Etika Berbisnis yang Islami
Ulumi Fajri Habibah

Di era digital seperti saat ini, sangat mudah melakukan segala jenis transaksi dan bisnis. Siapa saja dapat bertransaksi dan berbisnis tanpa harus saling bertatap muka secara langsung. Namun meski demikian, Islam menganjurkan pemeluknya untuk melakukan bisnis secara profesional dengan tetap menerapkan prinsip dan batasan yang dianjurkan, yang disebut etika. Etika dalam berbisnis harus diterapkan sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

[iklan]

Beberapa etika yang dianjurkan oleh Islam adalah sebagai berikut:

1. Adil
Dalam Islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka (antarraddiminkum) dan satu pihak tidak menzalimi pihak lain (latazlimuna wa la tuzlamun).

Keadilan merupakan tujuan dari salah satu prinsip dasar dalam Islam, sekaligus merupakan pilar terpenting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Alquran sebagai misi utama para Nabi yang telah diutus Allah, termasuk penegakkan keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Hal itu sesuai firman Allah Swt. dalam surat al-Hadid ayat 25 :

Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al kitab yang berisi hukum-hukum dan syariat-syariat, beserta neraca atau timbangan agar manusia dapat bermuamalat secara adil sesuai dengan hukum dan syariat Allah tersebut.

Dalam etika bisnis Islam, keadilan ini dimaksudkan agar para pelaku bisnis dapat bertindak sama atau tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan dan tenaga kerja, baik perorangan maupun kelompok. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlakuan yang sama.

Selain itu, prinsip keadilan ini akan memberikan keuntungan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini karena semua pihak merasa diuntungkan dengan keputusan yang adil.

2. Amanah
Amanah adalah sifat dapat dipercaya pada diri seseorang dalam segala transaksi bisnisnya dengan semua pelaku bisnis dan relasi, baik yang muslim ataupun non-muslim. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil.(An-Nisa; 58)

Rasulullah SAW mengkategorikan sifat tidak amanah sebagai salah satu ciri kemunafikan. Beliau bersabda, “Tanda munafik ada tiga. Kalau berbicara dusta, kalau berjanji mengingkari dan kalau dipercaya berkhianat.” (HR. Al-Bukhari, no. 33, dan Muslim, no. 59).

Rasulullah sendiri menerapkan etika (amanah) ini sebagai prinsip dalam menjalankan aktivitasnya. Sebagai contoh, ketika rasulullah menjadi karyawan Khadijah ra, beliau memperoleh kepercayaan penuh untuk membawa dagangan Khadijah untuk dijual di Syam. Beliau menjaga dagangannya dengan baik selama di perjalanan dari Mekkah.

Amanah dalam konteks pembahasan disini adalah seorang tenaga penjualan mampu menjaga sikap amanah, artinya benar-benar dapat dipercaya memelihara segala sesuatu yang menjadikan hak pelanggannya baik secara materiil maupun immaterial.

3. Larangan Terhadap Kecurangan dalam Takaran dan Timbangan

Allah berfirman:
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”

Allah memberi peringatan agar tidak mengurangi takaran dan timbangan. sikap kehati-hatian dalam menakar dan menimbang ini perlu dilakukan karena kecurangan merupakan tindak kezaliman yang sulit ditebus dengan taubat. Hal ini disebabkan kesulitan mengumpulkan kembali para pembeli yang pernah dirugikan dengan mengembalikan hak-hak mereka.

Selain kecurangan dalam penakaran dan penimbangan, pengawasan muhtasib juga diarahkan kepada praktek penipuan kualitas barang. Pedagang seharusnya menunjukkan cacat barang yang dijualnya. Jika ia menyembunyikan cacat barang yang dijualnya maka ia dapat dikategorikan sebagai penipu, sedangkan penipuan itu diharamkan.

4. Ridho kedua pihak dalam transaksi
Dalam melakukan transaksi, syarat utama yang harus dipenuhi yaitu adanya kerelaan dari pihak-pihak yang melakukan transaksi, artinya tidak ada pihak yang dipaksa maupun merasa terpaksa. Allah Swt berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling      memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisa: 29)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil, misalnya harta yang didapat dengan cara mencuri, menipu, judi, suap-menyuap, dan lainnya. Namun kita diperbolehkan untuk mengambil harta orang lain dengan melakukan perniagaan berdasarkan pada kerelaan kedua belah pihak dengan saling mengetahui apa yang diambilnya, tanpa ada kecurangan, penipuan, maupun paksaan yang menyebabkan salah satu pihak didzolimi atau dirugikan.

Referensi:
* Khan, Muhammad Akram, Economic Teaching of Prophet Muhammad, Islamabad: IIIE & IPS, 1989
* Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, terj. Dewi Nurjulianti, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997
* Salam, Burhanuddin, Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 1997
* Qardhawi, Yusuf al-, Halal dan Haram Dalam Islam, terj. Muammal Hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 1993.
* Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2010
* Nasuka, Moh., Etika Penjualan dalam Perspektif Islam, Volume 3 Nomor 1, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
* Dan sumber lainnya

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *