Filsafat : Peneratas Pengetahuan
Filsafat, meminjam pemikiran Will Durant (The Story of Philosophy. New York: Simon and Schuster, 1933. Hlm 1-4), dapat diibaratkan pasukan mariner yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah itu, maka filsafat pun pergi. Dia menjelajahi laut lepas; berspekulasi dan meneratas. Seorang yang skeptis akan berkata: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatannya memang demikian, dan kesalahpahaman ini dapat segera dihilangkan, sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan pionir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat menyerahkan daerah yang sudah dimenangkan kepada ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu social, bertolak dari pengembangannya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisikanya sebagai Philosophie Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural phisolophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu maka terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang penjelajahan filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan kepada norma-norma filsafat. Umpamanya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethnics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normative dan deduktif berdasarkan asas-asas moral yang filsafati. Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan mendasarkan sepenuhnya kepada hakikat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan ilmu masih mendasarkan kepada norma yang seharusnya, sedangkan dalam tahap terakhir ini, ilmu mendasarkan kepada penemu alamiah sebagaimana adanya. Dalam menyusun pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normative dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif dengan jembatan yang berupa pengajuan hipotesis yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verifikatif.
“Tiap ilmu dimulai dengan filsafat dan diakhiri dengan seni,” ujar Will Durant.
“Muncul dalam hipotesis dan berkembang ke keberhasilan.” Kata Auguste Comte (Scientific Metaphysics, Philosophy, Religion and Science, ed. Charles H. Manson. New York: Charles Scribner’s Sons. 1963), hlm. 430-439.) Auguste Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan tersebut di atas ke dalam tahap religious, metafisik dan positif. Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabatan dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi obyek penelaah yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan system pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif.
Bidang Telaah Filsafat
Apaka yang sebenarnya ditelaah filsafat?
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain. Tentu saja tiap kurun zaman mempunyai masalah yang merupakan mode pada waktu itu. Filsafat yang sedang pop dewasa ini mungkin mengenal UFO: apakah Cuma kita satu-satunya ‘manusia’ yang menguni semesta ini? Bacalah buku Carl Sagan yang berjudul The Cosmic Connection sebagai hiburan di waktu senggang setelah membaca buku filsafat ini. Hari ini selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran maka filsafat ilmu menjadi ‘ngetop’, sedangkan dalam masa-masa mendatang maka yang akan menjadi perhatian kemungkinan besar bukan lagi filsafat ilmu, melainkan filsafat moral yang berkaitan dengan ilmu.
Seorang professor yang penuh humor mendekat permasalahan yang dikaji filsafat dengan sajak di bawah ini :
What is a man?
What is?
What?
Maksudnya adalah bahwa pada tahap mula sekali, filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu: Hallo, siapak kau? Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak Zaman Yunani Kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai mempermasalahkan makhluk yang satu ini. Kadang kurang disadari bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu social, mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian kelimuannya.
Mungkin ada baiknya kita mengambil contoh yang agak berdekatan yakni ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mempunyai asumsi yang tentang manusia yang berbeda. Ilmu ekonomi mempunyai asumsi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang bertujuan mencari kenikmatan sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan semungkin bisa. Dia adalah makhluk hedonis yang serakah; atau dalam proposisi ilmiah; mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan sekecil-kecilnya. Sedangkan ilmu manajemen mempunyai asumsi lain tentang manusia sebab bidang telaah ilmu manajemen lain dengan ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi bertujuan menelaah hubungan manusia dengan benda/jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya; dan manajemen bertujuan menelaah kerja sama antarsesama manusia dalam mencapai suatu tujuan yang disetujui bersama. Cocoklah asumsi bahwa manusia adalah Homo Oeconomics bagi manajemen yang tujuannya menelaah kerjasama antarmanusia? Apakah motif ekonomis yang mendorong seseorang untuk ikut menjadi sukarelawan memberantas kemiskinan dan kebodohan? Tentu saja tidak, bukan, dan untuk itu manajemen mempunyai beberapa asumsi tentang manusia tergantung dari perkembangan dan lingkungan masing-masing seperti mahkluk ekonomi, makhluk social dan makhluk aktualisasi diri. Mengkaji permasalahan manajemen dengan asumsi manusia dalam kegiatan ekonomis akan menyebabkan kekacauan dalam analisis yang bersifat akademik. Demikian pula mengkaji permasalahan ekonomi dengan asumsi manusia yang lain di luar makhluk ekonomi (katakanlah makhluk social seperti asumsi dalam manajemen); akan menjadikan ilmu ekonomi menjadi moral terapan, mundur, sekian ratus tahun kea bad pertengahan. Sayang, bukan? The right (assumption of) man on the right place; mungkin kalimat ini harus kita gantung di tiap pintu masing-masing disiplin keilmuan.
Tahap yang kedua adalah pertanyaan yang berkisar tentang ada: tentang hidup dan eksistensi manusia.
Apakah hidup ini sebenarnya? Apakah hidup itu sekadar peluang nasib yang melempar dadu acak? Bila asumsi TUhan itu adil maka penciptaan haruslah diacak! Dan nasib adalah bagaikan sebernetik dengan umpan balik pilihan probabilistic. Ataukah hidup ini sama sekali absurd, tanpa arah tanpa bentuk, bagaikan amuba yang berzigzag?
Atau barangkali suatu maksud, piker Bruder Juniper dalam sastra klasik The Bridge of San Luis Rey yang termasyhur, ketika dua abad berselang jembatan yang paling indah di seluruh Peru ambruk, dan melemparkan lima orang ke jurang yang dalam. Adalah sangat sukar untuk mengetahui kehendak Tuhan, namun sama sekali tidak berarti bahwa hal ini tidak akan pernah bisa kita ketahui, dan mengatakan bahwa Tuhan terhadap kita adalah bagaikan lalat yang dibunuh kanak-kanak pada suatu hari di musim panas.
Dengan nasib jadi penyalib yang kejam
memaku:
mimpi, harapan, kasing sayang:
cemas, bimbang, rengkah
nafsu;
di atas kayu silang
Jujun S Suriasumantri
Ah, spekulasi macam begini hanya omong kosong percuma yang buang waktu saja, mungkin seorang ilmuwa berkata, sama sekali tidak ada hubungannya dengan permasalahan keilmuan saya (Dikiranya ilmu itu rumus-rumus, laboratorium; itu saja!) dan ketika laboratorium riset genetika menghasilkan penemuan yang menyangkut hari depan manusia, akankah dia Cuma mengangkat bahu: Mengapa rebut-ribut? Bikin saja semua manusia IQ-nya 160 secara massal, habis perkara! (ilmuwan macam begini bukan saja picik namun juga berbahaya: dia benar-benar tidak tahu ditidaktahunya). Namun pun jika kita ingin menggumuli permasalahan semacam itu: tentang genetika, social engineering, bayi tabung; maka asas-asasnya tidak terdapat dalam lingkup teori-teori ilmiah. Kita harus berpaling kepada filsafat, memilih-milih landasan moral, apakah sesuatu kegiatan ilmiah secara etis dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Tahap ketiga, skenarionya bermula pada suatu pertemuan ilmiah tingkat ‘tinggi’ di mana seorang ilmuwan bicara panjang lebar tentang suatu penemuan ilmiah dalam risetnya. Setelah berjam-jam dia bicara maka dia pun menyeka keringatnya dan bertanya kepada hadirin: Adakah kiranya yang belum jelas? Salah seorang bangkit dan seperti seorang yang pekak memasang kedua belah tangan di samping kupingnya: Apa? (Rupanya sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa).
Memang orang itu sejak tadi ‘tidak mendengar apa-apa’ sebab ‘tidak tertarik mendengar apa-apa’ sebab ‘tidak ada apa-apa yang berharga untuk didengar’. Orang nyentrik itu baru mau mendengar pendapat yang bersifat ilmiah sekiranya pendapat itu dikemukanan lewat cara/proses/prosedur ilmiah. Biarpun seorang pembicara mengutip pendapat sekian pemenang hadiah Nobel, mengemukakan sekian fakta yang actual; namun bila bagi dia tidak jelas yang mana masalah, yang mana hipotesis; yang mana kerangka pemikiran, yang mana kesimpulan; yang keseluruhnya terkait dan tersusun dalam penalaran ilmiah; bagi dia semua itu sekadar GIGO (maksudnya keluar dari terlinga kiri G dan keluar dari telinga kanan juga G). Tugas utama filsafat, kata Wittgeistein bukanlah menghasilkan sesusun pernyataan filsafati, melainkan menyatakan sebuah pernyataan sejelas mungkin. Dengan demikian maka epistemology dan bahasa merupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap ini. Bahasa, termasuk matematika yang secara filsafati bukan merupakan ilmu melainkan bahasa nonverbal, merupakan pokok pengkajian filsafat abad kedua puluh ini. Intitut Teknologi yang termasyhur di dunia yakni Massachussets Institute of Technology (MIT) mempunyai departemen bahasa yang sangat maju. Untuk itu maka sekiranya masih ada ahli teknologi yang memandang rendah bahasa maka kemungkinan besar dia sudah terlalu jauh ketinggalan kereta. Semoga ilmuwan ini tidak bertemu dengan orang pekak yang menjengkelkan itu; yang tanpa timbang rasa melemparkan segerobak pendapat kita ke tempat pembuangan sampah. Hancur jadi abu!
“Masalah utama dengan disertasi Saudara,” kata seorang penguji kepada seorang promovendus, “ialah bahwa Saudara berlaku sebagai seroang pembohong bahan bangunan dan bukan arsitek yang membangun rumah. Memang batanya banyak sekali, bertumpuk di sana sini, namun tidak merupakan dinding; kayunya menumpuk sekian meter kubik namun tidak merupakan atap. Sebagai ilmuwan Saudara harus membangun kerangka dengan bahan-bahan tersebut, kerangka pemikiran yang orisinil dan menyakinkan, disemen oleh penalaran dan pembuktian yang tidak meragukan …”
Ah, daripada disebut pemborong bahan bangunan, lebih baik cape dikit belajar lagi, bisik seorang peneliti yang sedang mempersiapkan disertasinya. Memang, lebih baik mengasah parang, daripada sekian ratus halaman disertasi kita dibuang orang. (Maaf, parang itu maksudnya untuk memberantas ilalang, dan bukan menambas orang!).
Cabang-cabang Filsafat
Pokok permasalahan yag dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa disebut benar dan apa disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua politik: yakni kajian mengenai organisasi social/pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik di antaranya filsafat ilmu. Cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
- Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
- Etika (Filsafat Moral)
- Estetika (Filsafat Seni)
- Metafisika
- Politik (Filsafat Pemerintahan)
- Filsafat Agama
- Filsafat Ilmu
- Filsafat Pendidikan
- Filsafat Hukum
- Filsafat Sejarah
- Filsafat Matematika
Sumber tulisan dari buku Filsafat Ilmu (Jujun S Suriasumantri)