakan menolak malaikat maut untuk datang. Jalan-jalan sepi dan hanya ditemani rumput-rumput liar yang mulai tinggi. Kompleks itu sudah seperti kompleks berhantu, hingga di malam hari tak ada yang berani menyalakan lampu. Seringkali hanya terlihat para kurir dan para ojol yang singgah ke beberapa rumah kemudian mendapat lemparanlembaran uang setelahnya. Tak ada yang membuka pagar. Tak ada mobil yang keluar.
Benar-benar sunyi, seperti tak berpenghuni. Bahkan penjaga kompleks, kini telah pulang. Sunyi ini benar-benar merebak ketika satu minggu lalu para manusia-manusia yang tampak seperti robot putih datang dan membawa salah satu penghuni rumah. Hanya sendiri, tak ada yang mengiringi. Semua mata tertuju padanya, tetapi hanya melalui kaca jendela. Hingga jari-jari kemudian beradu ketik di depan layar gawai. Berbagai komentar muncul dan masing-masing rumah mencari tahu.
[iklan]
“Ada apa ya, Jeng? Kok rumah Jeng Silfi ramai?”
“Say … mau nanya nih, ada apa ya kok pada ribut-ribut?”
“Beb, udah tau belum rumahnya si Silfi, itu loh ….”
Semenjak itu pintu-pintu ditutup rapat, tak ada yang tak sependapat. Beberapa hari kemudian rumah-rumah itu dibasahi dengan rintikan air, namun bukan hujan. Semburan air melalui pengairan yang terhubung pada sebuah mobil. Kemudian semua bertambah sunyi, sepi, dan tak ada rasa empati.
***
Pagi ini, kampung di pinggiran kali dihebohkan dengan bunyi tiang listrik yang dipukul. Suaranya menggema ke seluruh penjuru rumah. Semua orang bergegas beranjak, bahkan saat sedang di kamar mandi sekalipun. Menelusuri sumber suara dengan mata dan telinga yang telah dipasang sebaik mungkin. Menuju tempat kejadian dengan rasa penasaran menggebu-gebu. Sesudahnya dipenuhi dengan polusi suara satu waktu.
“Ade ape, Mpok? Pada berisik amat!”
“Eh Neng, ada apaan si? Puyeng amat dengernye!”
“Lah … Kok lu pade rame amat! Pada ngapain?”
Hingga tak lama kemudian menjadi sepi saat seorang perempuan dibawa dengan menggunakan sarung tangan dan pelindung wajah menuju mobil.
“Eeeee … Bang! Kenape die? Asal bawa aje lu!”
Tak ada jawaban, mereka hanya berlalu.
“Tong! Lu kalo ditanya ama orang tuh dijawab! Jangan asal tarik aje lu ama die. Kenape die? Die ampe nangis begono, lu kaga kasian?”
“Maaf, Bu! Kita tidak bisa menjelaskan, tetapi ibu dan warga kampung harus menjaga jarak dan kebersihan. Jangan sampai tertular seperti Ibu ini!”
Serentak semua berpandangan. Beberapa hal mulai dimengerti dan mulai dapat dicerna. Keheningan tiba-tiba muncul, seiring dengan masuknya para robot putih menuju mobil.
“Rohaye! Lu musti sembuh ye!”
“Iye, Rohaye! Cepet-cepet balik lu ye! Biar makan nasi uduk ama kite-kite!”
“Rohaye! Lu bisa kok Rohaye! Lu sih bandel gua bilangin jangan malas mandi. Sakit kan lu jadinye!”
“Rohaye gua doain lu cepet sembuh, ye! Jangan nangis-nangis lu nanti, awas aja lu!”
Seketika keheningan memudar seiring berbagai ucapan dan teriakan yang memekakkan telinga. Terurai doa dan dukungan semangat di dalamnya.
Banjarmasin, 18 April 2020
Aulia Novitasari lahir di Marabahan, 15 April 1999. Putri tunggal dari pasangan Irwan Noor, S.Sos. dan Zainap Paujiah, S.Pd. Ia alumni SDN Marabahan 2 (2011), SMPN 1 Marabahan (2014), dan SMAN 1 Marabahan (2017). Sekarang ia sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Lambung Mangkurat pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia mulai tertarik dengan dunia puisi sejak SMP. Selain puisi, ia juga menyukai cerpen, drama, pidato, debat dan mendongeng. Saat SMP dan SMA, ia pernah menjuarai Lomba Bakisah Bahasa Banjar dan Juara Pertama Pidato Kependudukan Tingkat Provinsi. Salah satu karya miliknya juga pernah masuk dalam 10 Karya Tulis Terbaik Tingkat Nasional pada ajang Jambore Sanitasi Nasional 2013 di Jakarta. Ia juga menjadi Duta Anak Provinsi Kalimantan Selatan dalam ajang Kongres Anak Nasional 2014.