Langit hari ini tampak berbeda, warna birunya perlahan mulai berubah menjadi temaram senja yang menyapa dengan warna jingga yang menjadi cirinya. Tiga wajah yang terlihat sedikit kelelahan sedang berjalan di tengah ramainya ibukota, menelusuri jalanan dengan jejeran toko yang terlihat tak pernah sepi dan hendak kembali pulang setelah perjalanan menemukan sesuatu yang dicari.

Malam nanti ialah malam pergantian tahun yang menjadi penantian dan harapan tak sedikit insan, tak terkecuali Anita, seorang gadis kecil berambut hitam dikucir dua dengan sedikit keringat menetes di dahi, yang kini sedang merengek meminta sesuatu pada bapaknya.

“Bapak…”

Mata kecilnya membendung air mata yang hampir diteteskannya.

“Bapak, Nita mau itu, Pak…”

Tangan kanannya menunjuk pada seorang lelaki tua pedagang kembang api pinggir jalan yang sedang dilaluinya, sembari tangan kirinya menarik-narik celana hitam yang dikenakan bapaknya.

Bapak hanya menggeleng, tanda bahwa ia tak sepakat dengan permintaan anaknya. Sosok bapak berkumis tipis, mengenakan kemeja batik berwarna coklat dan celana hitam itu bersikap cukup tegas. Ia tak mau kelak anaknya menjadi anak-anak yang manja dan menghamburkan uang untuk sesuatu yang sifatnya kurang esensial.

“Teman-teman Nita semuanya beli itu, Pak. Cuma Nita yang belum, Nita juga mau, Pak… Bapak pelit!!” tangis gadis kecil itu kini bertambah kencang.

“Kita beli sesuatu yang lain saja, ya? Nita mau es krim?” tanya Bapak, berusaha mencoba mengalihkan keinginan anaknya.

“Nggak mau, pokoknya Nita maunya kembang api!”

“Nita, kembang api itu bahaya, kamu kan masih kecil” sahut Sari, kakak perempuannya yang sedang berdiri di sampingnya kini menyamakan posisi wajahnya dengan Anita sembari memegang kedua lengan kecil adiknya.

“Tapi Nita pasti hati-hati, Kak. Janji deh,” jawab Anita sambil menunjukkan jari kelingkingnya dengan suaranya yang masih sesenggukan.

“Bapak bilang nggak boleh, Nita harus nurut, ya? Nita jadi nggak cantik kalo nangis terus kaya gitu tau.” Sari mencoba merayu Anita, mengelus-elus kepalanya.

Bukannya luluh, Anita justru memilih untuk jengkel pada keduanya.

“Bapak sama Kakak sama-sama pelit! Pokoknya Nita nggak mau pulang sebelum dibeliin kembang api!”

Anita pun berlari dan kemudian berhenti di depan sebuah toko kelontong yang sudah tutup. Ia duduk jongkok sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang dilipat di atas lutut, tangisannya bertambah kencang. Ia jengkel. Ia berharap dengan menangis, bapak dan kakaknya segera mengabulkan permintaannya itu.

Melihat tingkah adiknya, sebagai seorang kakak, Sari merasa tak tega. Ia pun kemudian mencoba berbicara kepada bapak agar menyetujui permintaan Anita.

“Pak, sudahlah tak apa, Nita terus saja menangis seperti itu, kasihan. Sari jadi tak tega. Biar Sari belikan kembang api yang kecil untuk Nita. Nanti, Sari yang jagain, ya?”

“Ya sudah, beli satu saja, tapi ingat pesan Bapak, harus hati-hati”

“Baik, Pak. Sari akan hati-hati,” balas Sari mengangguk.

Akhirnya Sari pun menghampiri lelaki tua penjual kembang api itu. Ia membelikan satu bungkus kembang api kecil untuk adik kesayangannya. Setelahnya, ia menyusul Anita di depan toko kelontong itu.

“Sudah, berhentilah menangis. Ini, kakak belikan,” ucapan Sari seketika membuat tangis Anita terhenti dan senyum Anita kembali mengembang.

Dengan mata yang masih memerah bekas menangis, sambil memegang kantong plastik putih berisi satu bungkus kembang api, Anita berterima kasih sembari memeluk kakaknya dengan erat.

“Nita sayang sama kakak.”

“Kak Sari juga sayang sama Nita,” balasnya mengelus punggung adiknya.

“Ayo, pulang,” ajak Sari, disusul dengan anggukan Anita.

Mereka akhirnya pulang ke rumah mereka dekat perumahan elite di Jakarta. Rumahnya cukup sederhana, bercat biru muda dengan aksen dua tiang di depannya. Halaman depan rumah mereka tampak asri, satu pohon jambu yang sedang mulai berbuah berdiri di sampingnya. Perjalanan panjang hari minggu ini cukup melelahkan. Keinginan Anita untuk membeli tas sekolah baru bergambar karakter Elsa dari film serial Frozen membuat mereka menelusuri hampir ke sepuluh toko hingga larut sore untuk menemukan tas karakter yang Anita sukai itu.

Assalamualaikum,” ketiganya memasuki rumah dengan salam.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, eh pulangnya sore sekali. Macet, Pak?” jawab Ibu, dilanjut sebuah pertanyaan yang mengarah pada suaminya.

“Susah banget nemunya,” bisik Bapak pada istrinya.

Mata Ibu kemudian teralihkan dan memperhatikan wajah Anita, wajahnya terlihat ceria namun kedua matanya masih memerah.

“Nita cantiknya Ibu habis menangis ya? Kenapa, Nak?” Ibu bertanya sembari memegangi pipi Anita.

“Tadi Nita nangis, minta dibelikan kembang api, Bu. Akhirnya Sari turutin, deh, soalnya dia malu-maluin nangis di pinggir jalan. Hahahaha” jawab Sari, mengadu pada ibunya diiringi tawa dengan maksud bercanda.

Hmm, susah dibilangin anak Ibu yang satu ini yah” kata Ibu sambil mencolek hidung Anita.

“Ya sudah, kalian bersih-bersih badan dulu, setelah itu makan. Ibu sudah siapkan makanan kesukaan kalian,” perintah Ibu pada ketiganya.

Pukul 8 malam, Anita berlari menuju kamar Sari. Ia mengajak kakaknya untuk menyalakan kembang api yang sudah dibelinya. Dengan perasaan gembira, mereka segera pergi ke halaman depan rumah. Sari membawa satu buah korek api dan satu bungkus kembang api kecil yang berbentuk lidi dibalut dengan kertas berwarna merah yang dibelinya sore tadi.

“Asikk,” seru Anita kegirangan.

“Kak, Nita pegang sendiri aja ya? Nita bisa kok.”

“Nita nggak takut, kan?” tanya Sari untuk memastikan Anita.

Anita hanya menggeleng, namun tampak sedikit ragu.

“Nita pegang besi kembang apinya agak ke ujung, ya. kak Sari yang nyalain, hati-hati.”

Sari pun segera menyalakan korek apinya, mendekatkannya ke ujung kembang api lidi yang dipegang Anita. Namun, Anita justru terkejut saat percikan kembang api itu sudah menyala, secara tak sadar ia melemparkan kembang api itu ke atas tubuhnya. Sari yang juga ikut terkejut langsung menarik tubuh Anita ke dalam pelukannya.

“NITA, AWAAS!!” peringat Sari terlambat.

Anita berteriak, “IBUUUU!!” ia kemudian menangis dipelukan kakaknya.

Kembang api itu mengenai punggung Sari dan jatuh tepat di jaket merah muda yang dipakainya. Sari yang tersadar segera melepas jaketnya yang kini terbakar karena percikan api dari kembang api yang dilempar Anita. Bapak dan Ibu yang mendengar suara teriakan Anita dengan segera keluar menuju halaman depan rumah mereka.

Astaghfirullah, ada apa teriak, Nak?” tanya Ibu yang terlihat sedikit panik.

“Jaket merah muda kesayangan Kak Sari terbakar, Bu. Semua karena Nita.” Anita menangis menunduk merasa bersalah.

Ibu mengelus kepala Anita, “Tidak apa-apa, yang penting kan Nita sama Kak Sari selamat.”

“Bapak, Sari sama Nita minta maaf ya,” ucap Sari mewakili penyesalan keduanya.

“Sudah, untuk pelajaran, lain kali kalau dibilangin sama Bapak, kalian harus nurut, ya?”

“Iya, Pak.” Mereka mengangguk bersamaan.

DUARR!

DUARR!

DUARRR!

Suara kembang api besar mulai terdengar meletup di tengah gelapnya malam, berpijar cantik secara bergantian menyambut datangnya pergantian tahun. Bapak, Ibu, Sari dan Anita menengadahkan kepalanya ke langit, mereka tersenyum bersama di halaman depan, menikmati indahnya kembang api yang berwarna-warni meletup bergantian.

“Lihat, kita masih bisa menikmatinya tanpa harus menghabiskan uang sendiri,” ucap Bapak pada Anita dan Sari.

“Bapak kalo ngomong tuh suka bener deh,

“HAHAAHAHAHA..”

Mereka pun tertawa bersama-sama.

Livia Arya Kinanti, lahir di Purbalingga, 24 Agustus 2001. Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Berdomisili di Desa Karangreja, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *