Syifa jatuh cinta. Meski ia tak pernah tahu wajahnya, ia jatuh cinta pada isi lokernya.

Waktu itu Syifa membutuhkan tambahan uang. Ayah sedang sakit serius. Batuknya tidak pernah berhenti. Setiap malam mereka jarang terlelap karena kasihan melihat Ayah yang batuk terus menerus. Terutama Ibu. Bolak-balik merebus air untuk diminumkan pada Ayah dengan maksud membantu mengurangi batuk Ayah yang kian parah. Syifa membantu mengerik dada Ayah dengan rheumason. Ayah sedikit terbantu walau hanya sebentar setelah itu batuk Ayah kembali lagi bahkan lebih panjang dari sebelumnya. Syifa tidak sampai hati melihat keadaan Ayah yang terus menerus batuk sambil memegangi dada tipisnya.

Ibu bekerja sebagai buruh cuci dan gosok. Setelah azan subuh Ibu harus keluar rumah menuju rumah yang pertama kali memesan tenaga Ibu. Syifa tak sampai hati melihat kondisi Ibu yang kurang tidur. Ingin sekali Syifa menyuruh Ibu libur dan itu artinya mereka akan puasa hari ini. Selain itu, mereka butuh uang untuk membeli obat batuk Ayah yang tinggal sesendok lagi. Syifa membiarkan Ibu berangkat setelah meminum segelas teh hangat.

Menjelang pagi Ayah jauh lebih baikan. Syifa membiarkan Ayah tidur. Batuk yang aneh. Pagi hingga sore batuk Ayah jarang terdengar. Begitu malam memberi salam batuk Ayah mulai bekerja hingga subuh. Tubuh Ayah kian hari bertambah ringkih. Tinggal kulit membalut tulang Ayah yang rapuh. Syifa memandangi wajah Ayah penuh rasa sayang.

Adi, adik bungsunya yang menjaga Ayah di rumah. Sudah setahun ini Adi belajar di rumah. Syifa berjuang keras mengisi paket ponselnya agar Adi bisa mengikuti pelajaran melalu we-a. Sekolah Adi adalah sekolah pinggiran, gurunya hanya mampu memberi pelajaran melalui we-a. Begitu pun, Syifa tak pernah lupa mengingatkan Adi untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan guru padanya. Syifa ingin adiknya pintar.

Setelah lulus SMK, Syifa diajak majikan Ibu bekerja di pabriknya. Sejak itu ekonomi keluarga Syifa sedikit terbantu. Namun, Syifa butuh uang lebih untuk mengobati Ayah.

Selama bekerja Syifa memiliki banyak teman. Termasuk anak majikan Ibu menjadi tempat curhat Syifa. Aline namanya. Dari mendengar kisah Syifa, Aline berusaha membantu dirinya. Aline mencarikan Syifa pekerjaan tambahan setelah pulang dari pabrik sore harinya. Aline menawari Syifa bekerja di tempat salah satu teman dekatnya.

Syifa membicarakan tawaran itu dengan Ibu. Lama Ibu membisu sebab tidak tega Syifa harus bekerja lebih keras demi tambahan uang. Syifa menyakinkan Ibu. Akhirnya Ibu merestui keinginan Syifa. Semangat Syifa kian berapi-api. Besoknya Syifa menyampaikan berita bahagia itu pada Aline. Keduanya tertawa bahagia karena dapat saling membantu. Hari pertama bekerja di tempat baru akhirnya datang juga.

Syifa parkir di belakang restoran. Parkir khusus karyawan memang berada di belakang. Restoran ini memang terkenal dan sangat besar. Banyak karyawan melintas keluar dan masuk. Nyaris tidak ada yang perduli dengan kehadirannya. Syifa merasa tidak perlu kikuk. Hari pertama bekerja, Syifa sudah janji dengan Cik Maya sahabat Cik Aline. Benar saja, begitu Syifa muncul dari pintu belakang sudah ada Cik Maya menunggunya. Tidak membuang waktu, Cik Maya memperkenalkan Syifa secara umum pada beberapa orang yang ada di situ. Syifa mengangguk malu-malu membalas sambutan mereka.

Syifa mengikuti langkah Cik Maya dari belakang. Cik Maya bergerak begitu cepat, Syifa berusaha mengimbangi langkahnya. Cik Maya berjalan melewati lorong yang cukup panjang. Sepanjang lorong itu setengah dindingnya terbuat dari kaca sehingga terlihat jelas segala kegiatan di dalam dapur yang cukup luas itu. Hampir mencapai ujung lorong Cik Maya memotong arah ke kiri. Lorong ini sama benderangnya dengan lorong sebelumnya. Terdapat beberapa ruang kotak-kotak berisi orang seperti sedang bercakap-cakap.

“Deretan ini kantor pengecek kualitas makanan dan bahan Syifa. Kalau nanti kamu dimintai tolong mengantar yang mereka butuhkan kamu sudah tahu tempatnya ya?” terang Cik Maya sambil lalu. Syifa mengangguk sambil melirik ruang kotak-kotak itu.

Setelah melewati lorong belokan itu Cik Maya membuka dua pintu yang tertutup. Begitu Cik Maya membukanya di depan mereka terpampang ruangan yang jauh lebih luas. Sejenak Syifa terpana. Tempat kerjanya cukup tersembunyi rupanya. Syifa berhenti melangkah begitu Cik Maya berbalik badan menghadap padanya.

“Ruang tempat kerjamu, Syifa! Seluruh ruangan ini menjadi tanggung jawabmu. Mulai dari kebersihannya. Karyawan keluar masuk. Terpenting adalah, lemari-lemari loker itu Syifa. Kamu saya tugaskan untuk mengecek setiap lemari loker yang habis digunakan karyawan sebelum pulang. Kamu harus benar-benar mengecek loker-loker itu ya? Saya percaya sama kamu Syifa.  Cik Aline sangat mengangumi cara kerjamu. Semoga kamu tidak mengecewakan saya Syifa.” Cik Maya menatap Syifa lama.

Syifa sedikit salah tingkah, Cik Aline sangat baik membantunya. Syifa harus menjaga semua kepercayaan itu. Syifa balas menatap Cik Maya dengan sungguh.

“Saya akan bekerja dengan baik, Cik.” ucap Syifa yakin. Cik Maya tersenyum.

“Selamat bekerja Syifa.” ujar Cik Maya senang. Tak lama Cik Maya pergi.

Beberapa saat Syifa menarik napas dalam. Sekarang dirinya di sini. Di suatu tempat yang baru dan asing. Syifa mengawasi sekeliling. Terdapat tiga baris lemari loker yang terbuat dari besi kokoh. Tiap baris terdiri atas empat tingkat. Panjangnya sekitar empat meter sesuai panjang ruangan ini. Tersisa sedikit ruang untuk orang keluar masuk. Tiap sela baris terdapat tempat duduk panjang dari besi juga. Bagian dinding paling belakang di tempel cermin selebar dinding. Syifa tersenyum melihatnya. Di belakang Syifa terdapat kamar mandi terbagi dua. Di samping Syifa, sebuah meja lengkap dengan kursi untuk tempatnya duduk.

Tidak membutuhkan waktu lama Syifa sudah menjiwai pekerjaannya. Keluar dari pabrik konveksi Engko Tunlai, Syifa langsung menuju restoran Imari. Dari parkiran belakang ternyata ada pintu langsung menuju tempatnya bekerja. Beberapa saat orang penuh sesak di ruangan itu untuk berbenah diri. Syifa membiarkan mereka dengan membaca buku panjang apa saja yang belum selesai dari petugas sebelumnya. Dari buku petunjuk tersebut Syifa mulai merangkum apa saja yang bisa ia kerjakan malam ini.

Syifa baru saja mengepel seluruh lantai ruangan dan membuang sampah pada tampungan di luar. Saatnya Syifa mengecek satu persatu lemari loker mulai dari baris yang paling depan. Loker kosong ditandai dengan kunci yang mengantung. Syifa membuka loker-loker itu untuk membersihkannya. Kali ini Syifa tidak lupa mengenakan masker. Kemarin dia hampir muntah waktu membuka loker pertama yang berbau penguk. Kebanyakan pekerja di restoran ini adalah pria jadi jelas seperti apa sembrononya mereka. Syifa menyemproti tiap loker dengan disinfectant lalu melapnya hingga bersih. Mencoba kunci loker apakah sesuai dengan kotaknya. Cik Maya bersikap tegas akan hal itu. Syifa mengerjakan dengan sabar.

Syifa bergerak ke barisan loker berikutnya. Syifa berdiri terpana di lantai ia melihat beberapa uang kertas berserakan. Sungguh sembrono! Pikir Syifa. Syifa bergerak cepat memungut uang kertas itu lalu memastikan asal uang itu dari loker mana. Barisan paling atas ada loker yang agak terbuka. Kunci mengantung di lubang loker. Tanpa pikir panjang Syifa membuka pintu loker itu cepat. Seketika biji-biji tasbih berhamburan keluar. Syifa terkejut bukan kepalang. Syifa mengecek isi loker yang terdapat gantungan nama. Syafik!

Syafik berlari menuju loker tanpa lihat kiri kanan. Lima menit lagi ia terlambat. Syafik membuka pintu terburu lalu bergerak menuju lokernya. Seluruh isi kantong ia tuangkan begitu saja. Kunci motor, uang dari kantong, semunya. Syafik hanya butuh tasbih dari kantong tasnya. Belum sempat ia memeriksa tas, sebuah tasbih mengantung di dinding lokernya. Syafik kenal biji-biji tasbih itu yang kemarin terlepas. Syafik menariknya cepat.

Syifa tercengang kembali! Uang kertas tercecer lagi. Persis di tempat yang sama. Syifa menggerutu sejenak. Orang kaya atau sultan mungkin sang pemilik. Uang kok dibuang-buang. Syifa memunguti uang yang tercecar itu. Saat hendak membuka loker Syifa bertindak lebih pelan. Jantungnya lega tidak ada benda yang berhamburan dari dalam. Seperti kemarin uang berserakan di dalam. Syifa menarik napas dalam. Setelahnya Syifa tersadar tasbih yang sudah ia jalin tidak ada lagi di sana. Perlahan Syifa tersenyum membayangkan sosok pemilik loker ini. Syifa merasa dadanya berubah hangat sembari merapikan uang berserakan.

“Syifa, kamu sering menemukan uang di barisan loker tengah tidak?” tanya Ita.

“Uang?” Syifa terkejut. Ita adalah penjaga loker pagi hari. Ita malah tersenyum.

“Ambil saja, Fa! Itu lokernya Mas Syafik. Orangnya suka semborono. Mas Syafik disukai banyak tamu. Jadi sering mendapat tip lebih. Lumayan beli bakso!” senyum Ita.

Syifa hanya mampu mengangguk. Jadi benar, Syafik namanya?

Syafik membuka pintu dengan tergesa. Syifa terkejut di tempat duduknya. Syafik langsung menuju lokernya. Menuangkan segala sesuatu di sana. Tasbih! Pikirnya. Syafik tertengun. Di dalam lokernya ada tasbih mengantung. Kemarin tasbih itu terlepas lagi?

Seperti dugaan Syifa lantai di depan loker itu berserakan uang kertas. Syifa benar-benar tidak mengerti ada orang seperti pemilik loker itu. Mulai besok dirinya ijin tidak masuk tiga hari. Ayah harus opname. Syifa tidak tega kalau uang berserakan itu dinikmati orang lain dengan senang. Syifa tahu bagaimana susahnya mencari uang. Orang itu harus ditegur!

Setelah hari ketiga Ayah sudah terlihat sehat. Wajah Ayah terlihat berisi. Syifa ingin Ayah sembuh karena itu ia menuruti saran dokter untuk opname. Ayah mengidap TBC. Beruntung dokter dan rumah sakit mampu menolong Ayah. Sore itu Syifa menjaga Ayah sambil memikirkan suasana di ruang loker Restauran Imary. Syifa melamun jauh tanpa sadar Ibu sudah berada di sampingnya. Ibu menyerahkan sebuah kotak setelah menyentuh bahunya.

“Seorang pria. Katanya dari Restauran Imary. Orang itu menitip ini!” bisik Ibu.

Tangan Syifa bergetar menerima kotak bekas sepatu miliknya. Syifa tahu siapa pengirimnya. Kotak itu sengaja ia taruh di loker untuk tempat uang. Syifa membukanya perlahan. Ada kertas menempel pada tutupnya. Bergetar bibir Syifa bergerak perlahan:

“Ternyata kamu yang menjalin ulang biji-biji tasbihku selama ini? Termasuk merapikan uang-uang tip dari tamu yang berserakan. Sungguh kamu baik sekali. Aku sudah membaca surat teguranmu. Belum pernah aku menerima perhatian besar seperti ini. Aku janji akan mengikuti semua saranmu. Uang dalam kotak sepatu ini milikmu karena kau yang menemukannya. Pakailah untuk kebutuhan Ayahmu. Semoga kamu segera kembali bekerja karena kita belum berkenalan. Sampai jumpa di Restauran Imari. Dari Syafik.”

Mata Syifa berkaca-kaca. Usahanya berhasil. Syifa ingin teriak karena bahagia. Syafik membaca surat tegurannya. Jari jemari Syifa bergetar menyentuh tumpukan uang dari dalam kotak sepatu. Syafik memberi semuanya tanpa banyak berpikir. Syifa perlahan-lahan tersenyum teringat sifat Syafik yang semberono. Syifa senyum-senyum sendiri sampai tidak menyadari Ibu terus menerus  tersenyum bahagia melihat padanya.

Ricardo Marbun. Penulis adalah karyawan biasa yang menetap di Surabaya. Suka membaca dan menonton film. Sejak SMP senang membaca buku-buku fiksi. Mengisi waktu luang dengan menulis. Penggemar berat Bapak Budi Darma. Bercita-cita ingin seperti beliau menulis sampai usia senja.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *