Makalah Iwan Meulia Pirous
Jakarta: Kota yang berpihak pada warga?
Iwan Meulia Pirous (Departemen Antropologi, Universitas Indonesia)

Building up Djakarta as beautifully as possible, build it as spectacularly as possible, so that this city, which has become the centre of the struggle of the Indonesian people, will be an inspiration and beacon to the whole of struggling mankind and to all the emerging forces. If Egypt was able to construct Cairo as its capital, Italy its Rome, France its Paris and Brazil its Brasilia, then Indonesia must also proudly present Djakarta as the portals of the country (Sukarno).

Ruang sosial, ruang kultural
Khazanah tentang kemanusiaan dan ruang bermula dari pertanyaan penting tentang hakekat manusia sendiri. Imajinasi seseorang tak dapat dilepaskan dari ruang, bahkan ruang terkecil yaitu tubuhnya yang paling personal. Badan manusia adalah model sebuah ruang personal tentang jiwa dan raga (mind and body). Tubuh melakukan koneksi kepada dunia luar sehingga tubuh menjadi “meluas” keluar dari kulitnya sendiri untuk melibatkan dirinya pada persoalan-persoalan sosial yang publik. Kita membayangkan tiap orang mengalami peristiwa keduniawian melalui “kulit sosial” –nya, melalui tubuhnya yang menjadi organ yang mengerti simbol dan larut dalam drama sosial dan terlibat dengan tubuh-tubuh lain dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana studi sederhana tentang pengasuhan anak Jawa saja tidak dapat terlepaskan dari metafor dan simbol tentang ruang dalam membangun nilai kejawaan tentang hubungan sosial pada tahap dini (Geertz 1961). Hal yang mendasar dari studi tentang ruang adalah melihat bagaimana tubuh-tubuh menciptakan zona ruang sosial dalam interaksi sehari-hari dan menjadi pedoman kultural dalam bertingkah laku (Hall 1966; Hall 1976). Bahkan studi sosial tentang teknologi pun sebetulnya menceritakan efeknya yang paling besar terhadap  tubuh untuk mengalami pengalaman ruang yang lebih besar (McLuhan, Fiore et al. 1996).

[iklan]

Maka dengan demikian studi antropologi tentang ruang selalu akan melihat ruang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tubuh bersamaan dengan tubuh tidak dapat dipisahkan dari ruang yang melingkupinya. Ruang selalu menubuh (embodied space) dan demikian pula sebaliknya. Bagaimana ruang itu menubuh dan tubuh itu meruang tidak dapat dipungkiri dengan melihat bagaimana kita membina ikatan kuat terhadap pengalaman sensori tentang bau-bauan, suara sekitar (soundscapes), serta warna-warna dominan dan suasana hati dalam mengingat dan menceritakan tentang ruang.  Ruang sendiri, terutama ruang publik membentuk perilaku sosial yang khas. Ruang akan menciptakan publiknya sendiri, mendatangkan kategori sosial baru. Studi-studi antropologi klasik tentang struktur sosial yang dapat dibaca dari etnografi-etnografi lama bahkan selalu membicarakan tentang ruang-ruang tempat arena sosial dilakukan dan bagaimana simbol, makna, dan ritual tidak terlepaskan dari ruang sebagai arena peristiwa sosial berbagai status dan peran yang dialami oleh komunitas pada paruh waktu yang spesifik. Pembagian ruang publik dan ruang domestik juga menjadi bagian analisis penting untuk memahami adanya dimensi gender dalam ruang. Perempuan diasosiasikan dengan jumlah anak yang mengikatnya dalam ruang privat, sementara lelaki berada di ruang publik mencari penghidupan.

Dalam masyarakat modern industrial (baca: kapitalisme) sekarang dengan pembagian kerja dan pemanfaatan ruang yang semakin kompleks dan rumit di satu sisi justru memperlihatkan kondisi dikotomis gender yang semakin ketat di sisi lainnya termasuk menajamnya kelas sosial antara kelompok yang berhasil menguasai akses ekonomi dan yang terpuruk. Maka pemahaman ruang sosial dalam studi masyarakat modern menjadi semakin penting dilakukan. Ruang sebagai bagian dari realitas tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial. Ruang tidak pernah benar-benar kosong, bahkan ruang sendiri hadir karena motivasi sosial. Dalam ruang manusia menempatkan dirinya dan menciptakan hubungan-hubungan sosial dengan manusia lainnya. Dalam ruang, manusia membangun makna-makna terhadapnya. Sebaliknya, dalam ruang, manusia ditindas oleh berbagai kuasa dan kekuatan ekonomi serta politik. Ruang adalah wadah yang memungkinkan untuk kelompok masyarakat mengingat peristiwa, mengalami dialog-konflik kultural, meresapi adanya hirarki sosial dan kelas yang bermain kuasa, berkontestasi secara wacana serta bekerjasama dalam organisasi sosial. (Gupta and Ferguson 1997; Escobar 2001). Studi antropologi kontemporer mengenai perkotaan dilakukan dengan melihat tempat-tempat yang penting di kota seperti pasar-pasar, proyek perumahan, alun-alun, balai-balai besar untuk pertemuan, monumen, dan ruang publik tidak dapat dipisahkan dari kerumitan di atas.  Bagaimana komunitas membangun makna tentang ruang kota secara personal termasuk bagaimana warga kota merajut identitasnya sebagai penghuni sudut-sudut ruang kota (Low 1999).

Jakarta adalah miniatur dari state (negara), oleh karena itu pola perkembangan kota Jakarta dapat kita gunakan sebagai lensa untuk memahami bagaimana negara membayangkan sebuah perancangan. Jika melihat kepada peta perancangan kota Jakarta dari tahun 1950 sampai sekarang, hal yang paling cepat terasakan adalah bahwa Jakarta dipersiapkan untuk memenuhi kepentingan politik dan ekonomi negara sebagai mesin bangsa modern. Pembagian kawasan-kawasan strategisnya dirancang secara top-down, tidak detail, dan minim pemikiran untuk membangun kehidupan sosial. Dunia sosial sebuah kota dipandang sebagai pemenuhan infrastruktur fisik seperti rumah sakit, pemukiman, dan pusat-pusat perbelanjaan. Sebuah ruang kosong yang seakan tanpa manusia, yang kemudian dirancang di atas kertas oleh segelintir perencana untuk dibangun dan  mendatangkan manusia yang harus menyesuaikan diri dengan susah payah membangun budaya baru, menciptakan hubungan sosial baru, adaptif  dan menjadi manusia kota. Perancangan dengan pola mata burung ini hanya mengangkat fragmen dari realitas sosial dan membiarkan sisanya yang detail jatuh bangun menjadi persoalan-persoalan baru yang tidak pernah berhenti di kalangan publik kota (Scott 1998).

Ruang desa dan Ruang Kota
Jakarta itu di Jawa. Konsep batas kewilayahan dalam sistem kekuasaan Jawa tidak pernah jelas dalam pengertian batas modern. Kekuasaan dalam tipikal politik Jawa bersifat absolut, berpusat pada raja, diturunkan dari kekuatan Tuhan. Maka batas-batas kewilayahan lebih merupakan damarkasi kekuatan simbolis kerajaan yang sedang berkuasa dan tidak pernah terlalu stabil secara kartografis (Anderson 2006).  Menarik untuk melihat ulasan sejarah kota-kota besar di Jawa yang memperlihatkan bahwa batas antara pemukiman di wilayah istana dan diluarnya tidak pernah sangat jelas. Pemetaan “kelas sosial” antara kaum bangsawan dan kaum petani pun tidak mengikuti pola yang jelas oleh sebab sawah lah yang menentukan pola pemukiman dan yang dapat menjadi magnet untuk pertumbuhan penduduk dan bukan garis kewilayahan. Dengan ini maka ingatan tentang batas-batas ruang bagi generasi sesudahnya lebih ditentukan oleh pola pertanian.

Abidin Kusno (2006) membuat studi sejarah tentang bagaimana ketiadaan konsep batas dalam politik Jawa untuk membedakan mana kota dan desa diselesaikan dengan penempatan bangunan khas sebagai tanda pengingat hadirnya kekuasaan di ruang publik yaitu gardu. Gardu-gardu merupakan bangunan kecil yang bermakna simbolis khusus tergantung dari rezim yang berkuasa dan selalu ditemukan dalam perjalanan sejarah kekuasaan Indonesia. Pada masa pemerintahan Sukarno gardu adalah corong politik sebagai podium mini yang menyuarakan kepentingan lidah rakyat yang disuarakan Sukarno. Pada masa rezim Soeharto terutama pada pertengahan 1970-an gardu-gardu baru berserta dengan penataan administratif kelurahan Jakarta didirikan lebih sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol rakyatnya. Gardu masa Soeharto adalah negara mini yang dihuni oleh sipil yang dimiliterkan yaitu petugas siskamling (hansip). Siapapun yang tinggal dekat gardu artinya adalah warganegara yang telah menjadi “kaki-tangan” negara untuk mengontrol warganya. Sementara pada masa Reformasi, gardu-gardu pos hansip tidak lagi dominan sebagai alat kontrol negara. Kelompok-kelompok sipil berbasis etnis seperti forum kebetawian memanfaatkan gardu-gardu sebagai penanda batas kekuasaannya. Apa yang dapat dibaca di sini adalah bahwa konsep batas dalam pemetaan kota-kota Jakarta dan mungkin Asia Tenggara (mengikuti budaya politik kerajaan dan kesamaan historis) adalah penerjemahan dari ideologi kekuasaan imperial yang relatif tidak berubah dari masa proto-Indonesia (kerajaan-kerajaan dan kolonial) sampai pada masa Indonesia modern saat ini. Warga tidak merasa hidup dalam kesadaran berada di sebuah ruang sosial yang memiliki batas jelas di kotanya.  Mereka mengidentifikasi diri secara tradisional dengan kehadiran pilar kekuasaan terdekatnya.

Jakarta dan Ideologi
Ruang di Jakarta tidak terlepas dari makna sosial dan politik kekuasaan. Sebagai ibu kota negara yang baru merdeka di pertengahan abad ke-20, kebutuhan besar yang harus dipenuhi adalah mengisi sebanyak mungkin simbol-simbol baru berskala nasional. Tantangan simbolis Jakarta adalah bagaimana menjadi pintu gerbang bagi Nusantara yang baru yang telah beralih nama menjadi Indonesia?  Bagaimana agar Jakarta menjadi pusat ingatan nasional tempat pusat sejarah dan kekuasaan diterjemahkan dalam penataan dan pemaknaan kembali ruang-ruang pasca-kolonialnya? Sukarno bukan tidak menyadari hal ini. Pembangunan Jakarta modern dipenuhi oleh proyek-proyek mercusuar yang sarat ideologi. Urbanisme (proses bangkitnya sebuah kawasan menjadi kota) yang terjadi pada awal 1960-an adalah proyek untuk memperkenalkan wajah Indonesia modern yang tidak mengacu lagi pada ingatan historis kesejarahan nusantara feodal, melainkan memandang ke depan dengan lensa pandang yang modern. Arsitektur kota post-kolonial Sukarno yang dilakukan di kawasan-kawasan strategis Jakarta ditujukan untuk membuat Jakarta sesuai dengan cita-cita ideologi kebangsaan yang progresif-revolusioner sebagai kelanjutan dari keinginan negara untuk menjadi simbol terdepan yang melawan kekuasaan kolonial dan imperialisme pada masa itu. Dibangunlah hotel mewah (HI), monumen nasional (Monas), sarana perbelanjaan modern (Sarinah) dan lapangan olah raga (Senayan). Kusno melihat bahwa arsitektur bergaya internasionalisme itu bukan saja ingin menunjukkan identitas Indonesia mutakhir tetapi juga sebagai usaha-usaha simbolis untuk mengajak rakyat Indonesia maju bersama model demokrasi terpimpinnya (Hogan 2003; Silver 2008:97).

Arah politik Indonesia pada masa itu pun menganut hubungan yang mesra dengan negara-negara blok sosialis-komunis yang kurang lebih menganut paham arsitektur kota yang senada dengan ciri banyaknya patung-patung kharismatik serta bertebarannya plaza-plaza yang luas sebagai properti negara.  Urbanisme Jakarta melalui jalan penguatan simbol ideologi modern dikatakan dengan sumbang oleh Hans-Dieter Evers (2005) sebagai “city without urbanism”  atau juga urbanisme yang semu karena hanya menciptakan simbol-simbol nasional melalui patung-patung tokoh-tokoh pergerakan nasional, sementara secara politik-kekuasaan sangat mudah untuk melihat Jakarta 1960-an dan hari ini tetap dimaknai secara kekuasaan Jawa melihat bagaimana posisi istana dan monumen nasional. Dengan melihat statistik demografi 1961 dengan 85 persen penduduk yang berasal dari kawasan luar Jakarta terutama pulau Jawa, maka Jakarta sebetulnya lebih tepat dikatakan kampung besar yang dipaksakan menjadi kota. Hal ini sejalan dengan kota-kota negara tetangga yang dulunya merupakan kota yang dibangun oleh kolonial. Kota-kota Asia Tenggara seperti Bangkok, Batavia, Rangoon, Manila, Saigon, dan Singapura juga menunjukkan karakter kampung besar yang terkonsentrasi menjadi kawasan-kawasan yang dieksploitasi demi kepentingan ekonomi koloni serta berperan melayani ekonomi internasional semenjak abad ke-20. Maka penduduk kota-kota baru yang berasal dari kawasan desa-desa sekitar mungkin memerlukan dua atau tiga generasi untuk benar-benar dapat menghayati perilaku khusus perkotaan (Silver 2008:27,90). 

Publik Ekonomi dan Kelas Sosial
Proyek mercusuar yang dalam wacana Orde Baru dituduh sebagai pemborosan uang negara bukannya tanpa maksud. Artefak dan patung menciptakan ruang untuk mengingat sejarah, sementara plaza atau alun-alun kota serta taman menjadi tempat menciptakan publik yang berkumpul dan bergaul. Adalah negara yang wajib memberikan fasilitas publik umum yang mudah diakses berupa ruang luas di tengah kota, taman-taman serta bangunan monumental yang menyimpan simbol-simbol sejarah bangsa. Namun sebuah kota yang berwajah sosial bernama Jakarta tidak pernah terwujud. Soeharto dengan Orde Baru melakukan perubahan besar dalam sifat pemerintahan yang berimbas dalam pemaknaan ruang publik. Suharto tidak sefasih Sukarno dalam berbicara dan berkomunikasi politik dengan warganya. Jika Sukarnoisme yang romantis menggetar melalui imaji-imaji patung pembebasan (Irian Barat), patung penguatan komunitas tani sebagai angkatan progresif (Tugu Tani), Soeharto tidak menghampiri massa.

Sukarno menggambarkan internasionalisme Indonesia “the new emerging forces” sebagai satu cara membuat publik menjadi berpikir internasional, sementara Suharto mengganti imaji Indonesia menjadi dalam personifikasi yang lebih kekeluargaan, sebagai bapak Jawa yang tak banyak bicara tapi rajin bekerja. Dia nasionalis, tapi tidak revolusioner. Dia mempraktikkan ekonomi modern Indonesia dengan lihai, tapi tidak demokratis. Ia menggambarkan ide Indonesia menjadi sebuah negara ultra-modern yang membangun dalam diam mengikut kepada arus besar pasar bebas dengan setia setelah mengorbankan antara 500.000 sampai 1 juta orang dalam penumpasan rakyat yang dituduh membela ideologi komunisme. Kaum miskin dan preman dihilangkan dari jalanan, sementara terciptalah kelas sosial baru yang dikatakan kelas menengah pekerja mengisi sektor pekerjaan-pekerjaan baru yang terbuka akibat luwesnya inverstasi asing yang masuk.  Teori-teori ilmu sosial yang membahas kehadiran kelas menengah menggambarkan fenomena ini sebagai hal baik, sebab cocok dengan pemikiran tentang pertumbuhan ekonomi baru. Sebuah kategori yang taat sistem pasar, tidak bersuara, dan ramah terhadap tawaran-tawaran kemakmuran serta rentan terhadap kecenderungan konsumerisme.

Ideologi kiranya telah beralih kepada apapun yang dikatakan baik oleh lembaga internasional Bank Dunia dan Organisasi Dagang Moneter.  Pada masa Orde Baru Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi tertingginya sementara kehidupan sosial warga mencapai kebuntuan serendah-rendahnya. Tahun 1966 adalah tonggak awal dimana Soeharto dan Orde Baru membawa Indonesia dengan tolak ukur: keberhasilan ekonomi plus pencapaian mentalitas modern dengan meninggalkan alam tradisional menuju masyarakat berpola bisnis (Pauker 1981:238) setelah satu usaha pembunuhan masif terhadap ribuan orang yang dianggap berafiliasi dengan kekuatan komunisme. Dalam masa pembangunan ekonomi pasca-Sukarno, diferensiasi kerja dalam masyarakat lebih ditekankan pada kebutuhan tenaga kerja terampil untuk menjalankan roda industri surplus untuk menumpuk modal, dan bukan untuk tujuan transformasi sosial. Mudah saja untuk membuktikan hal ini. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba mempromosikan kesempatan kerja, dibandingkan dengan promosi bahwa sekolah “membuka cakrawala untuk membantu menggerakkan masyarakat”.  Untuk menjaga stabilitas ekonomi, pemerintah Orde Baru memberlakukan cara-cara yang sangat efektif dengan menyebarkan ketakutan lewat usaha-usaha represif.  Maka pembangunan Jakarta dilakukan untuk menciptakan publik ekonomi.

Ruang dan Kelas sosial. Pembangunan ruang Jakarta adalah model dari bagaimana kapitalisme diterapkan secara ekstensif di Indonesia. Perencanaan perkotaan dalam negara-negara kapitalis dimanapun selalu memihak pada kelas pemilik modal, sehingga pembagian ruang-ruang kota pun mengikuti logika kelas tertentu yang memikiki modal. Pembangunan kota Jakarta dapat dikatakan sebagai cara-cara produksi untuk mencari surplus ekonomi dengan mengalihkan (konversi) sebanyak mungkin ruang kosong menjadi wilayah ekonomi. Secara cepat dalam dua puluh tahun terakhir, bersamaan dengan maraknya pembangunan real estate di pinggiran kota, Jakarta menjadi semakin luas melebar, mengkota sampai ke bagian suburb-nya. Jakarta menjadi exopolis, sebuah kota yang tumbuh membesar sehingga memakan kota-kota sekitarnya, sekaligus menjadi extra-suburbia (Soja 1989), ketika pinggiran Jakarta sendiri semakin melebar menghampiri pinggiran kota-kota satelit tetangganya.

Daerah-daerah real estate baru ini menciptakan publik dengan identitas kelas sosial yang baru. Mereka adalah kaum pekerja yang tinggal di pinggiran kota dan mengeluarkan cukup banyak cicilan kredit yang cukup mahal untuk mendapatkan rumah tak terlalu besar dan jauh di pinggir kota. Mereka adalah kaum yang menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk biaya cicilan rumah dan membayar biaya perjalanan lewat jalan-jalan tol yang menembus sampai tempat kerja. Terbentuklah sebuah keteraturan sosial yang baru yang berbasis pada kapital. Keteraturan sosial ini berdampak pada polarisasi kelas yang terjadi di Jakarta. Hanya orang kaya yang memiliki akses pilihan lebih besar terhadap ruang, sehingga hanya orang yang punya uang yang dapat hidup secara layak di Jakarta. Maka kemudian perencanaan kota tidak lain adalah kegiatan akumulasi kapital para pengembang yang menciptakan hubungan-hubungan sosial berbasis ekonomi kepada publiknya berdasarkan kemampuan membayar. Tentu saja pembangunan dan perencanaan kota dengan model ini hanya dapat dinikmati oleh kelas sosial tertentu. Patut dicemaskan  bahwa Jakarta yang begini luas mengalami isolasi spasial bagi publik untuk kelas tertentu untuk hidup layak (Winarso 2005). 

