Di petak sawah yang berlumpur, kerbau-kerbau melangkah diikuti suara lonceng, mereka tak menghiraukan kaki-kaki mereka yang kotor. Beberapa lalat mengerumuni pantat mereka, sebelum kemudian para kerbau mengibas-ibaskan ekor, membuat lalat-lalat berhamburan. Di belakang lalat-lalat yang terbang tak karuan, Tuan berseru sambil memecut pantat para kerbau.

“Tidakkah dia bosan memecut pantat kita?” tanya Kerbau Hitam.

“Apa jalan kita kurang cepat?” tanya Kerbau Coklat.

“Aku tidak bisa berjalan lebih cepat karena lumpur ini,” Kerbau Hitam melihat ke bawah, lumpur menyelimuti keempat kakinya.

“Setelah ini, apa yang akan ditanam?”

“Entahlah. Ah, aku bosan dia terus-terusan memecut pantatku, lebih baik jika aku dibiarkan berjalan dengan tenang.”

“Aku sudah terbiasa, mungkin sudah jadi kebiasaan.”

Kerbau Hitam tiba-tiba berhenti membuat Kerbau Coklat ikut berhenti, mereka saling tatap untuk beberapa saat. Baru kemudian berjalan lagi setelah Tuan memecut kembali dengan tali.

“Iya, memang kebiasaan,” ucap Kerbau Hitam mengangguk.

Kerbau Hitam tak mempermasalahkan pecutan Tuan, lagi pula yang dirasakannya sama seperti irama kibasan ekornya. Kerbau Coklat menggeleng, mengusir lalat yang hinggap di wajahnya.

Perlahan matahari ditutupi awan kelabu membuat lumpur menjadi lembab. Semakin banyak lalat yang mengerumuni badan kerbau-kerbau, menciumi bau yang mereka suka. Kerbau Coklat tiba-tiba berhenti.

“Ada apa?” tanya Kerbau Hitam.

“Seharusnya  sekarang kita dibawa ke sungai,” ucap Kerbau Coklat menggerakkan rahangnya seolah sedang mengunyah.

Tuan berseru sambil mengayunkan lagi cambuknya, mengarahkan kerbau-kerbau agar keluar dari lumpur, berjalan di atas rerumputan membuat kaki-kaki para kerbau terasa lega. Beberapa lalat masih mengikuti, menempel di pantat juga sekitar hidung mereka.

Rimbunan pohon menyejukkan membuat kulit kerbau-kerbau terasa segar, ditambah dengan udara dan angin yang sejuk membuat mereka sedikit mengantuk. Namun rasa kantuk mereka lekas sirna, mengingat tujuan mereka sekarang; sungai. Kerbau-kerbau berjalan dengan tenang, namun beberapa kali Kerbau Hitam mempercepat lajunya, ingin segera mendinginkan kulit.

Suara air mengalir membuat telinga kerbau-kerbau berdiri, seketika mereka jadi lebih bersemangat. Mereka mempercepat langkah sambil bersenandung riang. Tuan duduk di bawah pohon, membiarkan kerbau-kerbaunya girang bermain dengan air. Kerbau-kerbau membiarkan tubuhnya menyatu dengan air. Hanya kepala mereka yang terlihat seolah mereka hampir tenggelam.

“Segarnya…” ucap Kerbau Hitam mendengus, menenggelamkan wajahnya dalam air, membuat gelembung-gelembung keluar dari hidungnya.

Begitu kerbau-kerbau masuk ke dalam sungai, lalat-lalat lekas menyingkir. Bergantian mengerumuni badan Tuan yang penuh bau keringat. Tuan langsung mengibas-ibaskan topi jeraminya. Sesekali pula dia berteriak—teriakannya sama seperti saat sedang memecut pantat kerbau. Mendengar teriakan Tuan, kerbau-kerbau saling menatap satu sama lain.

“Apa maksudnya?” tanya Kerbau Hitam.

“Aku tidak mengerti. Apa saat ini kita juga disuruh membajak sungai? Tapi Tuan tidak memecut kita dengan tali.”

“Mungkin dia ingin kita berjalan lebih cepat.”

“Tapi ke mana?” tanya Kerbau Coklat sambil melihat arus air yang datang dari kanan dan arus itu terus berjalan ke kiri.

“Begini, kamu pergi ke kanan dan aku pergi ke kiri. Mungkin begitu maksudnya,” ucap Kerbau Hitam percaya diri.

Lalat-lalat menempelkan lidahnya pada kulit Tuan yang berkeringat, beberapa hinggap di wajah, tangan, punggung, dan kaki Tuan. Karena jengkel, suara teriakan Tuan jadi lebih keras. Bersamaan dengan kibasan topi jeraminya, dia berusaha mengusir lalat yang tidak juga pergi. Setiap Tuan mengibas, lalat lekas terbang menjauh, kemudian kembali lagi ke kulit Tuan.

Kerbau Hitam cemas, baru kali ini dia mendengar teriakan sekeras itu dari Tuannya. Apa Tuan sedang memarahi kita? pikirnya. Kerbau Coklat lebih cemas lagi, jalannya lambat karena harus melawan arus air. Dia kebingungan antara menyerah atau terus melanjutkan langkah. Tak lama kemudian kakinya terasa lebih berat. Lebih baik aku menginjak lumpur yang mengeras dari pada berjalan di dalam air, batin Kerbau Coklat tetap berusaha melangkah.

Tuan mengusir lalat sambil berjalan menuju ke sungai. Setelah Tuan merendamkan diri, para lalat berhamburan menjauh.

Tiba-tiba kaki Kerbau Coklat kaku. Dia mencoba terus melangkah lagi, namun justru tak sengaja menginjak batu licin yang membuatnya tergelincir. Badan Kerbau Coklat mengambang mengikuti arus, kaki-kakinya lemas dan tak bisa digerakkan. Tuan yang berada di belakangnya pun tertabrak. Karena tak sempat mempertahankan diri, keduanya sama-sama mengambang mengikuti arus. Kerbau Hitam merasa langkahnya ringan, dapat berjalan lebih cepat. Tuan dan Kerbau Coklat menabraknya, ketiganya sama-sama mengambang seperti daun gugur di sungai. Tuan berteriak meminta tolong, berharap seseorang mendengarnya. Kerbau-kerbau saling tatap, mereka tak dapat berjalan lagi.

Mataram, April 2021

Nuraisah Maulida Adnani lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media, baik online mau pun offline. Saat ini bergiat di komunitas Akarpohon, dan juga mengelola perpustakaan Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *