Dahulu kala, di sebuah hutan belantara di negeri Cina, hidup seekor ular yang berbadan panjang dan besar. Didalam hutan itu sang ular hidup dengan bahagia karena ia merasa bebas, pergi ke mana saja tak ada yang mengganggu. Ia bisa melakukan apa saja yang membuat dirinya senang. Naik pohon, turun pohon, merayap dari dari dahan ke dahan, melompat ke pohon yang lain, dan sesekali merayap merayap di tanah menyusuri rerumputan dan bebatuan. Jika merasa lelah ia istirahat sembari melingkarkan tubuhnya di atas batu atau di dalam semak-semak yang rimbun.

Pada suatu hari, ketika sedang beristirahat, Ekor Ular dan Kepala Ular ribut omong saling berbatah-bantahan tentang siapa yang layak menjadi pemimpin.

“Hei Kepala,” kata si Ekor Ular, “Setiap hari kamu selalu ada di Depan. Aku di belakang terus ngikutin kamu. Ini tidak adil namanya! Kamu egois!”

Kepala Ular mengerutkan dahi karena heran. “Mengapa kamu bicara seperti itu, Ekor? Apa maksudmu?” tanya Kepala Ular setengah bingung.

“Pokoknya kamu tidak adil!”sahut Ekor Ular. “Setiap hari kamu di depan terus, sedangkan aku di belakang mengikuti kamu! Kamu serakah. Sekali-kali aku di depan, dong. Ini baru adil namanya.”

Kepala Ular menghela nafas panjang. Pelan-pelan ia mulai paham apa maksud perkataan si Ekor Ular. Sembari tersenyum, ia berkata dengan sabar. “Begini ya Ekor sahabatku. Harap engkau bisa mengerti dan memahami serta bisa menerima, bahwa sesungguhnya apa yang aku lakukan dan harus engkau  ikuti ini memang sudah sewajarnya dan seharusnya begitu. Aku sekedar menjalani takdir kita.”

“Ya. Apapun alasanmu, bagiku ini tetap tidak adil!” Suara Ekor Ular makin meninggi. Agaknya ia tidak bisa menerima penjelasan si Kepala Ular.

“Dengar baik-baik ya wahai Ekor Ular. Aku punya sepasang mata yang bisa melihat ke segala arah, bisa melihat bahaya di depan kita, bisa milih jalan yang aman dan nyaman untuk berjalan kita. Karena itu wajar saja kalau aku berada di depan untuk maju. Lah kalau kamu yang di depan apa kamu bisa?”

“Kamu mikir nggak, bahwa jika bukan karena gerakanku, si Ekor, kamu nggak bisa maju ke depan. Pokoknya aku protes, aku tidak terima ketidak adilan ini!”

Karena si Ekor Ular terus ngotot bicara, Kepala Ular jadi kesal hatinya. “Huh! Tak ada gunanya bicara denganmu. Ekor bodoh nggak punya otak!”

“Eh, jangan sembarangan bicara kamu, Kepala Ular. Tanpa aku, kamu juga tak bisa apa-apa!” Ekor Ular membentak dengan suara yang semakin tinggi.

Kepala Ular tak mau kalah. Maka katanya, “karena punya mata aku bisa pergi ke mana aku suka. Sedangkan kamu? Kamu tidak bisa apa-apa!”

Mendengar kata-kata Kepala Ular semakin marah dan panas hati si Ekor Ular. Segera ia lilitkan dirinya ke sebatang pohon yang berada di dekatnya, serat-seratnya. Akibatnya ular tidak bisa bergerak kemana-mana.

Melihat si Kepala Ular seperti kebingungan tak bisa bergerak untuk maju, Ekor Ular tertawa. Dengan sombongnya ia berkata. “Ha ha ha… sekarang bergeraklah jika kamu bisa!”

“Ugh…! Jangan bodoh. Dengan penglihatanku, aku akan bergerak  tanpa perduli apa yang kamu lakukan.”

Kepala Ular lalu berusaha untuk menarik dan berusaha untuk berjalan maju ke depan. Namun betapa pun telah mengerahkan segenap tenaganya, sedikitpun ia tak bisa bergerak melangkah maju. Coba, dan coba lagi. Sampainya akhirnya ia menyerah karena lelah.

“Huh… Huh… baiklah. Aku menyerah. Aku kalah. Kamu menang, Ekor Ular. Aku tidak akan menentangmu lagi. Kamu boleh di depan, memimpin untuk maju.”

Maka setelah itu, Ekor Ular mulai bergerak memimpin perjalanan. Tapi apa mau dikata. Karena Ekor tak punya mata dan tak bisa melihat arah, maka berjalan menjadi tidak nyaman dan sering menabrak bahaya. Karena berjalan tanpa arah dan sering menabrak bahaya akibatnya badan ular penuh luka dan berdarah. Sampai akhirnya, karena sudah tak kuat lagi menahan perihnya luka di seluruh tubuhnya, Kepala Ular memohon kepada Ekor Ular.

“Ekor yang baik, izinkan aku memimpin kembali di depan agar perjalanan kita menjadi nyaman dan aman.”

“Diam kamu, jangan banyak omong,” bentak Ekor Ular,” Aku sekarang yang memimpin. Ikuti saja aku, jangan cengeng, jangan banyak mengeluh. Kita adalah ular yang kuat dan hebat!”

“Siap komandan,” sahut Kepala Ular. Tapi dalam hati ia mendongkol dan diam-diam mencari cara untuk membalas agar si Ekor menikmati betapa asyiknya menabrak pohon. Maka, pada suatu ketika ia melihat sebuah pohon besar. Segera ia mengarahkan Ekor Ular ke arah pohon batang pohon besar tersebut. Dan hasilnya, Ekor Ular menabrak pohon besar itu!

“Aduuhhh…” teriak si Ekor Ular.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Kepala Ular pura-pura kaget. Tersenyum dan hati merasa senang.

“Aku menabrak pohon! Brengsek kamu! Mengapa tidak memberitahu?”

“Bagaimana aku bisa memberi tau. Aku tak melihat pohon itu karena kita jalannya mundur.”

Sunyi sejenak. Ekor Ular menyadari kesalahannya. Sambil menahan rasa sakit, ia berkata.”Baiklah, sekarang aku menyerah. Kepala Ular, kamu saja yang di depan.”

Setelah Kepala Ular dan Ekor Ular melakukan perdamaian, mereka sepakat untuk kompak dan saling bekerja sama.

“Ternyata, kita punya tugas masing-masing ya?” gumam Ekor Ular sembari tersenyum.

“Ya, kita memang harus bekerjasama. Sehingga bisa merasakan, bisa menikmati betapa indahnya kerjasama,” sahut Kepala Ular sembari manggut-manggut.

Beberapa saat kemudian  sunyi. Kepala Ular dan Ekor Ular asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri. Dari pengalaman yang sudah mereka alami, mereka bisa menyadari, Betapa indahnya kebersamaan.”

Dan ular itu kini bergerak, merayap ke semak-semak belukar, lalu hilang menyusup ke rerimbun daun. Marayap ke atas pohon, menyusuri dahan dan ranting. Menjelajah rimba raya dengan hati senang menikmati kebebasan.

***

Februari 2021

Dapoer Sastra Tjisaoek
Dongeng dari negeri China
Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *