Pemaknaan suatu puisi memang komplek. Ya, puisi yang memiliki ruang sempit dalam penulisan dapat mewujudkan multitafsir. Namun, untuk mencapai titik seperti itu, penyair diharapkan memiliki kemampuan dalam berbahasa dan mengolah kepekaan rasa. (Redaksi).
[iklan]
Semidi Rindu
sekian lama menyepi di purnama malam
berabad waktu hingga akhirnya terkelam
meski amanat cinta tak bersatu paham
kumandang bait-bait mantra masih sama
sesekali menyanyikan tembang asmara
menghempas rintang yang melukai makna
hati terdiam di setiap wirid namamu
mencoba lepaskan senyum membelenggu
habislah kita digugat ramu
semidiku menghasilkan rindu
di antara langkah penuh semu
yang tertinggal di wajahmu
kita telah menjadi sejarah
hati kita telah kekal dalam tanah
cinta menjelma rindu yang patah
atas nama cinta menjelma rindu
kukekalkan namamu dalam empedu
Malang, 2019
Di Suatu Malam
malam itu kupekikkan luka hati
lahir dari gugurnya pertemuan
ada sederet doa berembus panjang
melewati segala senyum di wajahmu
ah … mimpi
rindu telah lelap dalam hati
malam itu, aku tak sibuk memejamkan mata
apalagi berlalu lalang dalam mimpi
hanya saja di dada masih tak mengerti
aku tak ingin lolos dari cerita malam ini
aku tak ingin menyusuri tubuhmu yang keji
rindu telah melumpuhkan kaki
Malang, 2019
Atas Namamu, O, Kekasihku
tentang langit menaburkan rindu
menghisap seluruh asmara yang diramu
di hati masih kekal namamu
o, kekasihku
bertahun aku kekal dalam layu
bersama air mata dan ejaan namamu
terus saja terlahir luka-luka baru
bukan terjamah peluru
apalagi runcing bambu
namun, rasa rindu
telah mewariskan seluruhnya
ketika sengketa cinta telah berkuasa
dan hati tak lagi tergenggam
atas namamu, o, kekasihku
memanggil untuk datang
merengkuh tubuh yang kaku
mendamaikan sengketa hati
singkirkan luka rindu ini
o, kekasihku
akan kupanggil kau kesatria cinta
Malang, 2019
Tirakat Rindu
aku telah hidup pada kehingan
bersama angin, laut beserta arusnya
di atas daun-daun harapan
aku bersamedi memanjatkan doa-doa
dan membacakan mantra air mata
dari rasa rindu tak berkesudahan
meski tak sampai pada puncak tirakat
sila yang mematung telah merekah
pada pandang sebuah kenangan
menelantarkan keberadaan aku
“pada pemujaan bunga wajahmu
saat angin berembus dari laut
aku telah menaruh mantra rindu”
bismillah, kenangan mengekalkan rasa rindu
Bekasi, 2020
Sembahyang Rindu
kukabarkan pada mendung langit
betapa sempurnanya ayat-ayat waktu
merawat ritual-ritual dalam kesyahduan
ketika terlaksana sembahyang rindu
pada jelmaan gelombang di kehidupan
yang sempat memuat takdir di garis Tuhan
kukabarkan pada kering daun
perihal hujan menyucikan kehormatan
pun kembang tujuh rupa kekal pada komkoman
setelah kesaksian rindu
yang ditakbirkan pada setiap doa
seperti sujud: jiwa tertunduk
dalam dekapan asmara
yang melahirkan kenangan
selesaikah sembahyang rindu
ketika berjumpa pujaan?
atau hanya pelampiasan
biar tak menggenang menjadi air mata
amboi, rupanya tak akan berkesudahan
biar salam terlantunkan
Bekasi, 2020
Misnoto, lahir di Pulau Giliraja. Madura. Menulis puisi semenjak aktif di Sanggar Aksara dan Forum Intelektual Santri (FITRI) Pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka, Bluto. Puisi-puisinya dimuat di Radar Madura, Radar Malang, Radar Cirebon, Kabar Madura, Harian Ekspres Malaysia, Majalah Kuntum, ideide.id, Radar Banyuangi, dll. buku antologi tunggal barunya berjudul “Mayang”. Sampai puisi ini dimuat, dia tingal di Bekasi.