Bidadari Penjelajah Masehi

Nana Sastrawan

Suatu ketika saya bertemu dengan seorang anak muda di Yogyakarta pada acara sastra tingkat Asia Tenggara. Dia masih mahasiswa, pembaca buku dan pemerhati teori-teori sastra. Singkatnya, dia adalah seorang penjelajah ilmu. Namanya, Shinny.ane el’poesya. Ya, unik memang nama pena yang dipilih. Belakangan diketahui nama itu pemberian seseorang yang sangat dekat dengannya.

Beberapa tahun kemudian, saya menemukan buku puisi berjudul ‘Kotak Cinta’ di rak buku seorang teman, sempat saya terkejut, nama penulis buku tersebut sama dengan nama anak muda yang saya temui di Yogyakarta. Lembar demi lembar saya baca. Semakin saya terkaget, puisi-puisi yang ditulis Shiny sangat berbeda dengan yang lain. Semakin yakin dalam diri, bahwa dia memang penjelajah ilmu.

Tak selang beberapa waktu, saya pun menemukan kembali buku puisi berjudul ‘Sains Puisi’ di rak buku seorang kritikus sastra termasyur ketika berkunjung ke rumahnya. Penulisnya pun Shiny. Penasaran, saya baca buku itu, semakin gamblang bahwa anak muda ini memang serius mendalami bahasa, khususnya sastra. Puisi-puisi dalam buku itu sangat unik dan segar, dia tidak menggunakan kata sebagai media pembentuk puisi, tetapi angka, gambar dan lainnya dikemas menjadi puisi. Dia menggabungkan berbagai macam keilmuan, seperti matematika, fisika dan lainnya menjadi puisi yang multitafsir.

[iklan]

Jika kita cermati lagi tentang seorang penjelajah ilmu, tentu akan timbul pertanyaan, di manakah batas lingkup penjelajahannya? Atau Di manakah letak ilmu bisa terhenti untuk dikaji, atau apa yang menjadi karakteristik obyek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Inilah bab yang akan saya buka, ketika tak sengaja saya kembali bertemu dengan Shiny di kota Cirebon dan dia menyodorkan buku puisi terbarunya berjudul ‘Bidadari Masehi’.

Buku itu memuat 77 Puisi dan terbit pada Juni 2020. Puisi-puisinya pun ditulis antara tahun 2014 hingga 2020. Akan tetapi, puisi-puisi dalam buku ini sangat berbeda dengan puisi-puisi pada dua buku sebelumnya meskipun rentang penulisannya pada tahun-tahun yang sama. Puisi-puisi pada buku ini, tak ada bedanya dengan jenis puisi pada umumnya, gaya penulisannya pun datar. Naratif.

Misalnya pada puisi ‘Maryam’, Shiny begitu hening, lembut dan sendu dalam menuliskannya.

Maryam adalah Ibu
dan sebab Ibu
ia adalah sumber kelahiran kasih
 
sebab sifat ibu
pula Tuhan melahirkan
alam semesta
 
Ibu, adalah tempat mengarah segala
tempat tergumpal dendam dan cinta
 
Dendam sebab sebesar apapun kasih ibu
seorang anak selalu merasa kurang dan tak puas
Dan cinta sebab dalam dendam itu
seorang anak selalu tak mampu membalas
 
Ibu, adalah darah yang mengalir
dari ujung ubun-ubun hingga kaki
sebelum air anggur dan cawan
jadi penting dalam perjamuan suci
 
Ibu, adalah daging sejati
ketika ruh seorang anak
masih melayang-layang dalam mimpi
 
 Ibu adalah Maryam
 dan Maryam adalah Ibu
 yang hidup dalam pelukan
 keinginan ilahi
 
 Oleh karenanya, setelah almanak sepi
 dalam menghitung mimpi duniawi
 ke dalam rumahmu aku kini diam kembali
 
 Menghadap Tuhan–yang turun mencari
 anak-anaknya yang jatuh dalam cemas–
 di luar surga dan kolam susu abadi

Sepertinya ada kegelisahan yang lain pada diri Shiny dalam proses menjelajah dan mendalami ilmu. Pada buku puisi ini, keresahan yang paling terlihat adalah ruang keagamaan dan keimanan. Simak puisi berikutnya berjudul ‘Di Yudea’.

Di Yudea, oleh seorang perawan lahirlah seorang anak kepada kita
yang ditakdirkan untuk mengumpulkan para gembala
           
Maka datanglah di pinggir palungan
kepada Yohannes, Gabriel
membawa kabar gembira
bahwa telah sampai waktunya
berbuah pohon angggur dan ara
 
Di Yudea, di Bait Laila,
pada awal bulan Sivan
telah turun kepada kita, bukan …
bukan kata-kata,
melainkan seorang anak manusia
 
Seperti rembulan, bintangnya
atau asap minyak Mur yang seringkali
masih tersebar harumnya di luar malam hari
–seperti cinta yang kerap menembus jiwamu
 
Bahwa telah sampai waktunya
yang dari musim telah lama
berbuah pohon anggur dan ara
yang kelak dapat kau simpan
dalam kain lampin mabuk sajakku
 
Yang dari langit turun ke dadamu
ke Bait Lahmimu–ke rumah dagingmu
 
Di Yudea. Ya, di Yudea.
 
Oleh seorang Ibu–yaitu Maria yang jiwanya
senantiasa memuliakan Tuhannya,
telah lahirlah seorang anak kepada kita
yang ditakdirkan untuk membebaskan
manusia dari seluruh rasa bencinya

Seorang penyair, hakikatnya memang selalu mencari dan mengikuti kegelisahan dalam dirinya. Mengamati keadaan di sekitar dan mengasah kepekaan. Yang saya tahu, Shiny adalah seorang muslim, dia dibesarkan di Cirebon dengan latar belakang kebudayaan Islam yang sangat kental. Lalu, mengapa dia menulis puisi bertemakan keagamaan Kristen atau Katholik? Apakah dia akan pindah agama?

Akan tetapi, pada dua puisi itu Shinny telah memberikan simbol pemaknaan yang lain dari konsep kepercayaan Kristen atau Katholik. Shinny masih melihat dari kacamata di luar keagamaan tersebut. Pemahaman keilmuan dan kebudayaan Islam masih melekat pada dirinya, tampak pada Ibu adalah Maryam dan Maryam adalah Ibu. Atau pada kalimat Oleh seorang Ibu–yaitu Maria yang jiwanya senantiasa memuliakan Tuhannya. Dua puisi itu sepertinya ingin menegaskan bahwa Maryam dan Maria adalah orang yang sama, dan ia adalah seorang manusia yang diistimewakan oleh Tuhan, melahirkan seorang anak laki-laki yang istimewa pula. Di sini, Shinny masih belum beranjak untuk berpaling dari agama Islam.

Lalu, apa sebenarnya yang sedang dijelajahi oleh Shinny pada konteks kebudayaan Kristen atau Katholik di dalam puisi-puisinya. Benarkah Shinny tengah mengembara ke bidang keilmuwan spiritual setelah dia berkutat dalam ruang-ruang sains? Atau hanya sebagai onani, memuntahkan segala pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam kepala melalui puisi. Atau, memang keyakinannya telah bergeser?

Sebagai penyair, hal itu tidak pernah salah. Sebab penyair memiliki keluasaan dalam mengekspresikan dirinya, pikirannya melalui puisi. Saya kira, penyair-penyair Barat lebih besar kebebasannya, dan sejarah para nabi menjadi sumber yang tak kering-keringnya. Sebut saja penggambaran Isa, peristiwa sejarah dan perjalanan hidupnya dari pengorbanan, penderitaan dan kematiannya menjadi sumber inspirasi sehingga mewujud karya-karya yang fenomemal. Atau, di Timur Tengah, banyak sekali karya sastra yang mengupas Nabi Muhammad sebagai teladan sosok manusia yang sempurna.

Di sini, Shiny menyadari bahwa dia sedang menulis karya sastra, bukan sedang menggoyahkan keimanannya. Atau, bisa jadi dia semakin teguh imannya ketika mengenal kebudayaan agama lain selain agama yang dianutnya. Sebenarnya, dia sedang menguliti keimanannya sendiri yang kelak akan dijahit dengan benang-benang keteguhan. Itu tergambar di puisi ‘Suatu Hari, Di Bukit Perea; Ketika Orang-Orang Tengah Riuh’ pada sebagian larik-lariknyanya.

Tetapi, memang begitulah sebuah permainan yang berlaku di
dalam iman. Nyatanya, meskipun peristiwa sejarah Nampak begitu
mengenyukan, tak jarang yang membuat seperti itu adalah
justru ketika Allah kita yang maha kuasa begitu bisu. Membiarkan
segala sesuatunya terjadi begitu saja, menerocos bersahut-sahutan
tanpa sebuah amnesti; seakan di luar tembok kota, pula hadir
sekelompok serigala melolong susul-menyusul tak mau raib bersama
ribuan suara kelepak sayap malaikat yang bolong di sana-sini
melipatgandakan gaduh.
 
Pada saat yang sama seperti itu seorang penyair kecil pun gemetar,
antara gemerincing wahyu dan badai, antara kitab yang turun
dan kitab yang hadir, antara surga dan neraka yang dikabarkan
dan surga-neraka yang saling bertautan pada tubuh yang semakin
remuk dan cucur.

H.B. Jassin dalam ‘Tuhan, Imajinasi Manusia dan Kebebasan Mencipta’ di buku Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam (2017) menyatakan Maka apabila seorang pengarang atau pelukis menggambarkan Tuhan dengan kata-kata, dengan lukisan, ataupun dengan patung, dia tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi ide ketuhanan. Demikian pula orang lain, umat yang melihat, mereka tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi ide ketuhanan. Jadi, yang dituliskan Shiny bukanlah penyesatan dirinya sebagai muslim, tetapi penuangan gagasan dirinya sebagai penyair.

Itu pun bisa kita temukan pada puisi ‘Di Masjid Ini’.
Di masjid ini–di masjid malam ini
aku tak melihat seorang pun
ruku atau bahkan bertakbir
hanya kudengar suara sebuah tangisan
gaib yang menggema sudah begitu tua
 
Suara itu entah mengapa aku rasa
ingin sekali memeluknya
mengasihi dan mencintainya

Tarik-menarik pengetahuan ilmu dan keyakinan keagamaan pada diri Shiny begitu kuat dalam buku ini. Di satu sisi, dia mempelajari sejarah dan kebudayaan Kristen atau Katholik, di sisi lain dia adalah seorang Muslim sejati. Bisa jadi, ide penulisan puisi-puisi ini di latar belakangi oleh peristiwa politik di Negeri ini, di mana hampir sering berseliweran politik keagamaan yang muncul ke permukaan, yang disadari olehnya bukan dari bagian kehidupan keagamaan itu sendiri, melainkan kehidupan kekuasaan.

Shiny seolah ingin menempatkan bahwa sejarah manusia pada dasarnya hanya satu sumber, memiliki langit dan tanah yang sama. Dia pun memunculkan tokoh ‘Aku’ yang dapat direpresentasikan sebagai manusia pada puisi ‘Gnossienne 01.’

Dengarlah …
 
Pada mulanya angkasa sunyi
di pelukan senyap seorang bidadari
yang tertidur tanpa mimpi
 
Dengarlah …
 
Pada mulanya angkasa sunyi
di pelukan lelap, sebelum masehi
yang berputar tanpa inti
 
Segalanya hanya ADA
dan kata-kata hanya DADA
 
Lalu, tumbuh di angkasa sunyi
setangkai mawar di sayap sang penghuni
di sayap Jibril, ruh suci
 
Segalanya kemudian Cahaya
dan kata-kata melayang-layang
di antara panas dan dingin udara
 
Di antara
 
rindu tubuhmu
dan pengawasanNya.
 
            Aku …

Pada puisi ‘Prelude’ pun tergambar bagaimana seorang Shiny menempatkan dirinya sebagai manusia yang diliputi keresahan akan keruwetan duniawi, pada larik Apa yang kau rindukan?/ Suasana Agung yang selalu kau buang/ kau bungkam; dan selalu seperti itu. Dan juga dipetegas di puisi ‘Bayangkan’ pada bait Bayangkan …/ Jika semua orang di awal abad ini sudah sama seperti mereka/ yang terlahir sebagai generasi bunga–dan Hippie/ dan tak ada satu pun jiwa lagi yang masih kukuh berebut/ pada tujuan suci: perang-perang agama, perang kebudayaan, perang ideologi, hegemoni, perang filsafat, high politics?/ tetapi, toh nyatanya justru yang muncul apa yang paling menakutkan/ yaitu perang demi kerakusan yang terbuka/ juga sekaligus perang-perang yang dibuat oleh iman kepada semua itu.

Kenyataan, memang latar belakang inilah yang membuat Shinny menjelajahi ilmu di bidang keagamaan selain agama yang dianutnya. Meskipun demikian, dalam penjelajahan ilmu pasti akan terbentur dengan batas-batas. Sebab, ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Misalnya, apakah ilmu mempelajari Surga dan Neraka, tentu jawabannya akan tidak jika berdasarkan pengalaman manusia, sebab surga dan neraka di luar jangkauan manusia, begitu pun dengan keyakinan seseorang dalam mengenal Tuhan. Kita tidak bisa menjangkau pengalaman seseorang dalam berkeyakinan, begitu pun orang lain tak bisa menjangkau pengalaman kita. Yang bisa kita implementasikan adalah ajaran-ajaran agama yang kita anut dalam kehidupan berkemanusiaan.

Shinny pun menjawab keresahan-keresahan yang muncul dalam dirinya tentang situasi spiritual, pada bait puisi ‘Di Taman Sebuah Apartemen’.

Di taman sebuah apartemen
Di antara sepi katedral dan suara masjid
Mendengar itu, tentu angin pun tak tiba-tiba
mendadak berhenti seolah Tuhan
memberi tanda Ia takut dan ngeri
            pada dosa;
 
nyatanya semua biasa-biasa saja
Kota terus bergerak, kesiur musim terus bergerak
 
Hanya saja,
dari jauh tercium sedak, bau parfum juga arak

Ya, bait puisi itu seolah memberikan gambaran bahwa agama pada akhirnya hanya jalan keyakinan seseorang untuk menuju kepada hal yang lebih baik, yang pencapaiannya suci, hidup abadi dalam surga. Pada puisi-puisi Shinny sesungguhnya tidak mengulas tentang agama, melainkan menjelaskan tentang manusia-manusia yang ‘katanya’ beragama dan berketuhanan.

Kali ini, Shiny berusaha menjadi penyair yang ingin mencerahkan pembacanya melalui puisi yang gamblang, tidak gelap seperti puisi-puisi sebelumnya. Sebab, seperti Dick Hartoko nyatakan dalam artikel yang berjudul ‘Penyair Sebagai Bendahara Sabda’ bahwa kepada penyairlah sabda itu diserahkan untuk dipelihara. Sabda itu lebih padat daripada gagasan saja: sabda adalah gagasan yang telah mendarah dan mendaging. Karena jiwa dan badan itu terlebur menjadi satu keesaan, maka sabda adalah lebih daripada suatu hembusan napas yang hanya mengisyaratkan suatu gagasan.

Maka terbanglah wahai penyair dengan sayap kata-kata, seperti bidadari atau malaikat menjelajahi masehi.

Juli 2020

KLIK WAWANCARA KHUSUS DENGAN PENULIS BUKUNYA DI SINI
https://www.youtube.com/watch?v=FfBDQGSqWlI

Shinny

Nana Sastrawan, Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2015.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *