Hari-Hari Menjelang Pesta
Eri Setiawan
Katanya, kalau calon punya uang, ia bisa melanglang ke mana saja, termasuk berkunjung ke gubuk-gubuk tetangga, sampai istana milik orang kaya kelas desa. Ia bakal disambut bak panglima atau semacam sinterklas yang selalu memberi kabar gembira dan kerap bagi hadiah, seperti yang dikisahkan oleh orang-orang Nasrani. Katanya, kalau calon punya uang, ia akan dikunjungi orang-orang dari dusun mana saja. Dari dusun terpencil, sampai dusun yang berada tak jauh dari jalan raya. Pada malam-malam hari, mereka secara bergantian akan menjadi tamu yang bersenyum-senyum sambil berlagak hormat. Lantas, keduanya bak keluarga baru yang begitu hangat. Sebagian menyusun konsep dan strategi. Mencari celah untuk menarik simpati warga dengan meluapkan propaganda yang dibuat meyakinkan serta menyusun alokasi anggaran. Sebagian lagi, hanya sebagai partikel yang memegang pepatah Jawa tut wuri handayani dalam tanda kutip. Dan katanya, kalau calon punya uang, kata-kata kurang meyakinkan pun bisa menjelma nur di balik kegelapan dan kengerian yang dimaklumi secara kurang sadar atau bahkan sangat sadar, tergantung pola pikir dan moral orang-orang. Kalau kita bicara seperti ini, Bung. Kita seperti orang-orang yang benar-benar memahami demokrasi, bukan? Atau malah sebaliknya?
***
“Pemerintahan negeri kita ini sifatnya vertikal dan nyatanya dimulai dari puncak. Sangat kecil sistem bermula dari lembah, kemudian merambat sampai puncak. Jadi, segala kecurangan dan kengerian itu dimulai dari pusat,” ungkap Radmi di muka orang-orang muda bergaya aktivis itu.
“Tapi, siapa yang perlu kita salahkan? Kita tidaklah tahu secara perinci, zaman siapa yang memulai dan dari negeri sendiri atau hasil imitasi dari negeri lain. Tapi, baiknya sudahlah kita tak perlu banyak bicara masalah zaman dan money politik terlalu larut. Yang terpenting, bagaimana caranya kita membalikkan hakikat itu tadi. Dimulai dari demokrasi tingkat bawah,” lanjut Radmi lebih berapi-api.
Orang-orang muda yang sejak tadi menyimak dengan saksama, mengangguk-angguk, lalu kembali menikmati secangkir kopi dan rokok kretek beserta umbo rampe medangan sederhana. Tak beberapa lama, datanglah segerombol kecil orang tua yang sepertinya sepihak. Suasana menjadi kian menghangat. Diskusi semakin mantap meskipun ruang jadi lebih pengap.
“Mereka mulai licik, Kang. Dengan mata kepala sendiri, saya menyaksikan orang-orang kepercayaan Kang Gordon mulai berkeliaran. Mengunjungi rumah-rumah warga dari pintu yang satu ke pintu lain. Mereka bawa tas selempang yang saya kira saya tahu isinya,” ungkap seorang tua.
“Berbeda dengan saya, Kang, tetapi kasusnya serupa. Tadi siang, orang kepercayaan Kang Gordon datang merayuku, menghasutku. Bahkan, saya diiming-imingi dapat jabatan atau setidaknya saya bakal diberi kepercayaan yang cukup lumayan jika saya ikut dengan otaknya,” ungkap seorang tua yang cukup disegani di desa.
“Kalau kami sebagai pemuda, insyaallah tetap bulat dan tegak bagaimanapun cara mereka mencoba mematahkan tekad kami. Kami yang nantinya sebagai generasi penerus, memiliki ketakutan sendiri, bahwa jika hal itu terus saja dibiarkan, moral orang-orang bakal makin seram, lantas desa makin suram,” papar seorang muda mewakili kawan-kawannya.
***
Banner dan beberapa baliho sudah terpapar di mana-mana: di pasar, di sepanjang jalan, dan bahkan gang-gang. Pesta rakyat sebentar lagi bakal digelar di Desa Kalikirik. Kali ini, dua calon kepala desa sudah menjadi perbincangan orang-orang dari beragam kalangan. Bahkan, tak sedikit perbincangan-perbincangan mereka berakhir ricuh atau sengit-sengitan kalau kalau tak sepaham, tak sepilihan. Tak hanya dari kalangan pelajar, anak muda pengangguran, petani, pegawai swasta, atau para pedagang yang memang pandai bicara, tetapi juga di kalangan perangkat desa. Pun, tak terkecuali guru, yang notabennya sebagai pendidik, mendidik calon generasi bangsa.
“Loh, Kang Radmi itu orang jujur! Bakal bawa mujur. Sangat bagus memimpin desa kita ini. Memajukan desa ini!”
“Kang Gordon itu orang terpelajar, juga kaya! Orang-orangnya banyak. Punya relasi dengan pejabat-pejabat daerah. Sedangkan Radmi? Orang miskin kok mau jadi kades.”
“Kaukira Kang Radmi tak terpelajar?! Pekok! Dia guru ngaji. Mengayomi masyarakat. Rajin pula mengisi pengajian di masjid besar desa kita ini. Gordon? Mana pernah. Kenapa orang miskin tak boleh jadi kades? Daripada orang kaya atau pura-pura kaya. Awalnya menghambur-hamburkan duit sampai hampir titik penghabisan. Akhirnya, kalau sudah jadi, gruwek sana gruwek sini. Tahu-tahu, dana proyek infrastruktur dari Pemda tak pernah menyambangi fasilitas dengan layak dan kesejahteraan masyarakat terzalimi. Jalan-jalan rusak sebagian dibiarkan, sebagian lagi diperbaiki dengan bahan yang murah meriah. Parah! Saya justru tak yakin, Gordon benar-benar orang terpelajar!”
“Jangan fitnah! Itu hanya bentuk kesirikan orang-orang atas kesuksesannya. Jangan samakan dengan yang sudah-sudah. Kang Gordon itu beda. Beda! Orang yang penuh wibawa dan selalu tampil meyakinkan dalam mendeklarasikan visi misinya saat kampanye.”
“Dasar buta! Sudah jelas-jelas kelakuannya begitu. Nyogok rakyat kecil dengan 20 ribu itu wibawa? Nyogok warga dengan 50 ribu itu meyakinkan? Oh, ya. Kau hendak dikasih duit berapa? Atau diberi sepeda motor yang bodinya masih kinyis-kinyis itu, hah?!
“Jangan selalu katakan itu sogokan, Kang! Bukannya sudah lumrah terjadi hal seperti itu? Mana ada dalam pemilu; dari presiden, DPR, gubernur sampai kades tak mengulurkan ampop? Rakyat juga tak mempersalahkan. Justru, justru mereka menanti-nanti. Benar, bukan?”
“Kau ini orang cukup terpelajar, seorang guru, tepatnya oknum dari kalangan guru. Bagaimana mungkin hal sedemikian soak dibilang lumrah? Mereka menanti-nanti karena telah diberi lampu hijau. Kalau calon tak bermain-main, rakyat tak mungkin menjadi buas seperti itu.”
“Eh! Saya kira, Kang Radmi juga nyogok dengan mengatasnamakan agama, benar? Berupa pengajian-pengajian yang saya rasa akhir-akhir ini makin sering. Tentu, ada maksudnya, bukan?”
“Jadi, menurutmu nyogok? Kalau memang dimaknai nyogok, nyogok lewat pengajian apa ruginya? Toh, sebelum mencalonkan diri, Kang Radmi sudah sering mengisi pengajian, bahkan tak cuma satu dua kali menggelar acara-acara agama yang tentu berfaedah. Beda dengan Kang Gordon. Bukannya mengajak masyarakat untuk lebih mengerti Tuhan, justru malah menggelar acara maksiat dan main sogok. Nasib desa kok ditukar dengan dangdutan dan duit receh!”
“Wah, sepertinya sekarang ada yang berubah jadi lebih idealis.”
Makin dekat dengan pesta rakyat, biasanya makin tinggi tingkat perselisihannya. Sebagian orang tak lagi mengadili terik matahari sebagai sumber utama hawa panas, tetapi terik justru keluar dari diri mereka sendiri. Pada akhirnya, demokrasi justru dikambinghitamkan sebagai sumber malapetaka. Sumber perselisihan, bahkan kematian manusia. Lalu, beberapa orang menginginkan negeri ini kembali seperti dahulu: bersistem monarki. Atau kalau kita lihat di berita televisi, sebagian orang menginginkan negeri ini menjadi negeri Islam. Tentunya, sistem bakal kembali juga pada masa lalu: monarki.
***
Pesta rakyat makin dekat. Kesiapan di tempat-tempat pemungutan suara menjelang seratus persen. Tandanya, pemilukades sudah di ujung tanduk. Malam ini, tentunya orang-orang kepercayaan dari kedua belah pihak makin bersiap siaga melancarkan aksinya.
Benar! Tampak utusan-utusan Kang Gordon mulai berbondong-bondong mengunjungi kediaman bosnya itu. Begitu pun orang-orangnya Kang Radmi.
Malam menjelang pagi tampak lebih ramai dari biasanya. Hilir mudik kendaraan roda dua terasa menyabet telinga. Namun, kebanyakan warga memaklumi hal-hal semacam itu. Dalam benaknya, namanya saja mau pilihan, kalau tak ramai, ya, tak bisa dinamakan pesta, pesta rakyat.
“Mereka bergerak busuk, kita sergap! Saya yakin di masa-masa akhir ini, Kang Gordon tambah buas!”
“Siap! Eh, tapi setelah itu kita serahkan ke siapa, Komandan?!
“Bupati sekalian!”
“Apakah Pak Bupati bakal meladeni dengan baik? Bukannya Pak Bupati waktu pilkada juga……… “
“Kalau perlu langsung ke presiden! Kaudengar bukan, presiden kita, kan, benci demokrasi cacat. Katanya, kalau ada bau-bau kecurangan, laporkan saja!”
“Baikah, kami siap-siap!”
“Tunggu dulu. Jangan sampai ada penumpahan darah seperti desa lain. Gunakan kata-kata kalian dengan bijak kalau nanti kecurangan tim Kang Gordon kepergok.”
“Baiklah, kami cukup paham!”
“Pastikan kampanye terselubung itu kita cegah!”
“Siap, Komandan!”
Kedua belah pihak dipastikan mulai beraksi. Malam menjelang pagi ini seperti bakal ada pertarungan strategi untuk mengawali prapesta rakyat. Pihak pertama tentunya sangat berhati-hati dalam bertindak. Sementara, pihak kedua tentunya sudah siap siaga untuk menjadi detektif, menyelediki sekaligus mencegah kezaliman yang bakal terjadi.
“Aku yakin, orang-orangnya Kang Radmi takkan diam dengan apa yang bakal kita lakukan. Tetap tenang! Cari celah! Sebisa mungkin jangan sampai kepergok! Kalau kalau pahitnya kepergok, berpura-puralah, mengelaklah sedapat mungkin. Dan, jangan gegabah. Sebisa mungkin, tak ada tas di tubuh kalian. Kalian bisa simpan di mana saja, selain tas. Kalau perlu, simpanlah di bagian-bagian tubuh yang sekiranya aman. Buat jaga-jaga, kalau nanti sungguh kepergok!”
“Siap, Pak!”
Mereka pun bergegas, bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing. Dengan modal keyakinan dan hasil dari arahan komandan masing-masing, mereka saling mengintai. Lucu, bukan? Kalau mereka saling mengintai, siapa yang bakal ditubruk? Tentu saja pengintaian tim Gordon tak hanya sekadar mengintai. Jikalau dikira hening dan aman, mungkin satu per satu bakal mulai beraksi mengetuk pintu-pintu rumah. Waktu sudah menunjukkan subuh, tentu saja banyak dari mereka yang sudah terbangun. Atau biar lebih aman, maka strategi kedua diandalkan. Amplop akan dimasukkan lewat celah-celah pintu atau jendela dan tentu saja dibubuhi keterangan identitas ‘sang penyumbang’ dengan ditambahi sedikit kata-kata propaganda.
“Celaka! Mengapa tak ada tanda-tanda mencurigakan dari tim Gordon? Yang ada hanya orang-orang mau ibadah,” bisik seorang laki-laki kepada satu timnya.
“Kita cek pintu belakang!”
“Tamu kok lewat belakang?”
“Jangan bodoh! Mereka pasti sudah menyiapkan itu semua!”
“Eh, kenapa tak cek musala atau masjid?”
“Kok?”
“Bisa saja aksinya dilancarkan di tempat itu.”
“Tidak mungkin! Lebih baik ke rumah Pak RT.”
“Kok?”
“Ya, nitip!”
“Heh, lihat! Bukannya itu Kardun? Tukang mabuk kok subuhan. Apa jangan-jangan…..”
***
“Kalau saya punya uang, saya tidak akan menyalakan rambu-rambu hijau kepada masyarakat bahwa saya bakal memberikan selembar kertas biru atau hijau. Kalau toh saya berkeinginan menyogok, eh, maksud saya menyumbang, saya bakal memberi mereka kitab. Ya, kitab. Saya rasa, dari banyaknya Muslim dan sebagian kecil umat lain di desa kita ini, masih banyak yang belum menyisihkan rezekinya untuk membeli kitab atau mengganti kitab yang rusak secara fisik dengan kitab yang baru. Sayangnya, kali ini saya benar-benar belum mampu. Saya selalu berdoa kepada Sang Gusti, saya diberi rezeki itu, walaupun jika nanti saya tak digariskan terpilih di pemilukades tahun ini. Kita serahkan saja kepada Sang Khalik, kepada hati nurani masyarakat.”
Eri Setiawan. Lahir di Banjarnegara, 23 Januari 1993 dan tinggal di alamat Ledug, RT 02/02 Kembaran, Banyumas. Tergabung pada komunitas KPI, memiliki pekerjaan sebagai. Guru di SMPN 2 Pengadegan, Purbalingga.