
Puisi dapat diletakan pada kata merdeka, bebas, tidak takluk pada subordinasi politik, itulah yang melekat pada penyair dan kepenyairannya. Penyair tidak ragu-ragu jatuh pada kenikmatan akan kegelisahannya sendiri, mereka cenderung tidak ingin jatuh pada tangan ambisi intelektual yang seleranya rendah. Kiranya, itulah yang terlihat pada Faris Al Faisal, penyair asal Indramayu. Puisi-puisinya hingga sampai saat ini menyuarakan kegelisahan batinnya, kampung dan kehidupan masyarakat di sekitarnya atau dunia yang direkam oleh inderanya. Selamat membaca. (Redaksi)
[iklan]
Puisi-puisi Faris Al Faisal
Hujan Berkisah
Ya, sudah saatnya kita mencari kehangatan
—sweater, syal, dan secangkir susu jahe—
Lalu berpeluk dalam selimut
Di luar sana hujan sedang berkisah, sayang
Cerita sedih hingga jatuh air matanya
Menembus tirai pepohonan
Tapi ini belum terlalu malam
Tampaknya kesedihan masih terus menggenang
Mengalir sampai ke seberang jalan
Merangkak naik ke trotoar
Membasuh roda hidup yang melintas
Jendela terbuka dan menutup sendiri
Seperti luka menganga dan berangsur sembuh
Dingin merembes lewat udara yang diam
Mengeras pada dinding-dinding berlumut es batu
Mengerutkan kulit jemari yang makin keriput
Kini kesepian melayap menderap
Mengapung di sela-sela tubuh yang meringkuk
Kulihat kau sudah dari tadi mendengur
Ah, daun-daun mataku mulai kuncup
Selintas masih kudengar hujan menutup kisahnya
Begitu hening. Begitu bening
Tak ada suara. Tak ada rupa
Kecuali lampu yang mulai padam
Tenggelam ke dasar malam
Indramayu, 2019
Gagak Berkoak
Hari-hari di hutan gemuruh
Di sebuah semenanjung berpasir
Hati berdesir disisir gelombang petang
Suara gagak berkoak-koak
Di antara kegelapan pepohonan
Nyaris seluruhnya memangsa
Serupa lahar membakar
Dan sekarang aku berjalan di tempat
Memandang ke arah kilang-kilang minyak
Api menyala merah seperti puntung rokok
Segalanya mematung membeku
Langit mengurungku dan kampungku
Seorang lelaki dengan jubah hitam
Wajahnya jelas menampakkan ia tak takut
Menempuhi jalan menuju ke rumah
Akan bertemu dengan siapa?
Akan bicara apa nanti?
Namun, aku tahu sepertinya
Malaikat maut yang turun
Membawa seikat rambut yang digulung
Itulah ruh manusia
Dibawa serta untuk dikembalikan
Berkumpul dalam sebuah tempat
Memanggil dan menggigil
Seperti aku juga
Indramayu, 2019
Melankolia
Jangan kautanya lagi aku kenapa
Sudah mati inginku bersapa denganmu
Walau itu hanya dalam mimpi
Dan diamku di sini
Biarlah menjadi isyarat luka
Duka yang dalam
Terkubur sebelum mati
Jika kau ingin aku bahagia
Pergi saja dan tak usah kembali
Aku sedang terbungkus waktu
Ringkuslah matahari itu
Genggam hangatnya untuk kau simpan
Dan rembulan itu
Sisakan untukku semalam saja
Aku ingin meneguk duri mawar
Meremas tangkainya hingga berdarah
Tetes demi tetes adalah kesakitan
Sekarat dalam keheningan
Bening air mata menjadi embun
Kemudian jatuh rebah di tanah
Aku akan tersenyum
Karena mati di bawah cahaya bulan
Indramayu, 2019
Faris Al Faisal lahir dan tinggal Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Forum Masyarakat Sastra Indramayu (FORMASI). Menulis fiksi dan non fiksi. Karya fiksinya adalah novella Bunga Narsis Mazaya Publishing House (2017), Antologi Puisi Bunga Kata Karyapedia Publisher (2017), Kumpulan Cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017), Novelet Bingkai Perjalanan LovRinz Publishing (2018), dan Antologi Puisi Dari Lubuk Cimanuk Ke Muara Kerinduan Ke Laut Impian Rumah Pustaka (2018). Sedangkan karya non fiksinya yaitu Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia Penerbit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017).