Ilmu dan Filsafat
Yang saya tahu, saya tidak tahu apa-apa.
 
Da steh’ich nun, ich armer Tor!
Und bin so klug als wie zuvor.

Nah, di sinilah aku, si goblok yang malang!
Tak lebih bijak dari sebelumnya.
Faust

Suatu ketika ada permintaan penjelasan pada seorang ahli filsafat yang arif dan bijaksana. Kira-kira, beginilah permintaanya: terangkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!

Filsuf itu terdiam, dia memerhatikan keadaan sekitarnya, kemudian menarik napas panjang dan berpuisi:

Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidaktahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya

Seseorang itu terdiam, merenungkan apa puisi dari filsuf itu. Sesekali dia mengernyitkan dahinya. Lalu dia bertanya: Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?

Filsuf itu tersenyum lalu berkata: Mudah saja. Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.

[iklan]

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh kebenaran yang dicari telah kita jangkau.

Ilmu merupakan pengetahuan (formal) yang kita pelajari sejak di sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri sendiri: Apakah sebenarnya yang diketahui tentang ilmu? Apakah ciri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu? Bagaimana diketahui ilmu merupakan pengetahuan yang benar? Kriteria apa yang dipakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa kita mesti mempelajari ilmu? Apakah kegunaan yang sebenarnya?

Demikian juga berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah diketahui: Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya diketahui dalam kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan di batas manakah dia berhenti? Ke manakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu? Jika mengetahui kekurangan diri sendiri bukan berarti merendahkan diri sendiri, akan tetapi secara sadar memanfaatkan, untuk jujur pada diri sendiri.

Apakah Filsafat?

Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.

Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu social. Lulusan Misalnya, sering terjadi pada anak-anak sekolah di Indonesia, sering kali lulusan IPA lebih dianggap pintar daripada lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang: lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tak tahu apa-apa!

Kerendahanhatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekadar basa-basi. Seorang yang berpikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati yang kedua yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?

“Ah, Horatio,” desis Hamlet, ‘masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu.” Memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita menangguk pengetahun secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang ketiga yakni sifat spekulatif.

Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukanlah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulasinya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuannya atau absurd? Adakah hokum yang mengatur alam dan segenap sarwa kehidupan?

Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah dan jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.

Sumber Buku Filsafat Ilmu – Jujun S Suriasumantri

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *