
Kado Istimewa Untuk Ibu
Harishul Mu’minin
Sekali waktu ada temanku yang bertanya, “adakah kado yang istimewa untuk diberikan kepada seorang Ibu di hari ulang tahunnya?” Aku terdiam sembari menggaruk-garuk kepala, mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan temanku itu.
“Entah,” tiba-tiba saja kalimat itu yang terlontar dari mulutku. Temanku hanya cengar-cengir. Ku pikir dia juga bingung mencari kado yang istimewa untuk diberikan kepada ibunya di hari ulang tahun.
[iklan]
Pertanyaan temanku itu membuat pikiranku agak sedikit risau. Karena sejak kecil aku tak pernah memberi kado istimewa di hari ulang tahun ibu. Malah, ibu yang sering memberiku kado. Aku takut menjadi anak durhaka yang tak pernah membuat seorang ibu bahagia. Apalagi, katanya, surga ada di telapak kaki ibu.
***
Sepulangnya dari kampus, pikiranku tak henti-hentinya memikirkan tanggal lahir ibu. Ya, aku berencana akan memberi kado istimewa di hari ulang tahunnya. Lantas aku masuk ke kamar ibu dan mengambil Kartu Keluarga di lemari. Kubuka dan kubaca.
Baru kali ini aku mengetahui tanggal lahir ibu. Ah, anak macam apa aku ini yang baru mengetahui tanggal lahir ibunya saat sudah dewasa.
Ternyata, setelah kupikir-pikir, hari ulang tahun ibu jatuh pada hari jumat mendatang. Sekarang sudah hari minggu. Berarti tinggal lima hari lagi. Aku harus mempersiapkan kado istimewa itu dari sekarang, “tapi, apa, ya?” tanyaku entah kepada siapa. Kemudian aku menaruh Kartu Keluarga itu di tempatnya yang semula, dan beranjak keluar dari kamar ibu.
Kulihat ibu sedang menyiram bunga-bunga di halaman rumah. Tampaknya dia sangat menyukai bunga-bunga itu. Setiap pagi dan sore ibu tak pernah absen menyirami bunga-bunganya.
Mungkin ibu senang bila aku memberi bunga-bunga sebagai kado istimewa di hari ulang tahunnya. Tapi bagaimana bila ibu tidak senang, sedang dia sudah memiliki banyak bunga, ‘kan repot jadinya.
Aku semakin bingung memikirkan tentang kado istimewa itu. Kupikir memang susah mencari kado istimewa untuk diberikan kepada seorang ibu di hari ulang tahunnya.
“Roy…” Panggil ibu dari halaman rumah. Suaranya membuyarkan lamunanku. Dengan cepat kuhampirinya.
“Iya, ada apa, Bu?”
“Tolong belikan Ibu ikan di warungnya Cak Samad,” sambil menjulurkan beberapa lembar uang. Kemudian aku berangkat.
Selama perjalanan menuju warung Cak Samad, aku tak henti-hentinya memikirkan kado istimewa untuk ibu. Dari saking fokusnya berpikir, sampai-sampai aku salah jalan. Bukannya jalan menuju warung Cak Samad yang kuslewati, melainkan jalan menuju sungai. Kalau ke sungai bukan malah mau membeli ikan, tapi menangkap ikan, batinku sembari tersenyum-senyum sendiri. Untung saat itu tidak ada orang yang melihatku senyum-senyum sendiri. Kalau ada, bakalan disangka gila pastinya.
***
Hari jumat tinggal satu hari lagi. Aku belum mempunyai kado istimewa. Bagaimana jadinya besok di hari ulang tahun ibu tanpa ada kado istimewa dari anaknya? Ah, bagaimana ini.
Mungkin kalau akau Tanya ke Melka tentang kado kesukaan perempuan di hari ulang tahunnya, dia bisa kasi tahu. Langsung Kucari dia ke kelasnya. Tidak ada. Aku ingat kalau Melka sering nongkrong di kantin kampus. Perempuan tomboy seperti dia memang sering ada di sana bersama teman-teman lelakiku.
Setelah sampai di kantin, aku tak melihat Melka. Sejenak aku plonga-plongo mencari di mana dia duduk.
“Eh, plonga-plongo dari tadi. Cari siapa, he?,” tanya seseorang di sampingku, sepertinya perempuan.
“Ini, cari Melka.” Jawabku tanpa memalingkan muka.
“Lho, kau kira aku ini siapa, he?”
Mendengar dia berkata seperti itu, aku langsung memalingkan muka. Aku terkejut. Ternyata perempuan itu Melka. Ah, gobloknya aku tidak mengenali suara Melka dan ciri khas gaya bicaranya.
“Wah… ternyata kamu ada di sini, Mel.”
“Memangnya ada apa?”
“Mel, kalau perempuan suka di beri kado yang seperti apa pas ulang tahunnya?”
“Kalau menurutku, sih, perempuan suka di beri kado perhiasan. Ya, semacam cincin, gelang, anting kalung. Pokoknya kayak-kayak itu, lah. ‘Kan namanya juga perempuan, pasti suka yang istimewa.”
“O, begitu, ya!”
Setelah mendengar jawaban dari Melka, buru-buru aku mengambil tas kedalam kelas sambil lalu pulang. Meskipun jam terakhir nanti ada pelajaran filsafat yang di ampuh oleh Pak Abdul. Tak apalah aku tak mengikuti jam pelajarannya. Kata teman sekelasku Pak Abdul masih sakit dan belum lagi aktif mengajar.
Keluar dari gerbang kampus, pandanganku tertuju pada bank di seberang jalan sana. Dari arah kiri-kanan jalan tak ada kendaraan yang akan lewat. Aku menyeberang. Langsung aku masuk ke dalam bank. Ku ambil kartu kredit di dalam dompet dan kumasukkan ke mesin uang.
Setelah kutekan-tekan tombol petunjuk untuk mengetahui jumlah uang, ternyata uangku hanya tiggal 56 ribu. Ah, aku baru ingat kalau akhir-akhir ini sudah jarang menabung. Terbesit dalam benakku: terus uang dari mana untuk bisa membeli perhiasan.
Aku pulang menyisakan rasa kesal pada diri sendiri. Mengapa akkhir-akhir ini aku jarang menabung. Padahal ibu menyarankan aku agar selalu menyisakan uang untuk ditabung—sedikit maupun banyak.
***
Hari jumat tiba. Aku belum mempunyai kado istimewa untuk diberikan kepada ibu. Di dalam kamar, sambil rebahan, aku terus memandang langit-langit kamar. Pikiranku tidak tenang, pun hatiku gelisah. Sementara detak jarum jam terus bergerak ke kanan. Kelihatannya bergerak sangat cepat. Mungkin perasaanku saja.
Pagi ini sepertinya ibu tidak menyiram bunga-bunga di halaman rumah. Tidak seperti biasanya. Kalau aku bangun tidur, biasanya ada bunyi air dari halaman. Bunyi air yang di siramkan ke bunga-bunga oleh ibu. Tapi pagi ini tidak ada bunyi air dari halaman.
Pertanyaan-pertanyaan muncul dalam benakku. Apa mungkin ibu belum bangun tidur? Apa mungkin ibu menanti kado dariku di dalam kamarnya? Apa mungkin ibu bersedih karena tak ada yang mengingat hari ulang tahunnya? Tanpa pikir-pikir panjang aku langsung ke luar kamar dan menuju kamar ibu.
Dari balik pintu, ibu terlihat masih tidur. Tak seperti biasanya ibu belum bangun. Mungkin dia terlalu capek, pikirku. Sambil memikirkan kado, aku menyeduh segelas kopi. Siapa tahu setelah minum kopi, nanti aku punya solusi menentukan kado yang istimewa untuk ibu.
Cukup lama aku berpikir. Segelas kopi sudah habis. Namun tak muncul-muncul dalam otakku kado apa yang istimewa. Dan sampai sekarang ibu belum juga keluar kamar.
“Kok, sampai sekarang ibu belum bangun-bangun juga, ya? Aneh.” Batinku.
Aku semakin penasaran, mengapa ibu belum juga bangun. Daripada aku disiksa rasa penasaran, aku masuk ke dalam kamar ibu dan ingin membangunkannya. Ibu rupanya masih tidur. Tampaknya dia tidur sangat nyenyak sekali.
Dengan suara pelan, aku mencoba membangunkan ibu. Tapi ibu masih tak bangun. Ku gerak-gerakkan tubuhnya, juga tidak reaksi. Cara seperti itu tak membuahkan hasil. Ku perkeras suara—kali ini lebih keras—dan mengguncangkan tubuhnya.
Perasaanku tiba-tiba tak enak. Aku tak mendengar desahan napas ibu. Ditambah dengan muka Ibu yang pucat dan seluruh tubuhnya dingin. Aku mendekatkan telinga ke atas dadanya. Tak kudengar detak jantung.
“Ibuuuuuu…!” Teriakku keras.
Aku terus mengguncangkan tubuh ibu dan memanggil namanya. Air mata membanjiri ke dua pipiku. Aku tak percaya kalau ibu secepat ini meninggalkanku untuk selama-lamanya.
“Bangun, Bu. Ini hari ulang tahunmu,” teriakku sambil memeluk ibu. Air mata tak heni-hentinya membanjiri pipiku dan mengalir ke kening ibu.
“Bangun, Bu. Ibu… jangan tinggalkan aku sendirian,” teriakku semakin menjadi-jadi. Aku tahu bahwa air mata tak bisa membangunkan orang yang sudah tiada. Maka, aku telah menemukan kado yang istimewa untuk ibu di hari ulang tahunnya. Yaitu adalah doa.
Kemudian aku menengadah ke atas, sambil memejamkan mata dan berdoa:
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa ibuku. Terimalah amal salehnya. Semoga Ibuku mendapat tempat terbaik di sisi-Mu. Semoga Ibuku husnulkhatimah, Ya Allah!”
Kutub, Yogyakarta 2020
Harishul Mu’minin. Kelahiran Sumenep 12 Mei 2001. Anak dari seorang Nelayan di Pualau garam. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah. Santri PPM. Hasyim Asy’ari Yogyakarta. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)