Partisi Etnis yang menjadi Partisi Kelas
Dalam aras ideologi kapitalistik dimana surplus ekonomi menjadi dominan sebagai modal kota dibandingkan dengan surplus berupa keanekaragaman budaya, publik yang akan diciptakan adalah mahluk-mahluk yang bernilai karena kemampuannya dalam melakukan pertukaran ekonomi, bukan pertukaran sosial. Modal non-ekonomi yaitu keanekaragaman kultural dianggap “tidak dikenal” sebab publik sendiri pun dibayangkan harus homogen. Menganggap homogen sebuah heterogenitas merupakan warisan kolonial Belanda. Dari penelitian Lance Castles (2007) tentang profil etnik Jakarta, kita dapat melihat keanekaragaman identitas etnis Jakarta semenjak zaman kolonial Belanda. Pada masa permulaan abad ke-19 Jakarta sudah menjadi tempat tujuan yang sangat ramai didatangi oleh berbagai etnis dari penjuru nusantara. Pemerintah kolonial Belanda dengan logika mengontrol massa multietnis melakukan zoning wilayah Batavia dengan logika mendirikan batas-batas kampung berdasarkan kategori etnis. Publik multietnis kemudian dikurung dalam partisi-partisi sosial perkampungan yang diketuai oleh para kapitan yang langsung berkomunikasi dengan pemerintah. Keanekaragaman etnis Jakarta tidak difasilitasi untuk sarana dialog antar perbedaan melainkan dibekukan dalam kerangka esensial stereotipe kesukuan sampai hari ini dan Betawi dianggap sebagai warga pribumi yang merepresentasikan budaya Jakarta.  Dan kelak mereka menjadi resah ketika sistem kapitalisme menjadi semakin nyata mencabut mereka dari kenyamanan hidup sebagai warga oleh satu hal yaitu bahwa mereka terlalu miskin untuk hidup di Jakarta.

Menarik bahwa zoning etnis masa kolonial yang membekukan dialog inter-kultural terhadap perbedaan adalah suatu desain untuk memantapkan kekuasaan modal penguasa sebagai pola yang berulang pada Jakarta masa kini dengan tujuan memantapkan investasi modal. Jika pada masa lalu pembagian kelas menggunakan model budaya etnis migran yang ada, maka pada saat kini pembagian kelas menurut kepada identitas publik ekonomi yang mampu membayar untuk mendapatkan pelayanan sosial yang layak. Orde Reformasi memang sudah meninggalkan sikap represif dalam mengatur warganya. Tidak ada lagi posko-posko atau gardu-gardu sebagai sistem panopticon negara untuk menjaga masyarakat, namun kekerasan simbolis tetap berlangsung dengan membiarkan (atau justru menfasilitasi) organisasi-organisasi sipil berwarna keagamaan untuk menjadi elemen yang melanggengkan sistem kapitalisme.

Forum-forum “kultural” dan “agama” yang bermunculan dalam kurun 12 tahun terakhir tidak dapat kita katakan  sebagai ekspresi sipil yang sehat di ruang publik. Dengan dalih agama dan budaya, kelompok-kelompok sipil ini dianggap aman oleh negara, tidak membawakan aspirasi traumatik seperti pembebasan tanah (land reform), atau penuntutan hak-hak buruh dan tidak terlihat gejalanya mereka akan menggoncang kapital.  Malah mereka menggunakan simbol-simbol yang menyudutkan ideologi kerakyatan non-kapital yang sebetulnya secara konseptual lebih membela orang-orang miskin. Maka sangat aneh, dalam lingkup ruang yang terpartisi oleh kelas kaya-miskin, justru hadir kelompok-kelompok sipil yang dibiarkan turun ke jalanan justru dengan memboyong simbol-simbol religius yang sama sekali tidak membebaskan kelasnya.

Bisa jadi, kehadiran kota Jakarta sebagai kota modern  secara kultural masih melahirkan publik dengan cakrawala yang sempit. Memang belum ada penelitian komparatif tentang bagaimana penduduk Jakarta bergerak dalam ruangnya. Apakah mereka melakukan perjalanan memanfaatkan fasilitas kota yang merupakan bagian dari haknya sebagai warga kota?  Apakah mereka sedang bersikap pasif-agresif  di ruang publik?  Penduduk Jakarta sesungguhnya sedang mengalami proses alienasi yang sangat parah. Mereka tercabut dari akar budayanya, kemudian dibuat sebagai mahluk yang berhubungan sosial melalui relasi ekonomi semata. Kita melihat maraknya gaya hidup modern yang sangat laku dan disukai orang. Kita menyaksikan bagaimana Indonesia keluar dari krisis ketika melihat banyak orang dapat bersuka cita menikmati fasilitas hiburan kota dan memenuhi mall-mall besar. Apa yang tidak kita lihat adalah bagaimana segala macam fasilitas itu menyediakan realitas yang hanya bisa diakses dengan cara mengkonsumsi. Apa yang mereka bayarkan untuk meraih fasilitas yang paling dasar hanya memberi sedikit kenikmatan namun memberika surplus bagi produsen. Inilah wajah kultural Jakarta, dimana warganya membayar pajak dan juga mensubsidi para kapitalis dengan sangat luar biasa. 

Perencanaan Alternatif Jakarta yang lebih sosial
Sebuah kota adalah wilayah yang secara sosial disepakati bersama sebagai tempat berkumpulnya keanekaragaman.  Ruang publik sebagai arena sosial untuk menyalurkan (komunikasi) berbagai individu dalam komunitas politik harus selalu dijaga sehingga iklim demokratis tidak rusak oleh kekuatan individu tertentu yang memiliki kekuasaan akibat akumulasi kapital. Ruang publik yang sehat bersifat bebas dan dapat diakses oleh anggota komunitas politik misalnya warga kota atau warganegara. Ruang publik menjadi sarana komunikasi dimana kepentingan private (dari kelas aristokrat, penguasa) tidak boleh dominan sehingga public (rakyat) tetap terjamin hak-hak politiknya untuk hal-hal mendasar misalnya pemilihan umum dan mengeluarkan opini termasuk mempertunjukkan ekspresi kultural tentang perbedaan. (Edgar 2006 :124). Pemikir-pemikir liberal (misalnya Rawls dan Habermas) yang memperjuangkan hak dan kebebasan individual memang sangat menjunjung moral-moral universal seperti keadilan dan kesetaraan sebagai prinsip yang harus dijaga dan menjadi dasar institusional di segala bidang (pasar, pengadilan, konstitusi, dsb.). Namun, sedikit sekali perhatian mereka terhadap pluralitas budaya sehingga aspirasi dari komunitas-komunitas seperti “masyarakat adat”, indigenous people, golongan etnis minoritas dianggap datang dari satu kategori budaya yang sama (Parekh 2000 :89).

Persoalan Jakarta yang paling besar adalah nasibnya yang telah menjadi mesin pencari uang dan melupakan warganya yang beraneka ragam. Perbedaan adalah biasa dalam ruang publik dan merupakan bagian dari kenyataan kota yang plural. Sebuah kota seperti Jakarta selamanya akan menjadi kota migran berisi orang-orang asing dengan perbedaan kepentingan namun harus diakomodasi sebagai bagian dari keadilan sosial seperti yang ditawarkan ini:

The aim would be social differentiation without exclusion, and the expression of varied lifestyles. Cities involve the being together of  strangers; finding affinity with some should not lead to denial of a place for others. Social justice thus involves “equality among groups who recognize and affirm one another in their specificity” (Young 1990:248)

Apa yang sedang terjadi adalah penyelewengan penyelenggaraan negara dari konstitusi yang merembes kepada undang-undang di bawahnya. Konstitusi Indonesia sesungguhnya memberikan penguatan dan perlindungan kepada warganya secara penuh melalui pasal-pasalnya yang mencerminkan bahwa kota-kota Indonesia seharusnya berwajah sosialis dan memihak kepada warga sebagai pemangku kepentingan utama tanpa membeda-bedakan kelas sosial dan perbedaan kulturalnya. Mencermati pasal-pasal berbau sosialisme yang penting dalam konstitusi kita, terasa bahwa negara semenjak didirikan secara modern sangat memihak kepada pembangunan fisik yang semakin lama diserahkan kepada sektor swasta. Dampak terhadap kehidupan sosial menjadi jelas yaitu partisi sosial berdasarkan ekonomi. Kreativitas warga, kemampuan mengembangkan budaya dan tradisi, penjagaan terhadap akar kultural adalah hal yang diabaikan.

Prinsip egalitarian, merasa senasib sepenanggungan, segala romantisme yang sebetulnya menjadi semangat bangsa yang masih muda ini hilang dalam alam tindakan dan tersisa hanya dalam simbol-simbol poster dan peringatan-peringatan hari raya. Apa yang dapat dilakukan sebelum betul-betul terlambat adalah bagaimana membuat perencanaan kolaboratif bersama dengan publik yang justru selama ini paling dipinggirkan karena dianggap tidak punya kontribusi ekonomi terhadap perkembangan kota. Bangsa ini sungguhlah kreatif dan adaptif terlihat dari maraknya sektor bisnis informal yang bisa menyelamatkan hidup, namun bangsa ini tidak dapat bergerak maju selama pola pembangunan mengacu pada bayang-bayang kemakmuran global, kesilauan imaji global-cities, dan hasrat besar mencari surplus ekonomi dan bukan “surplus sosial”.  Mengacu pada negara tetangga, mereka memperhatikan surplus sosial. Kota yang baik adalah kota yang melayani tubuh-tubuh warganya sebagai mahluk budaya, memberikan ruang kontemplatif untuk mempelajari perbedaan kultural dan sejarah. Mereka adalah kota-kota yang penuh dengan festival rakyat, festival film, museum-museum yang dinamis, fasilitas perpustakaan, transportasi murah, Mereka adalah kota-kota yang mungkin lebih sederhana, namun memihak pada kepentingan warganya.

Daftar Pustaka
Anderson, B. R. O. G. (2006). Language and power : exploring political cultures in Indonesia. Jakarta, Equinox.
Castles, L. (2007). Profil Etnik Jakarta. Depok, Masup.
Escobar, A. (2001). “Culture sits in places: reflections on gobalism and subaltern strategies of localization.” Political Geography 20: 139-174.
Evers, H.-D. (2005). The End of Urban Involution and the Cultural Construction of Urbanism in Indonesia. Asian Horizons: Cities, States, and Societies on panel Globalization of Cities and Economies. Singapore.
Geertz, H. (1961). The Javanese family; a study of kinship and socialization. New York, Free Press of Glencoe.
Gupta, A. and J. Ferguson (1997). Culture, power, place : explorations in critical anthropology. Durham, N.C., Duke University Press.
Hall, E. T. (1966). The hidden dimension. Garden City, N.Y.,, Doubleday.
Hall, E. T. (1976). Beyond culture. Garden City, N.Y., Anchor Press.
Hogan, T. (2003). “A View from Jakarta: A review of Abidin Kusno, Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia (Routledge, 2000).” Thesis Eleven 73: 113-121
Kusno, A. (2006). “Guardian of Memories: Gardu in Urban Java.” Indonesia 81: 95-149.
Low, S. M. (1999). Theorizing the city : the new urban anthropology reader. New Brunswick, N.J., Rutgers University Press.
McLuhan, M., Q. Fiore, et al. (1996). The medium is the massage : an inventory of effects. San Francisco, CA, HardWired
Pauker, G. J. (1981). “Indonesia in 1980: Regime Fatigue?” Asian Survey 21(2): 232-244.
Scott, J. C. (1998). Seeing like a state : how certain schemes to improve the human condition have failed. New Haven, Yale University Press.
Silver, C. (2008). Planning the megacity : Jakarta in the twentieth century. London ; New York, Routledge.
Soja, E. W. (1989). Postmodern geographies : the reassertion of space in critical social theory. London ; New York, Verso.
Winarso, H. (2005). City for The Rich. APSA Conference. Penang.
Young, I. M. (1990). Justice and the Politics of  Difference. New Jersey, Princeton University Press.

Makalah ini disampaikan pada Seminar Akademi Jakarta 2011.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *