SYAIR TOMBO ATI
Tombo ati iku limo perkarane
Kaping pisan moco Quran lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo zikir wengi lingkang suwe
Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani

Terjemah bebas:
Obat hati itu ada lima perkara
Yang pertama, baca Qur’an dan  maknanya
Yang kedua, sholat malam kerjakanlah
Yang ketiga, orang sholeh dekatilah
Yang keempat, perut lapar berpuasa
Yang kelima, dzikir malam biar lama
Salah satunya siapa bisa menjalani
Semoga Allah mencukupi

Syair Tombo Ati tersebut di atas adalah karangan Sunan Bonang yang sangat populer di kalangan muslim di Pulau Jawa. Sunan Bonang adalah salah satu dari Wali Sanga, yang menyebarkan agama Islam di Jawa dengan berdakwah dari satu daerah ke daerah lain.

[iklan]

Sunan Bonang bernama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari pasangan Sunan Ampel atau Raden Rahmat dengan Nyai Ageng Manila atau Dewi Condrowati. Sunan Bonang juga merupakan guru dari Sunan Kalijaga. Semasa hidupnya, beliau banyak menulis karya sastra berbentuk suluk atau tembang.

Ketenaran Sunan Bonang tak hanya sebatas Nusantara saja, akan tetapi pengaruh ajarannya itu sudah sampai ke India. Hal ini membuat khawatir penguasa di India yang melihat Islam mulai tumbuh di India. Karena itu maka dikirimlah seorang Brahmana Hindu Brahma ke Jawa untuk menguji kesaktian Sunan Bonang.

Dari India, Brahmana itu berlayar dan langsung menuju ke daerah Tuban, Jawa Timur. Sunan Bonang bermukim di Tuban pada saat itu. Dalam perahu, Brahmana itu membawa banyak buku tentang agama dan ilmu pengetahuan. Tapi sayang di tengah perjalanan, perahu sang Brahmana dihantam ombak yang datang tiba-tiba hingga tenggelam. Buku-bukunya juga ikut tenggelam, sedang sang Brahmana sendiri terbawa arus hingga terdampar di sebuah pantai. Tergeletak dalam keadaan pingsan.

Ketika Sang Brahmana siuman, ia mengucek-ucek matanya sembari menebar pandang ke sekitar. Samar-samar ia melihat seorang tua berjubah putih berjalan ke arahnya. Dengan mata tak berkedip Sang Brahmana memperhatikan orang jubah putih yang membawa tongkat itu. Orang berjubah putih itu mendekatinya. Dengan harap-harap cemas Sang Brahmana bertanya: “Tuan,  tempat ini apa namanya?”

Sebelum menjawab pertanyaan, orang berjubah putih itu menancapkan tongkatnya di hadapan Sang Brahmana, dan bertanya: “Tuan, hingga engkau terdampar di tempat ini, sebenarnya apa dan siapa yang sedang engkau cari?”

Dengan jujur sang Brahmana menjawab, “Saya sedang mencari Sunan Bonang.”

“Ada maksud apakah engkau ingin bertemu dengan Sunan Bonang?” tanya si Orang Tua berjubah putih.

Dengan agak ragu-ragu Sang Brahmana berkata: “Aku ingin bertukar pikiran dengannya tentang ilmu gaib dan ilmu pengetahuan tentang Tuhan serta ingin mencoba sampai seberapa tinggi kesaktiannya. Tapi sayang…”

“Mengapa sayang…?”

“Aku kurang beruntung. Perahuku tenggelam diterjang ombak. Buku-buku ilmu pengetahuanku yang akan kupakai sebagai rujukan dalam perdebatan ilmu itu telah ikut tenggelam ke dasar laut.”

Mendengar keterangan Sang Brahmana, orang tua berjubah putih itu tersenyum, lalu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir. Seketika itu juga Sang Brahmana terkejut. Dari lubang bekas tancapan tongkat itu memancar air yang cukup deras. Yang mengherankan adalah buku-bukunya yang tenggelam itu terbawa semuanya dalam pancaran air itu dalam keadaan utuh, tidak rusak dan tidak basah.

“Apakah benar itu buku-bukumu yang tenggelam itu?” tanya orang tua berjubah putih.

Sang Brahmana mengangguk. Sementara dalam hati, setelah menyaksikan kejadian yang aneh dengan kembali buku-bukunya melalui pancaran air di bekas tancapan tongkat orang tua berjubah putih itu, muncul keyakinannya bahwa orang tua berjubah putih yang ada di hadapannya ini adalah Sunan Bonang.

Kalau dengan sebatang tongkat saja mampu menyedot buku yang tenggelam di dasar laut, sehebat apa ilmunya? Belum lagi ilmu-ilmu lain yang ia miliki. Rasa-rasanya, seribu Brahmana dari India belum tentu mampu menandingi kesaktian pemuka Islam yang terkenal ini.

Tanpa disadari, Sang Brahmana segera berjongkok di hadapan Sunan Bonang, mohon maaf atas kesombongan dan kelancangannya, dan sekaligus mohon agar diterima sebagai muridnya.

***

Pada suatu ketika Sunan Bonang berjalan melintasi hutan yang terkenal angker. Dalam perjalannya itu Sunan Bonang dihadang oleh sekawanan Perampok yang dipimpin oleh jagoan bernama Kebo Danu. Sunan Bonang tenang-tenang saja. Sembari memandangi satu persatu wajah para perampok yang seram-seram itu, Sunan Bonang melantunkan tembang Durmo. Seketika itu juga keajaiban terjadi. Kebo Danu dan seluruh anak buahnya tidak dapat bergerak. Kaki, tangan, dan seluruh tubuh mereka menjadi kaku. Oleh karena itu para perampok tersebut tidak dapat berbuat lain kecuali berteriak minta ampun kepada Sunan Bonang.

Setelah bertobat dan bersujud tanda minta ampun kepada Sunan Bonang, Kebo Danu dan anak buahnya kembali dapat menggerakkan anggota tubuhnya. Karena mengakui akan kehebatan Sunan Bonang, maka seluruh rombongan perampok tersebut masuk Islam. Kebo Danu dan anak buahnya itu lalu mengikuti Sunan Bonang, kemudian menjadi murid untuk berguru Islam di pesantren Mbonang, Tuban.

***

Sunan Bonang meninggal dunia sekitar tahun 1525 M,  lokasi makamnya ada di 2 tempat. Lokasi makam yang pertama  yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi berada di di belakang masjid agung Tuban, dan lokasi makamnya yang satu lagi berada di kampung Tegal Gubug pulau Bawean.

Mengapa makam Sunan Bonang ada di dua tempat? Begini cerita:

Ketika beliau meninggal dunia, kabar duka tersebut sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Bawean. Bersama murid-murid Sunan Bonang yang lain, ia membawa jenazah gurunya ke Bawean. Sehingga terjadi perebutan jenazah Sunan Bonang antara santri dari Bawean dan Tuban. Singkat cerita jenazah berhasil dibawa ke Bawean.

Para santri dari Tuban berusaha untuk mengambil kembali jenazah guru mereka dan membawanya ke Tuban untuk dimakamkan. Mereka sengaja datang malam hari dan ketika mereka melihat Jenazah Sunan Bonang di tunggui banyak santri dari Bawean, maka para santri dari tuban menidurkan mereka dengan ilmu sirep. Ketika kemudian para santri Bawean tertidur karena pengaruh ilmu sirep, para santri Tuban segera membawa pergi jenazah sunan Bonang untuk dimakamkan di halaman belakang  masjid agung Tuban.

Sesuatu keanehan pun terjadi. Jenazah sunan Bonang yang ada di Bawean juga masih ada tetapi kafannya tinggal satu, dan pada keesokan harinya , dua jenazah itu sama-sama di makamkan di kedua tempat yang berbeda. Di halaman belakang masjid agung Tuban dan di desa Tegal Gubuk, Bawean.
Wallahu’alam bi sawab.

Dapoer Sastra Tjisaoek, Juni 2020.
Dihimpun dari berbagai sumber, dan diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *