
Orang-orang di kampung Tuak sudah merasa terbiasa dengan keberadaan gadis belia yang kerap kali berdiri di gerbang Gereja waktu pagi menjelang untuk sekedar menyaksikan kicauan burung gereja yang beterbangan dan ketika sore harinya duduk di pos ronda. Pos ronda dengan tiang penyanggahnya yang sudah lapuk menjadi tempat ternyaman bagi gadis kecil itu berteduh. Terkadang Ia membaringkan tubuh sembari membelai rambutnya yang sedikit panjang. Terkadang Ia menulis-nulis di tanah dengan jari mungilnya. Jika dilihat gadis ini memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, wajah bulat, pipinya menyerupai sulur-sulur sungai Efrat dengan dua alis yang selalu membungkus matanya yang kalau diperhatikan dengan saksama menyerupai pelangi di musim hujan. Namanya Nina dan jika dikira usianya mungkin baru dua atau tiga belasan tahun.
Biasanya saat malam mulai menyelimuti seluruh kampung, gadis kecil itu pun bergegas dengan kantong plastik merah yang mulai kusam beranjak ke tempat pembuangan sampah di ujung kampung. Ia memungut beberapa botol atau kaleng dan barang bekas lainnya yang kemudian jual di Mas Waja, seorang pengusaha pengolahan barang bekas. Aktivitas ini dilakukan oleh gadis kecil itu setiap hari. Mungkin ini yang menyebabkan seluruh masyarakat di kampung Tuak mengiranya anak seorang pemulung atau siapalah. Dan mereka merasa bukan urusannya untuk mengetahui siapa gadis kecil ini.
Jika ada orang baik yang dijumpai, maka gadis ini dipanggil dan diberikan makan, kemudian Ia pamit pergi entah ke mana, tetapi yang pasti bahwa sore harinya Ia sudah berada di pos ronda. Ketidak ingin tahu masyarakat perihal gadis kecil ini, bisa saja disebabkan oleh sifat pendiam atau mungkin sifat masa bodoh dari gadis kecil itu, karena tidak mau mengatakan atau menceritakan segala tentang hidupnya saat ada orang yang bertanya.
Mungkin gadis kecil ini berpikir, jika Ia menceritakan siapa dirinya atau segala tentangnya kepada orang-orang di kampung Tuak yang sering menanyakan hal itu ketika berjumpa, lalu apa yang akan mereka lakukan. Atau mungkin hanya terdengar jawaban “oh iya” atau “oh kasihanya kamu”. Untuk apa? Karena itu gadis kecil ini merasa tidak perlu menceritakan semuanya. Dia memilih untuk tetap diam, meskipun diam itu tidak selamanya emas.
***
Terdapat sebuah rumah yang terbilang sedikit mewah, berhiaskan taman dengan aneka bunga mawar dan asoka yang memenuhinya. Terlihat juga di samping rumah tersebut tampak sebuah kubur yang didesain dengan keramik biru mengkilat. Di sana Nina si gadis kecil duduk berdiam diri di kamarnya sembari bermain dengan gadgednya.
“Nina cepatlah ambil tasmu yang sudah dikemas!” Pinta ibunya yang terlihat sangat sibuk mengurusi segala sesuatu untuk pindahan.
“Iya bu. Sebentar. Nina masih asyik main game ini,” gerutu Nina yang masih sibuk dengan Gadgednya.
Ibunya yang mulai kesal, terus membereskan segala sesuatu dan dibantu oleh beberapa orang tanpa merasa ingin menyuruh Nina lagi.
Segala sesuatu mulai dari perabot rumah tangga sampai barang yang kecil pun perlahan dibereskan dan ditaruh di mobil pick up yang akan memuati dan mengantarnya ke tempat tujuan.
Nina sebenarnya tidak sedang asyik bermain game di Gadgednya. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Ia hanya ingin mengelabui perasaannya pada ibu.
Lalu Nina mendapati ibunya di ruang tamu.
“Ibu Nina tidak ingin pindah. Nina mau tetap di sini,” bisik Nina sembari memeluk ibunya. Tidak dimungkiri air matanya tumpah, mengalir di pipi dan membentuk bulir-bulir air mata yang kini menjadi mata air keramat. Sedangkan di tangannya menggenggamkan foto ayahnya yang tampak gagah berpakaian putih bersih, yang menjadi ciri khas seorang dokter.
Kala corona menyerang kota mereka, ayah Nina adalah satu-satunya dokter yang menjadi penolong di garda terdepan bagi pasien yang terpapar corona atau yang dikenal covid 19 itu. Namun disayangkan nasib nahas menimpa ayahnya, Covid 19 tanpa tanggung-tanggung dengan ganasnya merenggut nyawa ayah Nina. Hanya doa dan kerelaan yang dapat dilakukan Nina dan Ibunya atas kepergian sosok yang tercinta.
Sungguh tidak adil bukan hidup ini? sebuah pertanyaan yang acap kali dilontarkan gadis belia seperti Nina.
“Ibu. Nina rindu ayah. Nina tidak mau meninggalkan ayah seorang diri di rumah. Nina mau setiap hari menemani ayah dan ingin bercerita dengannya.”
Ibunya hanya diam sembari terus membelai rambut putrinya, mengecup keningnya menumpahkan kasih sayang yang sungguh tiada duanya. Dan menyimpan segala gundah hatinya karena terpaksa harus pergi dari rumah yang telah melukiskan banyak kenangan bersama keluarga kecilnya.
Nina, gadis kecil yang kini beranjak remaja menangis tersedu-sedu menanti keputusan ibunya untuk segera batalkan rencana pindahan. Namun keputusan ini tidak dapat dibatalkan lagi. Mereka harus segera bergegas pergi karena rumahnya telah dijual demi kebutuhan ekonomi yang juga tidak kalah ‘porak-porandaknya’ akibat wabah corona atau covid 19. Tidak pelak bahwa bukan hanya keluarga Nina yang menderita, tetapi rata-rata semua penduduk merasakan hal yang sama.
Kebanyakan orang-orang mulai mengklaim kalau zaman ini adalah zaman kehancuran, atau juga zaman kebinasaan, dan banyak klaim negatif lainnya. Sebenarnya pernyataan ini menegasikan segala kekecewaan atau dalam refleksi filosofis tentang manusia merupakan bentuk ‘kerapuhan’ atau ‘ketidakberdayaan’ menghadapi wabah corona yang sungguh brengsek ini.
Semua sudah disiapkan. Dengan berat hati Nina dan ibunya pergi meninggalkan rumah mereka yang kini berteman sepi.
Mobil pick up berwarna hitam mengkilat melaju dengan cepatnya menerobos ruas-ruas jalan yang sepi tak berpenghuni. Kabut menyelimuti. Hujan mengguyur ‘meronta-ronta’ di luar mungkin tidak ingin jatuh ke bumi yang sedang sekarat dilanda oleh corona. Gemuruh guntur pun tidak kalah ingin bersuara dengan gemanya di momen itu.
Nina menarik jaketnya lalu berbisik pada ibunya, “Nina takut bu.”
Tenanglah nak. Ibu akan selalu di sampingmu, tangannya mendekap lebih erat anaknya Nina.
Ibu mencurahkan kepada Nina sebuah kenyamanan tanpa pamrih, Ia seperti sebuah doa tersendiri yang bergema dalam khusyuknya hening. Tanpa kata yang bertele-tele pun cinta dengan sendirinya akan memancarkan kasihnya.
Nina memiliki keyakinan yang kuat bahwa meskipun ayahnya telah pergi meninggalkan mereka, namun Ia masih memiliki seorang Ibu yang merupakan Bidadari tanpa sayap yang akan selalu hadir, berada, dan setia menjaganya.
Udara yang terasa dingin menusuk membuat Nina terlelap pada pangkuan ibunya. Sesekali Nina terjaga oleh karena bunyi gemuruh yang bersahut-sahutan seperti sedang berkidung. Dalam bayangannya masih terngiang rumah yang telah mereka tinggal pergikan. Inginnya saat ini berbaring di antara ayah dan ibunya sambil mendengarkan cerita-cerita dongeng yang biasa dikisahkan ayahnya. Namun ini sebuah ekspektasi yang berilusi, bukan?
Dalam mimpinya yang panjang, ketidaksadaran menjadi seperti kelanjutan dari kisah mimpi itu. Kejadian itu terjadi sangat cepat. Cepat sekali. Nina tidak ingat lagi apa yang sudah menimpanya.
Ketika terjaga Ia merasakan sesuatu yang aneh. Badannya terasa sakit, pelan-pelan Ia membuka mata dan langsung berpapasan dengan tulisan yang terpampang di pintu yakni ‘ruang UGD’. “Di manakah ini,” Nina sangat gugup. Ia menoleh di sisinya terbaring seorang perempuan yang terbungkus kain putih. Badannya terlihat sangat letih dan kaku. Dengan penglihatan yang masih belum jelas, Nina mencoba mengenali wajahnya. Ini ibuku. Iya ini ibuku, Nina meyakinkan dirinya.
“Aku tahu betul Ibuku perempuan yang kuat. Ini tidak mungkin terjadi,” Nina berteriak meluapkan segala ketidakpercayaannya.
“Ibu. Bangun ibu! Nina belum sempat membacakan puisi doa yang kutulis bersama ayah kala itu sebagai persembahan di hari ulang tahun ibu”. Tangisan Nina pecah di antara hiruk-pikuk kesibukan para petugas kesehatan di rumah sakit itu.
Penyangkalan terhadap realitas adalah sebuah kesia-sian, bukan? Apakah harus diterima begitu saja? Tetapi entahlah, rasanya belum pas untuk menjawabnya. Gadis belia seperti Nina seolah tahu betul apa itu kehilangan. Hilang berarti tidak kembali atau kepergian pada jarak yang telah memiliki batas yang tegas. Mungkin yang kembali hanyalah gambaran dan bayangan. Yang perlu diusahakan adalah merawat ingatan akan masa lampau yang pernah terekam dalam memori.
Pasca kecelakaan maut yang merenggut nyawa ibunya, Nina menjadi seorang yatim piatu. Tidak seorang pun lagi yang peduli padanya. Nina tidak tahu lagi ke mana langkah kakinya hendak pergi, kepada siapakah puisinya akan dibacakan.
Hidup ini terlalu kejam bukan? Nina seorang gadis kecil, diusianya yang masih belia harus mensesapkan pahitnya luka. Ia harus merasakan kehilangan orang yang dicintainya dua kali.
***
Barang-barang bekas di TPA di ujung kampung Tuak semakin menumpuk. Hal ini membuat beberapa warga kampung bertanya-tanya di manakah Nina si gadis kecil itu.
Beberapa hari terakhir ini, gadis kecil itu tidak terlihat lagi di depan gerbang Gereja sekedar menyaksikan kicauan burung yang menjadi kesukaannya waktu pagi atau juga duduk-duduk di pos ronda. Seolah warga kampung Tuak telah menjadi ‘galau’ tanpa lalu-lalang gadis kecil yang berdandanan plastik barang bekas itu.
“Di manakah Nina, si gadis kecil itu? Hal ini tidak seperti biasanya bukan? tanya seorang warga kepada beberapa warga yang lainnya.
“Biasanya jam begini Ia sudah di ujung kampung, memunguti barang-barang bekas,” sahut seorang warga.
“Atau gadis itu telah pergi ke tempat lain karena penghasilan barang bekas di kampung kita kan sudah mulai menurun karena masyarakat mulai menerapkan hidup hemat, menyangkut wabah corona kan masih merebak di mana-mana. Atau mungkin juga Ia telah dijemput oleh sanak kerabatnya,” sambung beberapa warga lain. Warga di kampung Tuak terus menduga-duga di mana Nina si gadis kecil itu berada sekarang.
Bergandengan dengan persoalan covid 19 yang sudah semakin pelik karena banyak korban yang berjatuhan. Hal ini membuat warga kampung Tuak lupa kalau tiang penyanggah yang sudah lapuk di pos ronda telah roboh dan menimpa Nina si gadis kecil itu.
***
Latrino lele. Berasal dari Raja dan sekarang masih kuliah. Hal yang paling disukainya adalah menyeruput kopi hitam waktu hujan luruh.